Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pokoknya, Berutang Bangkrutkan

Gara-gara tak membayar asuransi Rp 3,5 miliar, PT Asuransi Tugu Indo dituntut pailit. Kenapa semua perkara utang ditagih lewat pengadilan niaga?

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA klaim asuransi tampaknya makin sering dituntut ke pengadilan pailit (kebangkrutan). Contohnya klaim asuransi kebakaran senilai Rp 3,5 miliar yang diajukan PT Bumijaya Tanjung terhadap PT Asuransi Tugu Indo ke pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untung, Jumat pekan lalu, majelis hakim niaga menolak tuntutan itu. Kalau tidak, cuma gara-gara utang Rp 3,5 miliar, PT Asuransi Tugu Indo bisa bangkrut. Semula, Bumijaya, perusahaan pengekspor mebel di Surabaya, menjadi nasabah Tugu Indo. Perusahaan itu mengasuransikan bangunan, mesin, dan bahan baku miliknya di Jalan Margomulyo, Surabaya, dari risiko kebakaran senilai Rp 3,5 miliar. Untuk itu, Bumijaya, yang juga berbisnis rotan, telah membayar premi Rp 39.649.600. Ternyata, pada Juli 1999, kantor Bumijaya terbakar. Karena itu, perusahaan ini mengajukan klaim asuransi kepada Tugu Indo. Besarnya klaim yang diminta Rp 3,5 miliar. Tugu Indo lantas meminta adjuster (tim penilai) menilai kerugian Bumijaya. Empat bulan kemudian, kerugian Bumijaya ditaksir cuma Rp 1 miliar. Belakangan, bukan nilai kerugian yang dipersoalkan Tugu Indo, melainkan penyebab kebakaran. Menurut perusahaan asuransi ini, kebakaran itu terjadi akibat kelalaian tukang las yang sedang bekerja di bangunan baru di sebelah bangunan utama Bumijaya. Adanya bangunan baru itu, menurut Tugu Indo, sudah menyimpang dari perjanjian asuransi semula. Jadi, "Klaim Bumijaya tak layak bayar," ujar Lukman Arifin, kuasa hukum Tugu Indo. Tentu saja Bumijaya tak bisa menerima. Menurut kuasa hukumnya, Benny Pontoh, meski ada bangunan baru, itu bukan berarti Bumijaya telah mengubah bangunannya—sebagaimana dilarang dalam kontrak asuransi. Lagi pula, berdasarkan pemeriksaan polisi, kebakaran itu bukan karena kesengajaan. Itu sebabnya kebakaran tersebut masih termasuk risiko yang mesti ditanggung Tugu Indo. Toh, Tugu Indo tetap enggan membayar. Akibatnya, Bumijaya mengajukan perkara itu ke pengadilan pailit. Rupanya, klaim asuransi yang ditolak itu dianggap sebagai utang yang telah jatuh tempo. Untuk memenuhi syarat kepailitan, Bumijaya juga menyebutkan adanya kreditor Tugu Indo yang lain dengan tagihan sebesar Rp 7 miliar. Kreditor lain itu di antaranya Dominggus, yang diketahui Bumijaya dari laporan keuangan Tugu Indo di salah satu koran pada akhir 2000. Di pengadilan, majelis hakim yang diketuai Putu Supadmi membenarkan klaim Bumijaya. Menurut majelis, kebakaran yang menimpa Bumijaya termasuk dalam risiko yang mesti dibayar Tugu Indo. Dengan demikian, Tugu Indo dinilai menanggung utang yang telah jatuh tempo kepada Bumijaya. Masalahnya, syarat adanya kreditor lain dianggap majelis hakim tak terpenuhi. Sebab, kewajiban Tugu Indo kepada Dominggus belum jatuh tempo. Berdasarkan hal itu, majelis hakim memutuskan untuk tidak memailitkan Tugu Indo. Belum jelas bagaimana kelanjutan perkara klaim asuransi kebakaran Bumijaya. Yang pasti, bukan kali ini saja pemegang polis asuransi menggugat pailit perusahaan asuransi. Pada Mei 2001, Asuransi Jiwa Namura Tatalife dibangkrutkan setelah digugat oleh dua pemegang polisnya. Namura dianggap tak mampu membayar polis senilai US$ 7.500 atau sekitar Rp 75 juta berdasarkan kurs Rp 10 ribu per dolar AS. Sebelumnya, Asuransi Jiwa Manulife Indonesia juga dituntut pailit oleh nasabahnya, Paulus Tanuhandaru. Manulife dianggap mengemplang utang dari polis Paulus senilai Rp 6,6 miliar. Rupanya, Manulife merasa jeri dengan tuntutan bangkrut itu sehingga buru-buru membayar polis yang ditagih Paulus. Persoalannya sekarang: tepatkah pelbagai tuntutan asuransi ke pengadilan pailit? Bagi Benny Pontoh, upaya memburu utang lewat proses kepailitan, selain cepat, juga lebih memberikan jaminan bagi pemegang polis. Pada perkara klaim asuransi Manulife, misalnya, ahli waris Paulus tak kunjung bisa memenangkan klaimnya melalui tuntutan ke pengadilan perdata ataupun ke proses pidana di kepolisian. Memang, bila sekadar menilik persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Kepailitan Tahun 1998, tuntutan polis asuransi ke pengadilan niaga sah-sah saja. Yang penting, ada utang yang telah jatuh tempo dan ada dua atau lebih kreditor. Namun, bila menilik pada substansi perkaranya, yakni utang- piutang ataupun ingkar janji, seperti dikatakan praktisi hukum Ricardo Simanjuntak, mestinya perkara itu diproses di pengadilan perdata. Hendriko L. Wiremmer, Hadriani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus