Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cap Bibir Maria Madeira

Seorang wanita perupa Timor Timur hadir di Taman Ismail Marzuki. Ia mengungsi ke Australia dan menyimpan kenangan kampung halaman.

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARIA Madeira datang ke Jakarta dengan ringan. Dua puluhan lukisan dan sebuah karya instalasi dipajangnya di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki. Karya seni rupa tentang "Ina Lou, Tanah Air Tercinta", demikian tajuk pameran ini.

Lukisan-lukisan terbentuk dengan cipratan, sapuan, dan goresan cat; kolase benang; rambut manusia; serta sobekan kain. Lalu, sebuah karya terdiri atas jajaran belasan kanvas berukuran 40 x 30 cm, tiap kanvas pinggirnya tidak utuh, ada bekas dimakan api. Ada lagi satu lukisan dipenuhi kata dengan latar belakang warna-warni yang membentuk salib.

Semua karya terasa mengekspresikan sesuatu yang tak mudah, seperti ada yang tak terkatakan tapi harus disampaikan. Samar-samar menyuguhkan atmosfer yang bukan "gembira-ria". Bahkan sebuah kanvas yang dibentangkan tanpa spanram begitu saja ditempel di tembok, dipenuhi motif serasa tumbuhan dan cap bibir. Terasa ini bukan sekadar hiasan: cap bibir itu "menghapus" kesan indah motif tumbuhan. Ada yang mengganggu keindahan itu.

Adalah sebuah karya instalasi di ruang tengah agak ke belakang yang memberikan imaji lebih "nyata": seperti ada darah menetes, sebuah tragedi. Sejumlah slang plastik berukuran jari, yang di ujungnya digantungkan bentuk seperti gasing, dan di lantai bercak-bercak warna-warna didominasi warna jingga suram. Tali Pusar, judul instalasi ini. Di Timor Timur, tali pusar bayi tak dipendam di tanah atau dibuang ke laut seperti di Jawa, tapi digantung di pohon, dibiarkan kering atau dimakan semut atau burung. Tetesan (air ketuban dan darah) dibiarkan.

Dari karya instalasi inilah kesan pameran ini merupakan "sesuatu yang tak terkatakan" dan "rasa sakit" menguat. Kesan itu pun mulai membentuk imaji di kepala saya setelah mengetahui sang perupa, Maria Madeira, perempuan Timor Timur, pada usia tujuh tahun pada 1983 mengungsi ke Australia bersama keluarga.

Di Perth, Australia, akhirnya Maria tumbuh dewasa dan memilih belajar di perguruan tinggi seni rupa. Ia baru menengok kembali tanah airnya pada 2000, setelah pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa ditugasi menjaga negeri yang pernah dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Indonesia itu. Ia kembali sebagai orang "dalam" sekaligus orang "luar".

Kenangan masa kecil Maria tentang kampung halaman dan berita-berita tentang pendudukan militer Indonesia di Timor Timur selama ia di Australia bertemu dengan Timor Timur menjelang merdeka. Apa yang ia bayangkan selama di Australia tentang tanah airnya? "Bayangan darah dan kekejaman," katanya dalam pengantar di pembukaan pamerannya, Jumat pertama September ini.

Dan, menjadi jelas cap bibir berlipstik, satu tanda yang menandakan imaji komunikasi, seks tadi, juga menandakan kenangan luka. Namun pilihan Maria pada gaya abstrak menyelamatkannya tak secara vulgar menggambarkan "luka-luka dan kekejaman" itu. Tak ada figur atau yang mengesankan figur yang mudah menjadi "alat" menyatakan sesuatu secara jelas.

Abstrak Maria juga bukan garis sebagai garis dan warna sebagai warna tanpa menggambarkan sesuatu obyek. Pada beberapa karya masih mudah dilihat bentuk "hiasan" berupa daun dan batang, misalnya. Ia terbebas dari "ideologi" seni abstrak yang hendak membebaskan karya rupa menjadi hanya unsur-unsur dasarnya-titik, garis, bidang, warna, tekstur, ruang, dan seterusnya.

Menurut Leonhard Bartolomeus, kurator pameran ini, karya-karya Maria merupakan ekspresi dari ingatan. Barto membandingkannya dengan karya-karya F.X. Harsono yang mewujudkan ingatan pada, misalnya, para korban pembantaian 1965. Pada karya Maria Madeira, selain ingatan tentang tanah air yang diduduki militer Indonesia, ada ingatan tentang wanita Timor Timur.

Soal yang disebut terakhir, menurut saya, bukan sekadar ingatan. Tatkala kembali ke Timor Timur, Maria mengunjungi para penenun di perbukitan Bobonaro. Dia semestinya menimba tenun dengan segala unsur estetik dan proses pembuatannya. Itulah kenapa ia suka sekali pada kolase benang dan sobekan kain Timor Timur, dan menggunakan berbagai bahan pewarna tradisional untuk lukisannya: bubuk hitam batu, merah kapur-sirih, dan sebagainya.

Bambang Bujono (Pengamat Seni)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus