Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ILYAS bin Abdullah, 32 tahun, tak melupakan pesta pergantian tahun 2014. Dia bebas berjoget dan mengisap sabu-sabu di sebuah klub malam di Kinabalu. Tapi kemudian datang Yuyun memintanya menyelundupkan sabu-sabu. "Dia janjikan duit Rp 150 juta," ujarnya kepada Tempo, yang menemuinya di lembaga pemasyarakatan Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, empat pekan lalu.
Tak dinyana, order Yuyun mengantar dia ke penjara. Pada Januari lalu, polisi menangkap buruh asal Bone, Sulawesi Selatan, itu di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, karena membawa tiga kilogram sabu-sabu.
Yuyun warga negara Indonesia, pengusaha klub malam di Kinabalu, ibu kota Negara Bagian Sabah, Malaysia. Menurut Ilyas, Yuyun mengajari dia "menembus" penjagaan Bea-Cukai di Tunon Taka. Caranya, memasukkan sabu yang dibungkus plastik-plastik kecil ke gulungan karpet, lalu mengirim karpet itu ke Nunukan dengan kapal dari Tawau. Distrik Tawau terletak di pantai timur Sabah, berhadapan dengan Kalimantan Utara.
Di Tunon Taka, ada calo tiket—biasa disebut "pengurus"—yang bisa diminta menjemput barang kiriman di kapal dan memindahkannya ke darat atau ke kapal lain. Barang seperti karpet jarang diperiksa Bea-Cukai di sana.
Dengan cara itu, Ilyas pernah berhasil pada November 2014 dan mendapat upah Rp 45 juta. Tapi pada percobaan kedua, Januari lalu, tak berapa lama setelah pesta sabu di Kinabalu, polisi menangkapnya.
Sebetulnya karpet berisi tiga kilogram sabu-sabu yang dia kirim sudah lolos dari Bea-Cukai Tunon Taka dan dipindahkan "pengurus" ke kapal motor Cattleya tujuan Parepare, Sulewesi Selatan. Ketika sedang menunggu keberangkatan di dek tiga Cattleya, dia dicokok polisi.
"Kami sudah mengintai dia sejak di Kinabalu," kata Kepala Satuan Narkoba Kepolisian Resor Nunukan Ajun Komisaris Panjaitan.
Minimnya pengawasan membuat Tunon Taka menjadi salah satu jalur favorit penyelundup narkotik dari Malaysia. Beberapa telah dibekuk—terakhir, Mei lalu, polisi menangkap Hasnia binti Yudding, 26 tahun, yang menyembunyikan 515 gram sabu dalam televisi layar datar. Tapi diduga lebih banyak lagi yang lolos. "Dari Sebatik, narkotik dikirim ke wilayah Kalimantan lain dan Sulawesi," kata Kepala Subdirektorat Interdiksi Darat dan Lintas Batas Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar Aan Andriana.
Bulan lalu, Tempo, yang menelusuri "jalur narkotik" di Nunukan dan beberapa tempat lain di Kalimantan Utara, menyaksikan betapa longgarnya penjagaan di Tunon Taka. Ada peralatan sinar-X di gerbang keluar pelabuhan, tapi penumpang tak diperiksa. Sedangkan di pintu masuk, pemindai sinar-X malah tak berfungsi. Para buruh angkut, lengkap dengan gerobak bercat biru, keluar-masuk pelabuhan sonder pemeriksaan.
Penjagaan yang longgar terlihat pula di pelabuhan Nunukan yang lain, seperti yang terletak di Sungai Jepun dan Sungai Bolong. Barang dari Tawau leluasa masuk melalui kedua tempat itu. Belum lagi "dermaga tikus" milik penduduk yang tersebar hampir di seluruh garis pantai Pulau Nunukan.
NARKOTIK yang masuk ke Kalimantan Utara kebanyakan berasal dari Kampung Titingan, yang dikenal dengan sebutan Ice Box. Kawasan kumuh di pinggir Teluk Tawau itu dikenal sebagai sumber narkotik di timur Malaysia. Harga sabu-sabu di Ice Box cuma Rp 600-700 juta per kilogram. Masuk Indonesia bisa laku hingga Rp 2 miliar.
Ice Box sangat dekat dengan Sebatik, pulau kecil di antara Pulau Nunukan dan Teluk Tawau. Indonesia dan Malaysia berbagi daratan di sana. Jarak Sebatik-Tawau tak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit menaiki speedboat. Narkotik dari Ice Box sering pula disusupkan melalui Sebatik.
Ada tiga jalur utama masuk Sebatik dari Tawau: lewat daratan yang dikuasai Malaysia di sekitar Aji Kuning atau melalui wilayah Indonesia di Sei Nyamuk dan Sei Pancang. Penjagaan di ketiga pintu masuk itu sama longgarnya.
Biasanya, jika hendak langsung ke daerah lain tanpa melalui Nunukan, narkotik disusupkan melalui Pelabuhan Sei Nyamuk. Ada pos pemeriksaan Bea-Cukai di sana, tapi tak ketat-ketat amat. Banyak sabu-sabu diperkirakan lolos dari pelabuhan itu. Pada Maret lalu, polisi menangkap Andi Jumamin, 37 tahun, di sana. Lelaki asal Bone itu baru tiba dari Tawau dan sedang menunggu kapal menuju Tarakan.
Jumamin dinyatakan membawa 100,32 gram sabu-sabu, dikemas dalam beberapa kapsul yang dimasukkan ke usus melalui anusnya. "Istilahnya diroket," ujar Jumamin saat ditemui di LP Nunukan. Dia mengaku hanya kurir yang mendapat bayaran Rp 4 juta dari seseorang bernama Jamal di Tarakan, kota terbesar di Kalimantan Utara.
Kurir berkewarganegaraan Malaysia lebih suka menerobos ke teritori Indonesia di Aji Kuning. Daratan dua negara di daerah itu hanya dipisahkan sungai selebar kira-kira 10 meter. Mereka bisa melintas dengan perahu atau berjalan kaki menyeberangi jembatan.
Kata seorang polisi Sebatik, di Kampung Begusu, Sebatik, Malaysia, sekitar tujuh kilometer dari Aji Kuning, bercokol dua bandar sabu-sabu. "Keduanya pemain lama dan sering mengirim barang ke Indonesia," ujarnya.
Sekitar 50 meter dari pos yang dijaga anggota TNI Angkatan Darat di Aji Kuning, ada jembatan yang melintasi batas negara. Pada malam hari, jembatan itu sering tak dijaga. "Tenaga kami terbatas, sedangkan wilayah yang harus dijaga hampir 30 kilometer panjangnya," kata Komandan Kompi Pengamanan Perbatasan Pos Aji Kuning Pulau Sebatik, Letnan Satu Infanteri Agus Siswanto.
Pada April lalu, tentara yang berjaga di jembatan itu menangkap Tahang, 33 tahun. Warga Malaysia itu membawa 2,8 gram sabu dalam kemasan inhaler. Petugas jaga di sana juga pernah meringkus dua kurir yang mencoba menyusupkan sabu hampir 10 kilogram.
Pendatang dari Tawau yang masuk lewat Sei Pancang malah bisa langsung melaju ke permukiman penduduk di sepanjang sungai. Tempo menyaksikan speedboat dari Tawau melintas mudah tanpa diperiksa. Setelah nakhodanya memberi salam ke petugas jaga di pos TNI Angkatan Laut, kapal cepat yang memuat karung dan kardus itu melesak masuk sungai. Selang lima menit, lewat lagi kapal lain. Juga tanpa pemeriksaan.
Kapal berukuran sedang dari Tawau yang masuk lewat Sei Pancang bisa menyusuri sungai dan berlabuh di Dermaga Lalosalo. Sabtu empat pekan lalu, empat petugas Bea-Cukai tampak duduk santai memperhatikan karung, kardus, dan travel bag berpindah ke atas truk serta mobil di pelabuhan itu.
Sumber di Sebatik mengatakan, di sekitar Sungai Pancang, tinggal seorang bandar besar. Dia ditengarai mengendalikan jaringan perdagangan ubas—sebutan lokal untuk sabu-sabu—hingga Sulawesi dan sekitarnya. Informasi ini dibenarkan Kepala Kepolisian Resor Nunukan Ajun Komisaris Besar Christian Torry. Menurut dia, bandar tersebut kini tengah mereka intai. "Tunggu saja, dia pasti ditangkap," katanya.
Komandan pos TNI Angkatan Laut Sei Pancang, Letnan Dua Herry Setiyo Purnomo, ragu terhadap cerita Tempo mengenai penjagaan yang longgar. "Meskipun hanya membantu Bea-Cukai, sedapat mungkin kami memeriksa semua kapal dari Tawau," ujarnya.
Adapun juru bicara Bea-Cukai Nunukan, Eko Yulianto, mengatakan perlintasan di Pulau Sebatik memang tidak mereka jaga karena tak diwajibkan. "Kementerian Keuangan belum memasukkan Sebatik ke daftar wilayah pengawasan," katanya.
PERBATASAN yang longgar telah lama dimanfaatkan para penyelundup. Riset Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada 2011 menemukan hanya lima persen upaya penyelundupan narkotik yang dapat digagalkan. "Sekarang tidak jauh berbeda, bahkan mungkin lebih parah," kata Benny Mamoto, mantan Deputi Pemberantasan BNN.
BNN memperkirakan, selama 2014, sekitar 220 ribu kilogram sabu dan 14 juta butir ekstasi beredar di masyarakat. Sebagian besar diselundupkan dari Malaysia lewat jalur laut. Itu belum termasuk narkotik lain, seperti ganja, hashish, kokain, dan heroin. Sabu sebanyak itu cukup untuk membuat fly sekitar empat juta orang setiap hari selama setahun. Menurut BNN, rata-rata 33 orang meninggal setiap hari karena narkotik dan obat terlarang!
Selain Nunukan dan Sebatik, daerah perbatasan lain yang rawan narkotik adalah Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Wilayah darat kecamatan itu berbatasan dengan Distrik Tedebu di Negara Bagian Sarawak. Tak ada pemindai sinar-X atau anjing pelacak tatkala Tempo melintas batas di sana tiga pekan lalu. Petugas Imigrasi tak banyak bertanya. Bahkan paspor tak dicap.
Kawasan rawan lain terletak sepanjang Selat Malaka. Salah satunya Rupat, pulau kecil di Riau. Pulau depan Selat Malaka itu sering menjadi tempat transit narkotik dari Negara Bagian Negeri Sembilan dan Melaka, Malaysia. Dari Rupat, narkotik diseberangkan ke Dumai melalui "pelabuhan tikus", lalu ke kota-kota lain. Ongkos ngendong—istilah menjadi kurir narkotik di daerah itu—Rp 25 juta per kilogram sabu-sabu. "Keponakan saya pernah diminta mengirim sabu oleh seorang bandar di Dumai," ujar seorang warga di sana.
Wilayah yang juga sering dipakai untuk menyeberangkan narkotik adalah perbatasan di timur Indonesia, terutama Nusa Tenggara Timur dan Papua. Di NTT, Indonesia berbatasan dengan Timor Leste di Kabupaten Belu. Lewat perbatasan itu sering disusupkan sabu-sabu asal Cina, India, atau Pakistan. "Mereka memanfaatkan kelemahan pengawasan Timor Leste," kata pelaksana tugas Direktur Interdiksi BNN Agung Saptono.
Sepanjang Oktober 2014-Januari lalu, Bea-Cukai dan kepolisian NTT menangkap enam penyelundup sabu di pintu perbatasan Mota'ain, Belu. Salah seorang dari mereka warga Nigeria. Kepala Kepolisian Resor Belu Ajun Komisaris Besar Radja Sinambela mengatakan penyelundupan yang mereka gagalkan bermodus sama: menyelipkan sabu dalam tas bawaan. Kadang kurir masuk lewat bandar udara jika mendapat kabar pemindai sinar-X di Bandara El Tari, Kupang, sedang rusak.
Di Papua, narkotik disusupkan dari perbatasan Papua Nugini. Menurut Kepala Badan Narkotika Provinsi Papua Brigadir Jenderal Sukirman, ada delapan jalur ilegal di sana, tersebar di daerah Skow, Jayapura, serta Distrik Waris dan Senggi di Kabupaten Keerom. "Yang masuk kebanyakan ganja," katanya.
April lalu, tentara dari Satuan Tugas Batalion Infanteri 323/Raider di Skow memergoki dua orang menerobos "jalur tikus" di perbatasan. Diperintahkan berhenti, mereka malah kabur masuk hutan meninggalkan karung plastik berisi lima kilogram ganja.
Tapi narkotik dalam jumlah fantastis malah diselundupkan lewat Kepulauan Seribu, Jakarta. Pada Januari lalu, di apartemen City Park, Jakarta Barat, BNN meringkus Wong Chi Ping, yang menyelundupkan 862,6 kilogram sabu lewat Kepulauan Seribu. Wong, 42 tahun, adalah transporter alias kurir yang diburu-buru badan antinarkotik Malaysia, Myanmar, Thailand, Filipina, Cina, dan Hong Kong. Dia sudah tiga tahun menikahi wanita Indonesia dan menetap di Nunukan.
Itu tangkapan terbesar di kawasan Asia Tenggara dalam delapan tahun terakhir. Sabu senilai Rp 2 triliun tersebut dibawa dari Guangzhou, Cina, ke sekitar Pulau Pari. Di tengah laut, barang dipindahkan ke KM 633, yang lalu melakukan bongkar-muat di Pelabuhan Dadap, Tangerang, Banten.
Meski tak jauh dari Jakarta, pelabuhan di muara Sungai Dadap itu boleh dikata tanpa pengawasan. Saat Tempo mendatangi lokasi itu pada Selasa tiga pekan lalu, petugas jaga yang terlihat hanya Daud, pegawai honorer syahbandar yang jam kerjanya tak menentu.
"Di sini bebas. Selain untuk menurunkan ikan, kerap digunakan menurunkan angkutan lain, bahkan imigran gelap hingga narkotik," ujar Heri Afrizal, 38 tahun. Heri menjadi nelayan di Dadap sejak remaja. Ia kawan Salim, warga setempat yang direkrut Wong menjadi kurir sabu-sabu.
"Sekarang kami sedang memburu gembong Wong di Cina, bekerja sama dengan badan antinarkotik di sana," kata Inspektur Jenderal Deddy Fauzi Elhakim, Deputi Pemberantasan BNN.
Upaya penyelundupan lebih besar hampir saja berhasil pada 2006. Masuk dari Kepulauan Seribu, Ah Kwang alias Samin Iwan mendaratkan 966 kilogram sabu di pelabuhan Muara Tanjung Burung, Tangerang. Dalam perjalanan menuju Jakarta, mobil boks bermuatan sabu yang mereka pakai menabrak petugas dari Kepolisian Sektor Teluk Naga yang tengah berpatroli.
MENANGGAPI serbuan narkotik dari perbatasan, pemerintah membentuk Satuan Tugas Interdiksi pada 2010. Satuan tugas itu berada di bawah kendali BNN. Anggotanya Bea-Cukai, Imigrasi, Karantina, Kepolisian, Otoritas Bandara, Kementerian Perhubungan, Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut.
Tugas utama mereka mengawasi perbatasan di darat, laut dan udara. Tapi, hingga kini, tim tersebut baru beroperasi di 26 titik gugus tugas, sebagian besar di bandar udara internasional. "Kendalanya jumlah personel yang terbatas," kata Agung Saptono.
Fasilitas buruk dan keterbatasan jumlah tenaga semakin runyam oleh perilaku "nakal" aparat di perbatasan. Misalnya di Sebatik. Menurut anggota kepolisian setempat, bandar narkotik di sana dilindungi sejumlah aparat. Indikasinya, kata dia, "Setiap ada penyelidikan yang mengarah ke bandar tertentu, kami 'diarahkan' ke tempat lain."
Investigasi Jalur Masuk Narkotik Penanggung jawab: Budi Setyarso, Philipus Parera Penyunting: Budi Setyarso, Philipus Parera, Yandhrie Arvian Pemimpin proyek: Agung Sedayu Penulis: Stefanus Teguh Pramono, Agung Sedayu, Mustafa Silalahi Penyumbang bahan: Mustafa Silalahi, Tri Artining Putri (Jakarta), Agung Sedayu (Dumai, Rupat), Stefanus Teguh Pramono (Nunukan, Sebatik, Tawau), Aseanty Pahlevi (Entikong), Joniansyah Hardjono (Tangerang), Riyan Nofitra (Pekanbaru), Rumbadi Dalle (Batam), Yohanes Seo (Belu), Cunding Levi (Skow) Riset foto: Jati Mahatmaji Desain: Djunaedi |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo