Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tahun bekerja sebagai anggota staf administrasi di kantor cabang Orix Indonesia Finance di Balikpapan, Kalimantan Timur, Hana Farida merasakan ada yang berubah belakangan ini. Di perusahaan asal Jepang yang khusus menangani pengadaan alat berat itu, berkas-berkas yang mampir ke mejanya perlahan berganti. Dari semula aplikasi leasing, sekarang jadi lebih banyak formulir account receivable alias piutang perusahaannya yang belum tertagih. "Ritme kerja masih sama, tapi jenis pekerjaannya berbeda," kata Hana, Rabu dua pekan lalu.
Ketika memulai kerja pada April 2011, Hana turut merasakan booming ekspor batu bara dan minyak sawit (crude palm oil). Puluhan aplikasi kredit pembelian alat-alat berat ia proses setiap pekan. Awal 2014, kelesuan mulai terasa seiring dengan penurunan harga komoditas tambang dan perkebunan di pasar dunia.
Kondisi tak membaik sampai tahun berganti. Sejak Januari lalu, Orix, yang punya sepuluh cabang di Indonesia, bahkan tak berani lagi melayani permohonan leasing alat berat bagi perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan kegiatan tambang batu bara. "Kami tolak di tempat," ujar Hana. Perusahaan ini sekarang mengalihkan energinya untuk menggarap permintaan dari kontraktor yang menggarap proyek infrastruktur.
Dengan produk domestik regional bruto Rp 137,64 triliun, Kalimantan Timur adalah salah satu daerah yang ekonominya merosot pada triwulan pertama 2015. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dibanding triwulan sebelumnya, ekonomi Kalimantan Timur mengalami kontraksi 4,42 persen. Semua sektor terkoreksi. Dan yang paling menderita adalah sektor pertambangan dan penggalian, yang jatuh paling dalam hingga minus 6,28 persen.
Bukan cuma Kalimantan Timur yang merana. Secara nasional pun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama lalu hanya 4,71 persen. Angka itu turun dibanding periode yang sama tahun lalu, sebesar 5,14 persen.
Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, perlambatan ekonomi memang dipengaruhi tren turunnya harga komoditas ekspor unggulan, seperti batu bara, karet, dan kelapa sawit. Itu sebabnya pertumbuhan ekonomi paling rendah melanda daerah penghasil komoditas tersebut, yakni Kalimantan dan Sumatera. "Pertumbuhan di Kalimantan hanya 1 persen dan Sumatera 3 persen," katanya.
Ekonomi melambat, jumlah penganggur pun meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Februari 2014 ada 7,15 juta orang yang menganggur, sedangkan pada Februari tahun ini angka itu naik menjadi 7,45 juta. Daya beli masyarakat perlahan terseret turun.
Di Pasar Pagi Arengka, Pekanbaru, misalnya, para pedagang makin sering mengeluhkan berkurangnya pembeli. Ini tak biasa, karena Ramadan sebentar lagi datang. "Biasanya, kalau mau puasa, harga memang naik, tapi yang beli tetap banyak," ujar Ridwan, pedagang telur ayam, Kamis dua pekan lalu. Ridwan menaikkan harga dagangannya, dari Rp 900 per butir telur bulan lalu, menjadi Rp 1.200 per butir.
Ridwan mengingat, dua pekan sebelum Ramadan tahun lalu, pasar sudah mulai ramai. Banyak keluarga menggelar hajat. "Di waktu seperti ini, biasanya saya bisa menjual sampai 6.000 butir telur sehari. Sekarang laku 3.000 sudah bagus," katanya.
Pedagang lain, Riki Haryanto, menyatakan hal serupa. Cabai merah dagangannya susah laku. Sekarang ia bersyukur bila bisa menjual 35 kilogram cabai dalam sehari. Padahal setahun lalu rata-rata dagangannya mencapai 75 kilogram per hari.
Mirip Kalimantan Timur, Riau dikenal sebagai daerah penghasil batu bara dan minyak sawit. Ekspor menyumbang 31,78 persen dari produk domestik regional bruto di sana, yang pada kuartal pertama lalu mencapai Rp 156,27 triliun. Lesunya ekspor otomatis berdampak pada penerimaan daerah.
Hingga 31 Mei lalu, pendapatan asli daerah Riau baru mencapai Rp 600 miliar. Itu baru 30 persen dari target 2015 sebesar Rp 2,9 triliun. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Riau S.F. Haryanto mengatakan seretnya pencapaian target ini disebabkan oleh turunnya angka penjualan kendaraan bermotor. Ia menyebutkan, hingga tahun lalu, rata-rata ada 400 unit mobil terjual di Riau. Tapi, hingga pertengahan tahun ini, penjualan mobil berkurang sampai separuhnya. "Ini sangat mempengaruhi pendapatan pajak," ujarnya Jumat dua pekan lalu.
Roda ekonomi Riau makin tersendat lantaran penyerapan anggaran pemerintah daerah hingga memasuki akhir semester pertama hanya 10 persen. Program lain dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga belum berjalan maksimal. Hingga akhir April lalu, Pemerintah Provinsi Riau baru memulai pelelangan 432 paket dari total 7.030 program kerja yang direncanakan.
Di Kalimantan Tengah, pemerintah daerah mencoba mengatasi masalah semacam itu dengan membentuk Tim Pemantauan Realisasi Anggaran. Tim bekerja langsung di bawah Gubernur Agustin Teras Narang. "Ini saya pelototi terus," kata Teras.
Dia memasang target tinggi: penyerapan anggaran 20 persen pada triwulan pertama, lalu 50 persen di triwulan kedua, 85 persen di triwulan ketiga, hingga terserap sempurna pada triwulan terakhir. Ia mengklaim semua target itu tercapai pada 2013 dan 2014.
Langkah Teras dipuji Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Palangkaraya, Muhammad Nur. Ia menyebutkan, delapan tahun belakangan, tingkat pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah selalu lebih tinggi dibanding provinsi lain di Kalimantan. Tahun lalu, ekonomi Kalimantan Tengah tumbuh 6,21 persen, sementara Kalimantan Barat 5,02 persen, Kalimantan Selatan 4,85 persen, dan Kalimantan Timur hanya 2,02 persen. "Pada awal tahun ini pun, sementara pertumbuhan ekonomi di daerah lain terkoreksi, Kalimantan Tengah masih positif, meski hanya 1,06 persen," ujar Nur.
Wakil Presiden Jusuf Kalla punya pandangan sendiri terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi yang dicapai. "Angka statistik kita 4,7 persen. Ada berita baik dan buruk. Buruknya, ini di bawah target," kata Kalla saat membuka penyelenggaraan Institute of International Finance Asia Summit 2015 di Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. "Tapi kita masih lebih baik daripada negara lain di kawasan ini."
Pingit Aria, Riyan Nofitra, Karana Wijaya
Produk domestik bruto Indonesia berdasarkan harga berlaku triwulan pertama 2015 mencapai Rp 2.724,7 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 2.157,5 triliun.
Ekonomi Indonesia triwulan pertama 2015 terhadap triwulan pertama 2014 tumbuh 4,71 persen (y-on-y), melambat dibanding periode yang sama pada 2014 (sebesar 5,14 persen).
Pertumbuhan dan distribusi antarpulau pada kuartal pertama 2015
Wilayah | Pertumbuhan dibanding tahun sebelumnya (%) | Pertumbuhan dibanding triwulan sebelumnya | Distribusi (%) | |
Sumatera | 3,53 | 0,03 | 22,56 | |
Jawa | 5,17 | 0,49 | 58,30 | |
Bali dan Nusa Tenggara | 8,86 | -1,41 | 2,97 | |
Kalimantan | 1,06 | -3,44 | 8,26 | |
Sulawesi | 7,32 | -2,00 | 5,72 | |
Maluku dan Papua | 3,74 | -1,99 | 2,19 | |
Tren penurunan harga komoditas unggulan Indonesia tampak sejak tahun lalu. Kondisi yang tak kunjung membaik membuat ekspor makin lesu.
Penurunan harga komoditas
Komoditas | Harga Januari 2014 (US$/ton) | Harga September 2014 (US$/ton) | Perubahan (%) | |
Minyak sawit mentah | 928 | 726 | -1,70 | |
Batu bara | 78,6 | 66,4 | -15,46 | |
Karet | 2.230,3 | 1.588,2 | -28,79 | |
Tergulung Sarung di Majalaya
Kurang dari dua pekan menjelang Ramadan, pabrik sarung CV Sandang Makmur Lestari masih sepi. Delapan dari 12 mesin rajut dibiarkan teronggok berdebu. Puluhan kodi sarung jadi juga menumpuk di satu sudut. "Sebelum puasa, biasanya dikebut. Tak pernah mesin-mesin itu kosong," kata Agus Sobur, Senin pekan lalu. Pria 53 tahun ini sudah enam tahun bekerja di pabrik yang berdiri di Jalan Rancajigang, Majalaya, Kabupaten Bandung, tersebut.
Sejauh ini, Agus masih merasa beruntung. Pekerjaan memang berkurang, tapi gajinya masih dibayarkan. Tapi tak urung ia ketar-ketir keberuntungan itu tak akan bertahan lama. Satu per satu rekan kerjanya dirumahkan. "Dari 40 orang saat Idul Adha tahun lalu, sekarang tinggal 18 orang," ujarnya. Apalagi banyak pabrik sarung lain gulung tikar sebulan terakhir.
Ramadan, yang biasanya dianggap masa panen bagi produsen sarung, kini serasa paceklik. Deden Suwega, salah satu pemilik pabrik, mengatakan tahun lalu 24 mesin tenunnya menghasilkan sekitar 2.200 lembar sarung per hari. Sekarang produksi tinggal setengahnya. Pesanan tak banyak. "Permintaan yang datang pun hanya motif kembang, dengan catatan harga tak naik," katanya.
Jika tak mengurangi produksi, Deden yang juga Ketua Kelompok Perajin Sarung Majalaya itu khawatir sarung di pabriknya tak akan laku. Hal itu sudah terjadi di pabrik-pabrik lain. Dia memperkirakan total ada 250-300 ribu kodi kain sarung menumpuk karena tak laku di Majalaya. "Itu setara dengan produksi enam bulan tidak bisa terjual."
Ia pun heran mengapa semua dagangan itu tak laku. Padahal harga jual sarung-sarung itu tak mahal, hanya Rp 300-500 ribu per kodi atau Rp 15-25 ribu per lembar. Deden mengklaim tak ada anggota kelompoknya yang menaikkan harga jual, meski harga benang sebagai bahan baku yang mereka beli dari Cina dengan dolar naik 20-30 persen. "Margin tipis tidak apa, yang penting laku."
Lesunya industri tekstil nasional diakui Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat. Indikasi kelesuan itu, kata dia, tampak dari banyaknya pekerja tekstil yang dirumahkan. Di Kabupaten Bandung saja, 6.000 pekerja terpaksa dirumahkan sejak awal Januari hingga Mei tahun ini. "Di seluruh Jawa, mungkin jumlahnya bisa ratusan ribu," ujar Ade, Rabu pekan lalu.
Karena itu, Ade meminta pemerintah menyerap hasil industri dalam negeri. Penyerapan oleh pemerintah bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengimbau pegawai negeri membeli kain lokal untuk kebutuhan sandang Lebaran atau parsel mereka. Pemerintah juga bisa memanfaatkan tekstil seperti sarung untuk cadangan bencana. "Ini perlu dilakukan untuk menggairahkan industri tekstil," katanya.
Bila tak ada uluran tangan, Ade takut akan lebih banyak lagi pengusaha tekstil merumahkan karyawannya. Sebab, berkebalikan dengan daya beli masyarakat yang melorot, beban operasional mereka terus meningkat seiring dengan kenaikan tarif listrik. "Pemakaian listrik hampir 25 persen dari biaya operasional," ucapnya.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian, Harjanto, mengatakan hendak berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk segera menyerap sarung produksi lokal pada masa Ramadan dan Lebaran mendatang. "Kami harapkan bisa diserap oleh BUMN untuk pengadaan Lebaran karyawan," ujar Harjanto.
Untuk membantu industri, kata Harjanto, pemerintah juga telah memberikan keringanan berupa pengurangan bea masuk impor mesin tekstil. Insentif itu diberikan bagi pengusaha yang ingin menjalankan restrukturisasi mesin dan peralatan. "Pemerintah membayarkan 10 persen dari pembelian mesin."
Pingit Aria, Ahmad Fikri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo