Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jejak Perang Biong di Meruya

Lebih dari dua dasawarsa silam, para biong—makelar tanah—kelas kakap berperang di Meruya Selatan, Jakarta Barat. Jejaknya masih tertinggal hingga kini. Sekitar 20 ribu jiwa terancam kehilangan tempat tinggal. Penelusuran Tempo menemukan bahwa PT Porta Nigra ada di balik keruntang-pungkang masalah ini. Benarkah perusahaan milik Benny Purwanto Rachmat itu berhak atas tanah Meruya?

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu siang pada awal 1980-an. Wali Kota Jakarta Barat, Haji Rukiat, memanggil Zainuddin—saat itu sebagai Kepala Urusan Sosial Politik Jakarta Barat—ke ruangannya. Di dalam sudah ada tiga laki-laki yang tidak dia kenal. ”Zain, gimana ini?” tanya Rukiat sambil menunjukkan selembar dokumen.

Zainuddin melihat berkas itu adalah surat pelepasan hak atas tanah warga Meruya Udik kepada PT Porta Nigra. Di bagian ”penjual” sudah ada tanda tangan. Dua orang saksi juga sudah membubuhkan tanda tangan di situ. Cuma bagian ”camat” yang belum ditandatangani. ”Nama saya sudah tertera,” tutur Zainuddin kepada Tempo dua pekan lalu.

Tapi, Zainuddin, yang menjabat Camat Kebon Jeruk yang membawahkan wilayah Meruya Udik ketika jual-beli dilakukan, menolak menandatangani surat tersebut. Zainuddin beralasan, dia tidak pernah melihat transaksi itu dan ketika tanda tangannya diminta, dia sudah bukan Camat Kebon Jeruk lagi.

Belakangan dia tahu, satu dari ketiga orang itu adalah Mayor Jenderal Marinir Mohamad Anwar. Ini setelah pada suatu malam Anwar datang ke rumahnya. Dia bertanya soal seluk-beluk izin kepemilikan tanah. ”Saya menjelaskan, untuk tanah di atas 5.000 meter persegi harus ada izin dari gubernur,” ujarnya.Anwar pulang dan tak pernah muncul lagi. Dia sekali lagi mendengar nama Porta saat menjadi saksi di pengadilan pada 1984. Lalu lupa. Ingatannya kembali terangkat menyusul ribut-ribut di Meruya Selatan, Mei lalu.

Senin, 21 Mei itu, Porta Nigra berencana mengeksekusi lahan miliknya di Meruya Selatan. Menurut surat penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu, PT Porta Nigra adalah pemilik tanah seluas 78 hektare di wilayah itu. Ini hampir seperlima luas total Kelurahan Meruya Selatan yang mencapai 380 hektare. Alas kepemilikan itu, menurut surat tersebut, adalah putusan kasasi Mahkamah Agung pada 26 Juni 2001.

Yang jadi soal, di atas lahan itu sudah berdiri 5.563 bangunan yang dihuni sekitar 20 ribu jiwa yang tersebar di perumahan Wali Kota Jakarta Barat, DPR 3, Mawar, Meruya Residence, DPA, Perkavelingan BRI, Kaveling DKI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon Jeruk, dan Unilever.

Warga melawan. Bukan cuma menggagalkan eksekusi, mereka melakukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat bersama-sama Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso bahkan bersedia pasang badan mendukung warga Meruya.

l l l

Kisruh tanah di Meruya Selatan, kini Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, berakar pada 1970-an, kala daerah itu masih bernama Meruya Udik. Pemeran utamanya empat orang makelar atau biasa disebut biong: Benedictus (Benny) Purwanto Rachmat, M. Yatim Toegono, Djuhri bin Geni, dan Yahya bin Geni.

Suatu hari di bulan November 1972, Benny, pemilik sekaligus Direktur I PT Porta Nigra, menemui Toegono. Ia meminta bantuan membebaskan tanah seluas 50 hektare di Meruya Udik. Benny datang dengan seorang pegawainya, Sutanto Suganda. Sutantolah yang kemudian menjadi kasir yang mengeluarkan uang untuk transaksi tanah tersebut.

Toegono yang sudah kapalan di bisnis tanah langsung menyanggupi permintaan Benny. Sebulan kemudian, Benny menyerahkan surat tugas dan uang Rp 53 juta untuk pembebasan tanah kepada Toegono. Karena Toegono orang Jelambar, tak kenal medan Meruya, dia segera menemui Djuhri, Mandor II Meruya Udik. Ia mengajak ”jagoan” dan makelar tersohor di Meruya itu untuk bekerja sama.

Begini kesepakatan mereka: Toegono akan memberikan Rp 300 untuk setiap meter persegi tanah darat yang bisa dibebaskan Djuhri, dan Rp 200 untuk lahan sawah. Itu angka yang menggiurkan, karena harga tanah sawah cuma sekitar Rp 175 per meter persegi. Djuhri bisa untung hingga Rp 25 per meter. Itu belum termasuk premi Rp 5 rupiah tiap meter persegi. Djuhri mengajak adik tirinya, Yahya, yang juga juru tulis kelurahan. Maklum, sang mandor cuma jebolan kelas I Sekolah Rakyat, tak bisa baca-tulis.

Pembebasan lahan berlangsung meriah. ”Waktu itu Mandor Djuhri nggak cuma bawa uang, tapi juga sepeda motor,” cerita Lebar, 80 tahun, kepada Tempo. Lebar adalah rekan Djuhri yang ketika itu menjabat sebagai Mandor I Meruya Udik. Hampir setiap hari Djuhri keliling kampung membawa truk berisi puluhan sepeda motor Yamaha yang kala itu masih merupakan barang mewah.

Nama Benny ikut moncer mengalahkan nama Porta Nigra. ”Ketika itu sebagian besar warga nggak tahu Porta Nigra. Mereka cuma tahu tanah dibeli oleh Astra. Benny Astra,” ujar Yahya kepada Tempo di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta, Rabu pekan lalu. Benny memang kerabat pendiri perusahaan otomotif terbesar di Indonesia itu.

Secara bertahap, Djuhri menyerahkan surat-surat berharga itu kepada Toegono yang kemudian meneruskannya kepada Benny. Baru tiga bulan berjalan, proses pembebasan macet. Aliran dana dari Benny ke Toegono lancar, tapi dari Toegono ke Djuhri tersendat. Benny menghitung sudah mengeluarkan uang Rp 53 juta kepada Toegono, namun dari Toegono ke Djuhri cuma menetes separuhnya. Yang membikin Djuhri keder, saat itu ia telah membuat kesepakatan dengan banyak warga.

Soal ini sampai juga ke telinga Benny. Ia pun memecat Toegono dan langsung menyerahkan uang kepada Djuhri. Itu terjadi pada Maret 1973. Selain melalui Sutanto, tak jarang Benny mengantar sendiri uang ke rumah Djuhri. ”Saya bawa uang dengan mobil boks ke rumah Djuhri,” ujar Benny yang ditemui Tempo di Grand Melia sedang bersama Yahya.

Dari si Bos, Djuhri mendapat guyuran rupiah hingga sekitar Rp 220 juta. Djuhri pun meluaskan proyek hingga ke Meruya Ilir yang kini berganti nama Meruya Utara.

Berapa luas tanah yang sudah ia bebaskan dengan uang sebanyak itu? Ini yang membingungkan. Benny mengatakan 100 hektare. Toegono, ketika masih hidup, mengatakan sekitar 78 hektare. Pengakuan Djuhri juga berubah-ubah: kadang 40 hektare, di lain waktu 60 hektare, kadang 78 hektare.

Ini salah Porta Nigra. Penelusuran Tempo menemukan, kekacauan angka ini bermula dari tidak adanya rekam-jejak jual-beli oleh Porta Nigra di Leter C. Itu terjadi karena Benny melakukan pembebasan lahan tanpa mengantongi izin prinsip Gubernur DKI Jakarta. Menurut peraturan 1972 ini, pembebasan lahan di atas 5.000 meter persegi oleh perusahaan harus dengan izin gubernur. Toh, jual-beli terus berlangsung, karena Djuhri menabur uang pelicin kepada lurah. Dia menyogok Lurah Sana bin Sini, kemudian Lurah Asmat Siming yang menggantikan Sana pada pertengahan 1973. Keduanya sudah meninggal.

Memanfaatkan celah di buku tanah ini, pada 1974–1979, Djuhri menjual kembali tanah-tanah tersebut kepada pembeli yang ”direstui” Gubernur DKI, yakni: PT Copylas, PT Intercone, PT Lambrata, Bank Rakyat Indonesia, dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Lagi-lagi, jual-beli ini terselenggara berkat campur tangan lurah. Lurah Asmat, ujar Djuhri, seperti dikutip dari Berita Acara Pemeriksaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Opstib Pusat), mengeluarkan riwayat tanah dan surat pernyataan bahwa lahan mereka tidak dalam sengketa serta belum pernah dijual. Per berkas, Asmat mendapat Rp 50 hingga Rp 100 ribu.

Hasil penjualan tanah-tanah itu dipakai Djuhri untuk menyogok Lurah, melunasi utangnya pada para warga pemilik tanah, dan sisanya sekitar Rp 19 juta masuk ke kantong sendiri. Akhirnya, yang tersisa cuma 5 hektare lahan yang kini menjadi perumahan elite Meruya Residence.

Eh, aksi Djuhri itu akhirnya diketahui Komando Opstib. Kata Yan Juanda, pengacara Benny, hal itu terungkap lantaran perseteruan Djuhri dengan Toegono soal rejeki ”Tanah Benny Astra” itu. Namun, mengacu pada salah satu dalil gugatan perdata Porta terhadap Djuhri dan teman-teman di Pengadilan Negeri pada 1996, kasus itu disidik Opstib justru berdasarkan laporan Porta.

Maka, Djuhri, Toegono, dan Yahya menjadi tersangka pada 1984. Tuduhannya: menyuap petugas negara, membuat surat palsu, dan membujuk pihak lain untuk membeli tanah.

Sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada persidangan ini Djuhri mengaku memalsukan surat-surat tanah yang dia jual, karena yang asli telah dia serahkan kepada Benny. Luas totalnya sekitar 78 hektare, namun tidak semuanya dia beli. ”Luas tanah yang benar-benar murni saya bayar tunai kurang lebih 41 hektare,” ujar Djuhri seperti tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan.

Di pengadilan yang sama, Djuhri membela ulahnya dengan dalil proyek Benny tak punya izin gubernur, warga juga terus-menerus menagih sisa pembayaran tanah karena uang dari Benny kurang, dan adanya teguran dan ancaman Camat Kebon Jeruk, Zainuddin. Kalau nanti Benny menagih haknya, ujar Djuhri waktu itu, dia akan menggantinya dengan tanah lain (lihat ”Akhir Sunyi Haji Djuhri”).

Sidang berakhir pada 7 November 1985. Majelis hakim yang diketuai R. Ismail menyatakan Djuhri, Toegono, dan Yahya terbukti bersalah melakukan penyuapan dan membuat surat palsu.

Djuhri menerima keputusan itu. Yahya melakukan banding dan menyerah di Pengadilan Tinggi yang menghukumnya dua bulan penjara. Dan Toegono, yang tak puas, kandas di tingkat kasasi. Mahkamah Agung menghukum biong asal Jelambar itu dengan kurungan satu tahun penjara serta diperintahkan mengembalikan girik tanah seluas 3.000 meter persegi atas nama Djambor bin Guring di Meruya Udik kepada Benny (lihat ”Jeruk Makan Jeruk”).

l l l

”Masih ingat Toegono?” ”Toegono? Siapa Toegono?” ”Kalau Jenderal Anwar?” ”Siapa dia?”

Itu dialog antara Tempo dan Djuhri di Ruang VIP Wijaya Kusumah, Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Pusat, Sabtu dua pekan lalu. Keluarga membawa bekas mandor itu ke rumah sakit dua hari sebelumnya. Menurut anaknya, Mardani, ayahnya mendadak lemas di tengah acara istigosah keluarga. ”Waktu itu kami berdoa semoga Haji Yahya segera disadarkan,” cerita Mardani. ”Eh begitu mendengar nama Yahya, Baba ngedrop.”

Takut kesehatan ayahnya kembali memburuk, Mardani mewanti-wanti agar Tempo tidak menanyakan soal Yahya kepada Djuhri. Yahya, menurut keluarga Djuhri, adalah pengkhianat yang memilih bergabung dengan Benny ketimbang dengan keluarga sendiri. Tapi, Mardani tak melarang Tempo menanyakan soal Benny.

”Kalau Benny?” Tempo kembali bertanya kepada Djuhri.

”Benny...,” Djuhri menampakkan mimik masih mengingat nama ini. ”Tau dah apa maunya tu orang. Gak mikirin, biarin aja dah.…”

Djuhri memang bakal sukar melupakan Benny. Setelah vonis pidana jatuh pada 1985, Djuhri dan keluarga menganggap kasus itu sudah selesai. Ini karena ia telah memenuhi putusan pengadilan untuk membayar kerugian kepada Benny berupa tanah 3 hektare dan uang Rp 175 juta. Ganti rugi itu dia angsur beberapa kali. Mula-mula Rp 10 juta kepada Benny, tercatat pada kuitansi 29 April 1987.

Selanjutnya, yang menerima pembayaran adalah Mayor Jenderal Mohamad Anwar—mewakili Yayasan Sosial Bhumyamca milik Angkatan Laut. Benny menguasakan penagihan piutangnya kepada Djuhri melalui Anwar. Sebab, Porta punya utang kepada Bhumyamca. Maka, ketika mengetahui rencana eksekusi tanah di Meruya Selatan oleh Porta pada Mei lalu, Djuhri dan keluarganya kaget bukan kepalang. ”Kami merasa dizalimi,” ujar Mardani.

Mardani mengakui, keluarganya tahu bahwa Benny kembali menggugat ayahnya serta Yahya dan Toegono secara perdata. Namun gugatan itu sudah terpental, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tinggi. Yang mereka tidak tahu, Porta mengajukan kasasi atas perkara itu, dan menang!

Belakangan terkuak, kasasi itu bisa berlangsung karena Amir Nasution mengajukan diri untuk mewakili Djuhri tanpa surat kuasa, dan MA setuju saja. Amir adalah pengacara Djuhri pada pengadilan pidana hingga pengadilan banding perdata di Pengadilan Tinggi. Menurut Yan Juanda, kuasa hukum Porta, Amir beralasan bahwa Djuhri sudah invalid akibat stroke. ”Kalau saya paksa dia beri surat kuasa, malah saya nanti yang disalahkan,” ujar Yan, menirukan kata-kata Amir kala itu, kepada Tempo.

Masalahnya, Amir bahkan melakukan itu tanpa setahu keluarga Djuhri. Sudah begitu, menurut Mardani, memori kasasi yang diajukannya untuk mewakili Djuhri sama sekali tidak membantah dalil-dalil Porta. Putusan MA yang diambil Amir pun hingga hari ini tak pernah sampai ke tangan Djuhri dan keluarga. Ada apa?

Sayang, Amir, 59 tahun, kini sulit bicara. Penyakit gula dan darah tinggi merontokkan badannya hingga ia tak lagi berpraktek pengacara dalam lima tahun terakhir. Penjelasan kepada Tempo ia sampaikan melalui salah seorang keponakannya.

Menurut dia, surat kuasa dari Djuhri untuk gugatan perdata itu ada. ”Kalau tak percaya silakan buktikan keaslian tanda tangan Djuhri di laboratorium forensik,” katanya. Masalahnya, Amir mengaku lupa di mana menyimpan surat kuasa itu.

Lepas soal Amir, kasasi perdata Porta Nigra melawan Djuhri, Toegono, dan Yahya juga diwarnai banyak keanehan. Mula-mula, ada dua versi hakim dalam salinan keputusan MA yang beredar. Pada salinan pertama di PN Jakbar, hakim agungnya adalah Zakir, Toton Suprapto, dan Emin Aminah. Tapi pada berkas yang sampai ke DPR perkara itu diadili Emin Aminah, Benjamin Mangkoedilaga, dan Khairani Awani. Meski MA sudah meluruskan bahwa nama-nama hakim yang benar adalah dalam versi yang diterima DPR, fakta ini tetap mencurigakan.

Pertimbangan MA bahwa tidak benar tanah sengketa telah dikuasai pihak ketiga pun mengherankan. ”Memangnya ribuan warga yang telah menetap di sana bukan orang?” ujar Fransisca Romana, pengacara warga Meruya Selatan.

Namun, Benjamin beralasan, ketika mengatakan tanah di tempat itu kosong, yang mereka pertimbangkan adalah kondisi pada 1972–1973. ”Urusan kami hanya melihat, pada saat jual-beli dilakukan, tanah itu kan berupa tanah kosong,” ujarnya.

Alasan Benyamin masuk akal. Namun, bukan itu yang menjadi pertimbangan dalam salinan putusan kasasi. Yang tertulis adalah: ”…karena dalam Berita Acara Sita Jaminan yang dilaksanakan tanggal 1 April 1997 dan 7 April 1997 tidak ada catatan yang menyatakan ada bangunan.”

Tapi, Yahya, mengatakan bahwa pada 1997 pun kawasan Meruya Selatan belum seramai sekarang. ”Demi Allah, di Kaveling DKI, misalnya, satu kaveling rata-rata isinya cuma sekitar 10 rumah.”

Walhasil, bisa dimengerti mengapa Djuhri, melalui pengacara barunya, Djunaidi, mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan MA itu. ”Lagi pula, kami punya beberapa bukti baru (novum) yang tidak menjadi bahan pertimbangan MA saat memutuskan kasasi,” ujarnya. Novum yang dimaksud, antara lain, bukti bahwa Djuhri telah memberikan ganti rugi kepada Benny sesuai dengan amanat Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

l l l

Kalau Djuhri menganggap persoalan tanah selesai setelah dia menuntaskan amanat vonis pidana, tidak demikian dengan Benny. Benny bahkan ragu apakah dia pernah menerima pembayaran pertama sebesar Rp 10 juta melalui Adelbert Totok Subroto. ”Kalau ada kuintasinya, coba saya lihat. Saya lupa,” ujarnya (lihat wawancara dengan Benny).

Meski Benny mengaku telah mengalihkan haknya atas ganti rugi dari Djuhri kepada Mohamad Anwar, ia berkeras itu bukan ganti rugi. Masalahnya, mengapa Benny menerima ganti rugi itu? ”Saya cuma mengikuti keputusan pengadilan,” ujarnya.

Menurut dia, putusan ini terkait dengan permohonan Djuhri kepada hakim agar hukumannya menjadi lebih ringan. ”Djuhri sendiri yang usul di pengadilan,” ujarnya.

Lagi pula, menurut Benny, nilai tanahnya yang dijual oleh Djuhri jauh lebih besar dari tiga hektare dan Rp 175 juta. ”Masak, tanah saya 100 hektare di Meruya Udik cuma dinilai segitu pada 1987,” ujarnya.

Memang, jika pengadilan memaksudkan ganti rugi itu sebagai ganti rugi total dari Djuhri, angkanya terlalu kecil untuk tanah yang dibebaskan dengan uang sekitar Rp 225 juta pada 1972–1973. Apalagi, ada fakta bahwa pengadilan mengembalikan 357 map berisi surat-surat tanah kepada Porta, yang bisa diartikan sebagai pengakuan hak Porta atas tanah-tanah tersebut.

Tapi, bahwa Porta berhak atas seluruh tanah yang tertera dalam girik yang mereka pegang, perlu diuji lebih jauh melalui proses hukum lain. Misalnya, sulit untuk mengabaikan kesaksian Djuhri dalam BAP bahwa tidak semua tanah yang surat-suratnya dia serahkan kepada Benny sudah seluruhnya dibeli. Demikian juga pengakuan saksi-saksi lain di pengadilan bahwa tidak semua tanah yang kini mereka kuasai dibeli dari Djuhri (lihat ”Tergorok Girik Asli”).

”Perang Tanah” di Meruya Selatan, mengutip istilah Djuhri, tampaknya masih jauh dari ujung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus