Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN para aktivis buruh migran ternyata tak meleset. Derita Ceriyati sesungguhnyalah merupakan seonggok kasus yang sempat menyembul ke permukaan, ibarat puncak gunung es. Di balik itu, yang tak terekspos, ada seabrek kisah tragis yang menimpa para pembantu rumah tangga kita di luar negeri, khususnya di Malaysia.
Belum lagi penganiayaan terhadap Ceriyati tuntas diproses secara hukum, dua kejadian serupa membuntuti. Siti Kurniatan dan Lilis, dua perempuan asal Jawa Tengah yang juga bekerja sebagai pembantu di negeri jiran itu, mengalami peristiwa memilukan: disiksa majikan. Akibatnya, tempurung kanan Siti retak, setelah terjatuh dari lantai 3 apartemen juragannya. Wajah Lilis memar dan ada pula lebam di sana-sini….
Kabar tak sedap ini lagi-lagi menunjukkan betapa perlindungan hukum terhadap buruh migran kita, khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, begitu lemah. Pemerintah Indonesia dan Malaysia harus berbicara lebih serius untuk mencegah terulangnya kasus penyiksaan sebagaimana diderita Ceriyati, Lilis, Siti, Nirmala Bonat, dan entah siapa lagi. Drama paling tragis yang dialami Ceriyati harusnya dijadikan pelajaran terakhir.
Padahal, di kertas, perhatian pemerintah terhadap pekerja yang dihaluskan istilahnya sebagai penata laksana rumah tangga ini tidaklah jelek-jelek amat. Sudah ada nota kesepahaman tentang perlindungan terhadap mereka, yang diteken menteri tenaga kerja kedua negara itu di Bali tahun lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Datuk Abdullah Badawi ikut pula menjadi saksi perhelatan itu.
Seharusnya kasus ini dijadikan momentum bagi kedua negara untuk memperbaiki sistem penempatan dan penerimaan serta pemenuhan hak-hak dan kewajiban tenaga kerja Indonesia dan majikannya secara terbuka. Misalnya memaparkan secara jelas hak tenaga kerja untuk berlibur, bersosialisasi, melakukan ”ekspresi kultural”, berhubungan dengan teman sejawat dan keluarga, serta mengambil cuti. Hal-hal penting yang belum tercantum dalam nota kesepahaman inilah yang mesti dibahas secara mendalam dalam perundingan komite bersama RI-Malaysia, di Surabaya, akhir bulan ini.
Di luar perundingan itu, penanganan hukum perkara Ceriyati harus dilakukan secepatnya dan berpijak pada rasa keadilan. Sang majikan, Ivone Siew, yang telah terbukti melakukan kekerasan, harus mendapat hukuman setimpal. Permintaan maaf dari majikan tidaklah cukup dan harus ada efek jera yang efektif agar kasus serupa tak terulang. Pemerintah Malaysia juga selayaknya memasukkan para majikan bersalah seperti Ivone Siew ke daftar hitam agar tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga lagi.
Namun pemerintah harus belajar dari kasus Nirmala Bonat apabila serius membawa kasus itu ke jalur hukum. Hingga kini, kasus Nirmala Bonat masih belum menemukan titik terang, sedangkan majikannya yang terbukti melakukan penyiksaan, Yim Pek Ha, telah dibebaskan dengan jaminan. Artinya, dalam kasus Ceriyati ini, pemerintah harus intensif melakukan advokasi dan pengawasan dalam setiap proses hukumnya, sekaligus tetap memperkuat upaya diplomasi.
Sanksi juga mesti dijatuhkan kepada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia, PT Sumber Kencana Sejahtera, yang memberangkatkan Ceriyati ke Malaysia. Pemenuhan hak-hak Ceriyati sebagai korban, baik materiil maupun imateriil, harus segera diberikan. Ia harus mendapatkan gaji selama bekerja dan asuransi untuk biaya penyembuhan luka-luka fisik yang dideritanya. Jangan lupakan bahwa dia harus mendapatkan pendampingan intensif untuk memulihkan kondisi psikisnya dari trauma selama disiksa sang majikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo