Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak mudah mengurai ”politik uang” dalam setiap pemilihan pejabat—pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, bahkan presiden. ”Politik uang” ibarat hantu: antara ada dan tiada. Banyak orang yang sangat percaya bahwa hal itu ada, lebih-lebih yang telah menjadi korban. Namun banyak cara untuk membuat yang ”ada” itu menjadi ”tiada”, dengan menghilangkan jejak, melenyapkan bukti apa pun.
Dua jenderal purnawirawan di Jakarta sudah menyampaikan ”keluh-kesah” dalam urusan duit ini. Salah satunya Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin, yang mengaku sudah mengeluarkan Rp 3 miliar untuk mengikuti penjaringan calon Wakil Gubernur Jakarta tapi tak terpilih. Satu lagi adalah Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiyantoro. Ia mengaku sudah menyetor Rp 1,5 miliar ke partai politik, namun juga gagal menjadi calon wakil gubernur.
Anehnya, pemimpin partai mengaku tidak menerima uang miliaran itu. Bahkan, seperti disuarakan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung, tidak ada dalam mekanisme partai calon gubernur dan wakil gubernur menyetorkan uang. Jadi, siapa yang konyol?
Kedua jenderal itu tak bisa disebut konyol. Mereka belajar dari pengalaman yang terjadi selama ini di beberapa daerah yang menunjukkan ada ”permainan uang”. Calon yang disaring dari bawah bisa kandas ketika disodorkan ke pusat, dan calon yang diputuskan pusat bisa tak dikenal di daerah. Tak ada keterbukaan dalam penjaringan calon, dan suasana remang-remang jadi tempat ”hantu” gentayangan. Di antara partai politik, hanya Partai Golkar yang transparan dalam menentukan calon karena mempunyai mekanisme konvensi. Namun, jika Golkar berkoalisi seperti di Jakarta, konvensi itu tidak ada.
Penerima uang—sebut saja calo atau makelar—sengaja dipilih orang yang tidak masuk struktur partai, sehingga wajah partai selamat kalau terjadi ”kecelakaan”. Semua partai sepertinya punya makelar profesional. Jenderal Djasri dan Jenderal Kirbiyantoro pasti maklum hal itu. Apalagi uang yang disetorkan tidaklah sedikit untuk ukuran penghasilan seorang perwira tinggi TNI sekalipun. Nah, karena keduanya sudah ”berkeluh-kesah”, apa tidak sebaiknya keduanya terbuka saja menyebut nama makelar ini? Apalagi uang yang disetorkan oleh Kirbiyantoro sudah dikembalikan sebagian oleh para makelar.
Seandainya kedua jenderal ini berani ”buka-bukaan” dan komisi yang berhubungan dengan pemilihan melakukan tindakan, ”politik uang” seperti ini akan bisa menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana mencari pemimpin yang ”tanpa hantu” pada masa mendatang.
Bahaya peredaran uang yang di luar batas kewajaran ini sangat besar, apalagi kalau dicari dengan cara meminjam, sebagaimana diakui Kirbiyantoro sendiri. Setelah calon itu menjabat, prioritas utama yang dilakukannya adalah bagaimana mengembalikan pinjaman. Sebutlah gaji resmi seorang Gubernur Jakarta Rp 200 juta sebulan—ini angka digelembungkan. Selama lima tahun menjabat, ia memperoleh Rp 12 miliar. Dari mana ia mengembalikan uang Rp 20 miliar—jumlah terendah yang diperkirakan habis untuk biaya pemilihan. Satu-satunya cara adalah korupsi. Maka betapa bodohnya warga Jakarta yang memilih gubernur seorang calon koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo