Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jepitan Komunis, Keresahan Islam

Muangthai menghadapi soal yang cukup gawat: infiltrasi pasukan khmer via laos, subversi komunis yang menyusup dalam kelompok minoritas islam, dan pengangguran buruh setelah pangkalan AS ditinggalkan. (int)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TATKALA pasukan Muangthai di perbatasan Laos masih saja berjaga-jaga, selepas pertempuran dengan tentara tetangganya itu, pasukan penjaga perbatasan Muangthai di tapal batas Kamboja Muangthai secara mendadak diserang oleh pasukan-pasukan Khmer Merah dua pekan silam. Resminya soal yang menimbulkan ribut berdarah itu adalah masalah siapa pemilik wilayah Ang Sila yang terletak di perbatasan kedua negara. Tapi kenyataannya, orang-orang Khmer itu berusaha merampok padi yang sedang dipanen oleh petani di kawasan pertempuran. Insiden berdarah itu merupakan bentrokan perbatasan terhebat yang pernah melanda Muangthai 6 bulan terakhir ini. 10 pasukan Muangthai hilang. Sejumlah pasukan Khmer Merah, yang terdiri dari anak-anak belasan tahun, ditahan. Serangan itu tidak cuma menimbulkan keruwetan baru bagi Bangkok yang memang sudah pusing dengan segala urusan di dalam negeri dan di seputar perbatasannya. Rakyat di kawasan perbatasan itu juga tidak mau ketinggalan menyatakan kekesalannya terhadap orang-orang Kamboja itu. Beberapa hari setelah bentrokan itu, pihak Bangkok -- yang nampaknya ingin mengurangi keruwetan yang dihadapinya -- menawarkan gencatan senjata serta melanjutkan pengiriman bahan makanan dan bahan bakar ke Phnom Penh. Di perbatasan, kereta api yang mengangkut bahan-bahan itu dicegat oleh massa dengan para pedagang yang menuntut agar pembayaran terhadap barang-barang mereka yang telah dibawa masuk ke Kamboja dilakukan dulu sebelum pengiriman baru dilakukan. Pencegatan kereta api ini amat memarahkan Jenderal Chunhavan, Menlu Muangthai itu. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan politik di Muangthai akhir-akhir ini, kemarahan Chunhavan dengan mudah dimengerti. Jatuhnya Laos ke tangan Pathet Lao secara sempurna beberapa pekan silam, tidak bisa lain dari menggesernya garis depan Hanoi ke perbatasan Muangthai di sungai Mekong. Bukan saja usaha Chunhavan terus menerus gagal membina hubungan diplomatik dengan Hanoi (meskipun untuk itu pasukan Amerika telah terpaksa diusir dari bumi Muangthai, bahkan pasukan-pasukan Laos yang jelas ditulang punggungi oleh tentara Vietnam sudah dengan berani mengganggu Muangthai. Beberapa pekan silam, sebuah kapal patroli Muangthai di sungai Mekong ditenggelamkan oleh Laos. Mencoret Dari Agenda Kamboja yang berorientasi kepada Peking, jelas tidak berada dalam unit komando Hanoi yang nampak lebih dekat dengan Moskow. Maka hubungan mesra Peking-Bangkok dengan segala daya dimanfaatkan pula oleh Muangthai untuk juga memperbaiki hubungan Phnom Penh-Bangkok. Dengan jalan demikian, salah satu soal (paling tidak untuk sementara) bisa dicoret dan agenda. Karena itulah maka Bangkok pekan silam melihat serangan di perbatasannya tidak sebagai permusuhan dari Phnom Penh. Selain mengklasifikasikan serangan itu sebagai sesuatu yang dilakukan oleh pasukan-pasukan yang masih muda, adalah In Tam yang dituding sebagai hulu malang. In Tam ini pernah jadi Perdana Menteri Muangthai di masa Lon Nol. Sebelum Phnom Penh jatuh, ia sempat mengungsi ke Muangthai. Sudah berkali-kali ia diperintahkan untuk keluar dari Muangthai. Tapi dengan alasan belum mendapatkan visa untuk masuk ke Perancis, In Tam terus saja berada di sana. Susahnya bagi Bangkok, In Tam ini dikabarkan masih memimpin 300 orang Kamboja bersenjata yang sering juga mengganggu Khmer Merah dari dalam wilayah Kamboja. Karena itulah maka pekan silam Chunhavan memerintahkan In Tam untuk segera meninggalkan negeri itu, sementara para perunding pihak Kamboja dan Muangthai terus berusaha mengatasi ketegangan di perbatasan. Dalam soal mengatasi ketegangan, Muangthai sekarang ini memang lagi sibuk. Perbatasan dengan Laos yang tertutup telah mengakibatkan kekacauan ekonomi di Vientiane. Bahan bakar menghilang ("Duta Besar kita di Vientiane harus bisa naik sepeda", kata Chunhavan) dan harga bahan makanan jadi Masya Allah. Hano yang menjadi pembekal utama Laos setelah negeri itu dikuasai Pathet Lao ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan negeri yang baru jadi republik. Karena itulah maka buru-buru Perdana Menteri Laos, Kaysone Photimhane, menyuarakan keinginan pemerintahnya untuk berunding dengan Muangthai. Dan Kukrit di Bangkok sudah tentu dengan gembira menyambut hasrat itu. Islam Juga Hingga akhir pekan silam, perundingan itu masih belum berlangsung juga, sementara satu soal lama tiba-tiba meledak lagi di selatan. Di wilayah Muangthai yang berbatasan dengan Malaysia itu sejak lama terasakan ketidakpuasan di kalangan orang-orang Islam. Pemerintah Bangkok tidak pernah terlalu acuh terhadap minoritas Islam ditengah mayoritas Buddhis itu. Maka orang-orang yang disia-siakan itu akhirnya memperjuangkan sebuah negara terpisah. Dalam keadaan menghangatnya subversi Komunis di semenanjung Malaysia dan seputar perbatasan Muangthai, memang tidak selalu mudah membilah-bilah antara yang Islam dan yang pura-pura Islam tapi Komunis. Maka tentara Muangthai yang dikirim dari Bangkok lalu main hantam kromo saja. Akibatnya, 16 orang Islam terbunuh dua pekan silam di propinsi Phattani, dan demonstrasi besar-besaran pun muncul di sana dan di Bangkok. Kukrit yang sejak lama memang prihatin terhadap urusan dengan orang-orang Islam itu, segera saja setuju dengan tuntutan para demonstran. Selain memberikan ganti rugi terhadap keluarga Muslim yang dibantai oleh anggota Angkatan Laut Muangthai, Kukrit sendiri berjanji akan berkunjung ke kawasan Islam itu. Yang belum jelas, adalah keputusan mengenai pasukan-pasukan pembunuh yang juga dituntut keluar dari Phattani oleh para pengikut demonstrasi. Semua kejadian ini berlangsung di Muangthai ketika pesawat tempur terakhir Amerika meninggalkan negeri itu setelah sekian lama berpangkalan di sana sembari menggempur negeri-negeri Indocina. "Keadaan ini amat merisaukan", kata seorang pasukan anti gerilya Muangthai yang pernah dilatih oleh Baret Hijau. "Sedang dibantu Amerika saja kita kewalahan, apa lagi kalau kita hadapi sendiri Komunis itu", kata perwira berpangkat kapten itu pekan silam kepada seorang wartawan Bangkok. Maka bersamaan dengan peringatan Raja Bhumibol bahwa "Muangthai kini jadi sasaran", serta tersiarnya desas-desus infiltrasi pasukan-pasukan Vietnam ke dalam wilayah Muangthai via Laos, soal yang cukup gawat yang juga harus dihadapi pemerintahan Kukrit adalah nasib 5 ribu buruh Muangthai yang kini menganggur setelah Amerika angkat kaki dari negeri Sirikit itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus