MASALAH Timor Timur di medan PBB New York sampai akhir pekan
lalu mulai menampakkan titik-terang. Sekalipun Mar'ie Alkatiri,
Ketua Biro Politik partai Fretilin terakhir kabarnya berada di
Moskow meobi Kremlin, suara Uni Soviet tidak lagi sekeras
sebelumnya. Dubes Uni Soviet Jacob Malik selama perdebatan di
sidang DK-PBB tidak lagi mengeluarkan suara yang bernada
mengutuk Indonesia. Tapi lebih bersikap mencari jalan keluar
untuk mengatasi kemelut di pulau sengketa itu. "Hendaknya DK-PBB
melakukan sesuatu yang wajar agar situasi di wilayah itu dapat
dipulihkan", kata Jacob Malik. Menanggapi bantuan yang mengalir
dari para sukarelawan Indonesia, wakil Soviet itu hanya
menekankan bahwa "konflik bersenjata di pulau tersebut antara
kelompok yang menghendaki kemerdekaan nasional dengan kelompok
yan menghendaki integrasi dengan Indonesia telah menjadi
rumit akibat intervensi militer dari luar".
Beitu pula Tanzania yang bersama Aljazair bersikap keras
menentang campur tangan Indonesia, kemudian menyerukan agar
DK-PBB cepat menekankan suasana keruh di Timor Timur. Sekalipun
sampai di penghujung minggu lalu belum terbetik berita tentang
perkembangan sikap RRT dan beberapa negeri lain yang mendukung
resolusi MU-PBB agar "pasukan-pasukan Indonesia cepat ditarik
dari Timor Timur", suasana umum di markas besar bangsa-bangsa?
itu mulai banyak yang mendesak agr PBB cepat memberi uluran
tangan membantu mengatasi kemelut di bekas koloni Portugis.
Mereka, termasuk Tanzania, dan Australia juga menyayangkan sikap
Portugal yang tidak bertanggungjawab terhadap koloninya itu
hingga membuat suasana berlarut-larut. Bahkan Australia mulai
menunjukkan sikap lebih bisa mengerti setelah dikukuhkannya
pemerintahan PM Fraser. Dalam suatu bagian pidatonya, Dubes
Australia di PBB, Ralph Harry menyatakan mendukung pandangan
Malaysia bahwa negara-negara di sekitar Timor Timur mempunyai
tanggungjawab khusus dalam masalah tersebut.
Di Jakarta, Menlu Adam Malik pun tidak lagi marah-marah.
Sejalan denan posisi RI yang dibawakan dengan baiknya dalam
pidato Dubes RI di PBB, Chaidir Anwar Sani, Menlu Malik
menyambut baik usul-usul yang menginginkan kehadiran PBB di
Timor Timur. Tanpa menyebut bentuk kehadiran PBB Menlu Malik
menyatakan bahwa hal itu sudah disetujui bersama antara
Indonesia dengan Portugal ketika berunding di Roma. "Yang
penting adalah memainkan negara-negara yang belum
menyetujuinya", kata Adam Malik. Selain soal bentuk kehadiran
PBB yang memang beblm diungkapkan, perdebatan di sidang DK-PBB
itu juga belum menyinggung tentang dibentuknya pemerintahan
sementara di Timor Timur yang terdiri dari koalisi UDT-Apodeti
Kota dan Trabalista.
Metiri
Sementara itu, dari Negeri Belanda tersiar berita gembira. Para
teroris "RMS" di kereta-api dekat Beilen telah menyerah setelah
291 jam menahan puluhan sanderanya, dan membunuh 3 orang di
antaranya. Semuanya orang Belanda. Sedang teroris-teroris di
Konsulat RI di Amsterdam telah menyerah hari Jumat 19 Desember
yang lalu, setelah « bulan menyekap 25 sandera di sana (21 warga
Indonesia, dan 4 orang Belanda). Eduardus Endang Abedy yang
mencoba meloloskan diri dengan melompat dari jendela pada hari
pertama telah meninggal dunia, sedang kedua konsul muda yang
juga terluka dalam usaha melarikan diri masih dirawat di rumah
sakit. Beberapa yang sakit sudah dibebaskan lebih dulu, begitu
pula semua sandera anak-anak. Semua teroris yan keluar dari
Konsulat sekitar jam 13.30 waktu setempat lansung diangkut oleh
polisi ke tempat yang masih dirahasiakan. Drama itu berakhir
setelah 2 jam sebelumnya "presiden RMS" Ir Manusama dan ketua
Badan Persatuan (semacam "parlemen RMS") Samuel Metiari memasuki
gedung Konsulat itu untuk langsung bertatap muka dengan para
teroris.
Ditanya pendapatnya tentang peranan Manusama dalam pembebasan
para sandera itu, Menteri Kehakiman Belanda Andries van Agt
menjawab bahwa masalahnya "bukan masalah RMS saja, tapi juga
masalah politik". Apa yang dimaksud, masih kabur. Namun agaknya
bagi para pemimpin dan aktivis "RMS" sendiri, pernyataan itu
mungkin dirasakan sebagai satu kemenangan politis. Sebab selama
ini yang mereka perjuangkan adalah pengakuan pemerintah Belanda
bahwa masalah Maluku Selatan di Belanda bukan sekedar "masalah
sosial' sebagaimana anggapan pemerintah Belanda selama ini. Tapi
merupakan "masalah politik". Setidak-tidaknya, dengan keonaran
yang dilakukan oleh kawanan "RMS" di Belanda itu, repatriasi
gaya baru yang justru sedang dibicarakan oleh pemerintah Belanda
& Indonesia (TEMPO, 8 Nopember) bisa tertunda lagi - kalau pun
di Indonesia mereka masih mau ditampung kembali. Dan waktu untuk
mematangkan situasi bisa lebih lama lagi, yang barangkali jadi
sasaran teroris-teroris itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini