Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Reda Di Ambang Natal

Dalam perdebatan masalah Timor Timur di DK-PBB, beberapa negara yang anti Indonesia mulai lunak sikapnya dan mendesak agar PBB cepat bertindak. Para teroris "RMS" di negeri belanda telah menyerah. (nas)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH Timor Timur di medan PBB New York sampai akhir pekan lalu mulai menampakkan titik-terang. Sekalipun Mar'ie Alkatiri, Ketua Biro Politik partai Fretilin terakhir kabarnya berada di Moskow meobi Kremlin, suara Uni Soviet tidak lagi sekeras sebelumnya. Dubes Uni Soviet Jacob Malik selama perdebatan di sidang DK-PBB tidak lagi mengeluarkan suara yang bernada mengutuk Indonesia. Tapi lebih bersikap mencari jalan keluar untuk mengatasi kemelut di pulau sengketa itu. "Hendaknya DK-PBB melakukan sesuatu yang wajar agar situasi di wilayah itu dapat dipulihkan", kata Jacob Malik. Menanggapi bantuan yang mengalir dari para sukarelawan Indonesia, wakil Soviet itu hanya menekankan bahwa "konflik bersenjata di pulau tersebut antara kelompok yang menghendaki kemerdekaan nasional dengan kelompok yan menghendaki integrasi dengan Indonesia telah menjadi rumit akibat intervensi militer dari luar". Beitu pula Tanzania yang bersama Aljazair bersikap keras menentang campur tangan Indonesia, kemudian menyerukan agar DK-PBB cepat menekankan suasana keruh di Timor Timur. Sekalipun sampai di penghujung minggu lalu belum terbetik berita tentang perkembangan sikap RRT dan beberapa negeri lain yang mendukung resolusi MU-PBB agar "pasukan-pasukan Indonesia cepat ditarik dari Timor Timur", suasana umum di markas besar bangsa-bangsa? itu mulai banyak yang mendesak agr PBB cepat memberi uluran tangan membantu mengatasi kemelut di bekas koloni Portugis. Mereka, termasuk Tanzania, dan Australia juga menyayangkan sikap Portugal yang tidak bertanggungjawab terhadap koloninya itu hingga membuat suasana berlarut-larut. Bahkan Australia mulai menunjukkan sikap lebih bisa mengerti setelah dikukuhkannya pemerintahan PM Fraser. Dalam suatu bagian pidatonya, Dubes Australia di PBB, Ralph Harry menyatakan mendukung pandangan Malaysia bahwa negara-negara di sekitar Timor Timur mempunyai tanggungjawab khusus dalam masalah tersebut. Di Jakarta, Menlu Adam Malik pun tidak lagi marah-marah. Sejalan denan posisi RI yang dibawakan dengan baiknya dalam pidato Dubes RI di PBB, Chaidir Anwar Sani, Menlu Malik menyambut baik usul-usul yang menginginkan kehadiran PBB di Timor Timur. Tanpa menyebut bentuk kehadiran PBB Menlu Malik menyatakan bahwa hal itu sudah disetujui bersama antara Indonesia dengan Portugal ketika berunding di Roma. "Yang penting adalah memainkan negara-negara yang belum menyetujuinya", kata Adam Malik. Selain soal bentuk kehadiran PBB yang memang beblm diungkapkan, perdebatan di sidang DK-PBB itu juga belum menyinggung tentang dibentuknya pemerintahan sementara di Timor Timur yang terdiri dari koalisi UDT-Apodeti Kota dan Trabalista. Metiri Sementara itu, dari Negeri Belanda tersiar berita gembira. Para teroris "RMS" di kereta-api dekat Beilen telah menyerah setelah 291 jam menahan puluhan sanderanya, dan membunuh 3 orang di antaranya. Semuanya orang Belanda. Sedang teroris-teroris di Konsulat RI di Amsterdam telah menyerah hari Jumat 19 Desember yang lalu, setelah « bulan menyekap 25 sandera di sana (21 warga Indonesia, dan 4 orang Belanda). Eduardus Endang Abedy yang mencoba meloloskan diri dengan melompat dari jendela pada hari pertama telah meninggal dunia, sedang kedua konsul muda yang juga terluka dalam usaha melarikan diri masih dirawat di rumah sakit. Beberapa yang sakit sudah dibebaskan lebih dulu, begitu pula semua sandera anak-anak. Semua teroris yan keluar dari Konsulat sekitar jam 13.30 waktu setempat lansung diangkut oleh polisi ke tempat yang masih dirahasiakan. Drama itu berakhir setelah 2 jam sebelumnya "presiden RMS" Ir Manusama dan ketua Badan Persatuan (semacam "parlemen RMS") Samuel Metiari memasuki gedung Konsulat itu untuk langsung bertatap muka dengan para teroris. Ditanya pendapatnya tentang peranan Manusama dalam pembebasan para sandera itu, Menteri Kehakiman Belanda Andries van Agt menjawab bahwa masalahnya "bukan masalah RMS saja, tapi juga masalah politik". Apa yang dimaksud, masih kabur. Namun agaknya bagi para pemimpin dan aktivis "RMS" sendiri, pernyataan itu mungkin dirasakan sebagai satu kemenangan politis. Sebab selama ini yang mereka perjuangkan adalah pengakuan pemerintah Belanda bahwa masalah Maluku Selatan di Belanda bukan sekedar "masalah sosial' sebagaimana anggapan pemerintah Belanda selama ini. Tapi merupakan "masalah politik". Setidak-tidaknya, dengan keonaran yang dilakukan oleh kawanan "RMS" di Belanda itu, repatriasi gaya baru yang justru sedang dibicarakan oleh pemerintah Belanda & Indonesia (TEMPO, 8 Nopember) bisa tertunda lagi - kalau pun di Indonesia mereka masih mau ditampung kembali. Dan waktu untuk mematangkan situasi bisa lebih lama lagi, yang barangkali jadi sasaran teroris-teroris itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus