PELAKSANAAN repatriasi Maluku "gaya baru" (TEMPO, 8 Nopember)
bisa jadi sulit. Padahal sementara ini, pemulangan para pelarian
politik dari Irian Jaya - yang sebagian besar kini di Papua
Nugini --juga masih terkatung-katung. Wagub Irian Jaya pendeta
Jan Mamaribo ketika menghadiri perayaan kemerdekaan PNG belum
lama berselang, konon ditawari 2 pilihan bagi para pengungsi
itu: langsung dipulangkan ke wilayah RI, atau jadi warganegara
NC dengan syarat tak boleh merusak hubungan RI-PNG.
Barangkali lantaran "politik pintu terbuka" bagi para pengungsi
Irja itu, dari 170 orang asing yang melamar masuk warganegara
PNG bulan Oktober yang lalu, sekitar 40 orang berasal dari Irian
Jaya. Mungkin selain masih takut pulang kampung, godaan menetap
di negeri serumpun Melanesia itu makin kuat bagi mereka. Juga di
kalangan terdidiknya. Bagi pemerintah PNG yang masih sangat
muda, pintu terbuka itu dapat memacu makin banyak orang Irian
Jaya pindah ke sebelah Timur sungai Fly. Padahal PNG tentunya
tidak senang dicap sebagai "penampung" pengacau kian Jaya di
mata RI.
Janji Belanda
Seperti halnya problim pengungl Maluku di Negeri Belanda,
masalah pelarian kerja ini pun berasal dari masa penjajahan.
Meskipun sejak semula RI menganggap Irja sebagai bagian
tak-terpisahkan dari wilayah Hindia-Belanda yang diwarisinya.
Belanda dulu punya pendirian lain menyangkut masa depan separo
pulau kian itu. Ketika sengketa RI-Belanda makin memuncak di
awal tahun 1960-an, Belanda malah masl menjanjikan kemerdekaan
bagi rakyat kian Barat di tahun 1970. Makanya ketika usaha
Belanda makin sia-sia mempertahankan koloninya itu di forum PBB,
di beberapa tempat di Irian Barat setiap pagi bendera Papua
Merdeka masih dikerek berdampingan dengan merah putih-biru.
Mungkin sebagai persiapan menyambut "kemerdekaan" Irian Barat.
Belanda juga telah melatih sejumlah pemuda Irian Barat menjadi
tentara di bawah komando Batalyon Papua: Mereka itulah
bibit-bibit pemberontakan fisik melawan RI di kemudian hari.
Tahun 1962, Irian Barat berada di bawah pengawasan UNTEA. Dan 7
tahun berlangsung pemerintahan peralihan PBB yang bertugas
mempersiapkan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri lewat
suatu plebisit. Namun sebelum tanggal pelaksanaan Pepera di
bulan Agustus 196 itu tiba, sejumlah cendekiawan kian melarikan
diri ke Belanda. Di sana Marcus Kasieppo memproklamirkan
berdirinya "pemerintah Republik Papua Barat/Melanesia Barat
dalam pelarian" Desember 1965. Dia mengangkat dirinya menjadi
"presiden" dengan Nicolaas Jouwe sebagai "menlunya". Angin
pemberontakan itu makin berhembus keras setelah 1025 wakil
rakyat di Irian Bara dengan suara bulat memilih integrasi
dengan RI.
Banyak cendekiawan Irian terus mengungsi ke luar negeri. Antara
lain ke PNG, Belanda dan Amerika. Sedang unsur eks Batalyon
Papua masuk hutan. Di antaranya seorang perwira Irian Barat
didikan Bandung, Seth Jafet Rumkoren yang memproklamirkan
berdirinya "pemerintah sementara Republik Papua Barat" 1 Juli
1971 di hutan selatan Jayapura. Tanpa mengakui kepemimpinan
Mareus Kasieppo & Nicolaas Jouwe, "brigjen" Rumkoren mengangkat
dirinya menjadi presiden gerakan tandingan itu dengan beberapa
menteri yang juga beroperasi dari Negeri Belanda. Di antaranya
wakil presiden merangkap menlu Herman Womsiwor dan sekneg-nya
Ben Tanggahma. Seperti halnya RMS, pelarian Irian Barat itu pun
didukung oleh Yayasan Door De Eeuwen Trouw (Setia Sepanjang
Abad) di Negeri Belanda. Sedang di luar negeri, menurut
pemberitaan pers Belanda mereka didukung oleh beberapa negara
Afrika seperti Senegal dan Jamaica.
Menghadapi gerakan separatis di Irian Barat itu, satuan TNI yang
ditempatkan di Irian Barat tidak diam. Beberapa kali operasi di
daerah Kepala Burung dan pedalaman Merauke berhasil memadamkan
gerakan bersenjata yang kemudian dikenal sebagai OPM (Organisasi
Papua Merdeka). Ratusan orang yang dicurigai terlibat atau
mendukung OPM ditangkap, yang diduga hanya ikut-ikutan atau
sudah berjanji setia pada RI secara bertahap dibebaskan
sebagai hadiah Natal dan pada setiap perayaan 17 Agustus,
sehingga jumlah tahanan OPM terus berkurang. Banyak juga yang
keluar dari hutan dan meletakkan senjata.
Stateless
Sebagai negara serumpun yang langsung berbatasan darat dengan
Irja, PNG paling banyak kecipratan getah OPM. Seorang diplomat
PNG menaksir ada lebih dari 2000 pelarian Irja di sana. Mereka
umumnya tidak berstatus waranegara RI maupun PNG (statless).
tidak sedikit yang sudab dipulangkan ke Irian Jaya sebelum
proklamasi kemerdekaan PNG 16 September lalu. Sebagian karena
membawa senjata masuk ke PNG--yang terlarang menurut UU di
sana. Sebagian lagi karena perjanjian ekstradisi RI-Australia
yang waktu itu masih mengikat PNG sebagai jajahan daerah mandat
Australia waktu itu. Di lihat dari segi sosial, ribuan
pengungsi Irja itu belum merupakan problim sosial bagi negara
yang hanya berpenduduk 2« juta jiwa itu. "Namun dari segi
politis masalah pengungsi Irja itu bisa menjadi duri hubungan
baik kedua tetangga", kata diplomat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini