Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kecipratan Getah Tetangga

Pelarian politik dari Irian Jaya ke wilayah Papua Nugini ditawari 2 pilihan, dipulangkan ke wilayah Indonesia/jadi warga negara Papua Nugini. Gerakan OPM (organisasi papua merdeka) dipadamkan. (nas)

27 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAKSANAAN repatriasi Maluku "gaya baru" (TEMPO, 8 Nopember) bisa jadi sulit. Padahal sementara ini, pemulangan para pelarian politik dari Irian Jaya - yang sebagian besar kini di Papua Nugini --juga masih terkatung-katung. Wagub Irian Jaya pendeta Jan Mamaribo ketika menghadiri perayaan kemerdekaan PNG belum lama berselang, konon ditawari 2 pilihan bagi para pengungsi itu: langsung dipulangkan ke wilayah RI, atau jadi warganegara NC dengan syarat tak boleh merusak hubungan RI-PNG. Barangkali lantaran "politik pintu terbuka" bagi para pengungsi Irja itu, dari 170 orang asing yang melamar masuk warganegara PNG bulan Oktober yang lalu, sekitar 40 orang berasal dari Irian Jaya. Mungkin selain masih takut pulang kampung, godaan menetap di negeri serumpun Melanesia itu makin kuat bagi mereka. Juga di kalangan terdidiknya. Bagi pemerintah PNG yang masih sangat muda, pintu terbuka itu dapat memacu makin banyak orang Irian Jaya pindah ke sebelah Timur sungai Fly. Padahal PNG tentunya tidak senang dicap sebagai "penampung" pengacau kian Jaya di mata RI. Janji Belanda Seperti halnya problim pengungl Maluku di Negeri Belanda, masalah pelarian kerja ini pun berasal dari masa penjajahan. Meskipun sejak semula RI menganggap Irja sebagai bagian tak-terpisahkan dari wilayah Hindia-Belanda yang diwarisinya. Belanda dulu punya pendirian lain menyangkut masa depan separo pulau kian itu. Ketika sengketa RI-Belanda makin memuncak di awal tahun 1960-an, Belanda malah masl menjanjikan kemerdekaan bagi rakyat kian Barat di tahun 1970. Makanya ketika usaha Belanda makin sia-sia mempertahankan koloninya itu di forum PBB, di beberapa tempat di Irian Barat setiap pagi bendera Papua Merdeka masih dikerek berdampingan dengan merah putih-biru. Mungkin sebagai persiapan menyambut "kemerdekaan" Irian Barat. Belanda juga telah melatih sejumlah pemuda Irian Barat menjadi tentara di bawah komando Batalyon Papua: Mereka itulah bibit-bibit pemberontakan fisik melawan RI di kemudian hari. Tahun 1962, Irian Barat berada di bawah pengawasan UNTEA. Dan 7 tahun berlangsung pemerintahan peralihan PBB yang bertugas mempersiapkan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri lewat suatu plebisit. Namun sebelum tanggal pelaksanaan Pepera di bulan Agustus 196 itu tiba, sejumlah cendekiawan kian melarikan diri ke Belanda. Di sana Marcus Kasieppo memproklamirkan berdirinya "pemerintah Republik Papua Barat/Melanesia Barat dalam pelarian" Desember 1965. Dia mengangkat dirinya menjadi "presiden" dengan Nicolaas Jouwe sebagai "menlunya". Angin pemberontakan itu makin berhembus keras setelah 1025 wakil rakyat di Irian Bara dengan suara bulat memilih integrasi dengan RI. Banyak cendekiawan Irian terus mengungsi ke luar negeri. Antara lain ke PNG, Belanda dan Amerika. Sedang unsur eks Batalyon Papua masuk hutan. Di antaranya seorang perwira Irian Barat didikan Bandung, Seth Jafet Rumkoren yang memproklamirkan berdirinya "pemerintah sementara Republik Papua Barat" 1 Juli 1971 di hutan selatan Jayapura. Tanpa mengakui kepemimpinan Mareus Kasieppo & Nicolaas Jouwe, "brigjen" Rumkoren mengangkat dirinya menjadi presiden gerakan tandingan itu dengan beberapa menteri yang juga beroperasi dari Negeri Belanda. Di antaranya wakil presiden merangkap menlu Herman Womsiwor dan sekneg-nya Ben Tanggahma. Seperti halnya RMS, pelarian Irian Barat itu pun didukung oleh Yayasan Door De Eeuwen Trouw (Setia Sepanjang Abad) di Negeri Belanda. Sedang di luar negeri, menurut pemberitaan pers Belanda mereka didukung oleh beberapa negara Afrika seperti Senegal dan Jamaica. Menghadapi gerakan separatis di Irian Barat itu, satuan TNI yang ditempatkan di Irian Barat tidak diam. Beberapa kali operasi di daerah Kepala Burung dan pedalaman Merauke berhasil memadamkan gerakan bersenjata yang kemudian dikenal sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ratusan orang yang dicurigai terlibat atau mendukung OPM ditangkap, yang diduga hanya ikut-ikutan atau sudah berjanji setia pada RI secara bertahap dibebaskan sebagai hadiah Natal dan pada setiap perayaan 17 Agustus, sehingga jumlah tahanan OPM terus berkurang. Banyak juga yang keluar dari hutan dan meletakkan senjata. Stateless Sebagai negara serumpun yang langsung berbatasan darat dengan Irja, PNG paling banyak kecipratan getah OPM. Seorang diplomat PNG menaksir ada lebih dari 2000 pelarian Irja di sana. Mereka umumnya tidak berstatus waranegara RI maupun PNG (statless). tidak sedikit yang sudab dipulangkan ke Irian Jaya sebelum proklamasi kemerdekaan PNG 16 September lalu. Sebagian karena membawa senjata masuk ke PNG--yang terlarang menurut UU di sana. Sebagian lagi karena perjanjian ekstradisi RI-Australia yang waktu itu masih mengikat PNG sebagai jajahan daerah mandat Australia waktu itu. Di lihat dari segi sosial, ribuan pengungsi Irja itu belum merupakan problim sosial bagi negara yang hanya berpenduduk 2« juta jiwa itu. "Namun dari segi politis masalah pengungsi Irja itu bisa menjadi duri hubungan baik kedua tetangga", kata diplomat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus