Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jual-Beli Orang ke Malaysia

PRAKTEK lancung pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia masih terus terjadi. Data Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur mencatat lebih dari 2.000 orang dari daerah itu menjadi korban perdagangan orang ke Malaysia sepanjang 2015-2016. Termakan iming-iming gaji besar, sebagian dari mereka pulang membawa luka, bahkan kehilangan nyawa. Anak-anak pun diincar untuk diperdagangkan. Mereka yang berstatus legal juga tak luput dari perbudakan. InvestigasiTempodanMalaysiakinisejak September 2016 menunjukkan jaringan penjual manusia tertata dari Malaysia hingga sejumlah daerah di Indonesia. Uang miliaran rupiah diguyurkan untuk merekrut pekerja ilegal, melibatkan juga para pemalsu identitas dan petugas imigrasi. Para pemain di negeri jiran itu masih tak tersentuh hukum. Laporan ini terselenggara atas kerja samaTempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH bulan kabur dari rumah, Yufrinda Selan akhirnya pulang pada 14 Juli 2016, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-19. Bukan ucapan syukur, jerit dan tangis keluarga menyambut perempuan kelahiran Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, itu. Diam-diam bekerja di Malaysia, perempuan yang tak tamat sekolah menengah atas itu kembali dalam balutan kain kafan dan peti mati putih.

Tepat pada hari ulang tahunnya, peti mati Yufrinda dibuka polisi di Rumah Sakit Umum Daerah So’e, Timor Tengah Selatan. Keluarga mengenali dia dari andeng-andeng di kakinya. Tapi mereka kaget karena jenazah penuh jahitan serta ada memar di bagian muka, tepatnya di pelipis kiri dan kanan. "Padahal katanya gantung diri di rumah majikan," ujar Metusalak Selan, ayah Yufrinda, awal Maret lalu.

Penelusuran Kepolisian Resor Kupang menemukan Yufrinda direkrut jaringan Eduard Leneng, bekas polisi berpangkat ajun inspektur satu yang mundur karena menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kupang pada 2009, dan Diana Aman, pemilik PT Pancamanah Utama di Salatiga, Jawa Tengah, perusahaan penyalur tenaga kerja. Identitas Yufrinda dipalsukan menjadi Melinda Sapay. Eduard, Diana Aman, dan jaringannya sudah diseret ke pengadilan pada awal Maret lalu.

Eduard membantah terlibat perdagangan manusia. "Saya tak pernah berurusan dengan mereka yang merekrut Yufrinda," ucapnya. Sedangkan Diana Aman dan pengacaranya, Edwin Manurung, enggan berkomentar. "Sementarano commentdulu," kata Edwin.

Bukan hanya Yufrinda yang pulang tanpa nyawa. DataBalai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia NTT menunjukkan, pada 2016, ada 33 TKI ilegal kembali ke provinsi itu dalam kondisi mati. Kepala Polres Kupang Ajun Komisaris Besar Adjie Indra mengatakan lebih dari 2.200 warga NTT menjadi korban perdagangan manusia pada 2015 dan 2016. Jumlah itu didapat dari keterangan saksi dan pelaku yang sudah diperiksa polisi. "Setidaknya ada tujuh jaringan penjual manusia di NTT," ucap Adjie.

Dia membenarkan belum semua jaringan terungkap. "Dilakukan secara bertahap." Menurut Adjie, jaringan perdagangan manusia di NTT didanai oleh agen di Malaysia. "Cara kerjanya sama dan melibatkan bandar besar di Malaysia."

n n n

TEMPO menelusuri jejak perdagangan manusia yang melibatkan para pelaku di Nusa Tenggara Timur, Medan, dan Malaysia sejak September 2016. Jejaring itu terlihat dari dokumen transaksi keuangan periode Januari 2015-Agustus 2016 yang diperoleh Tempo dari penegak hukum. Dokumen setebal satu rim itu menunjukkan ada uang miliaran rupiah mengalir dari Malaysia ke sejumlah orang di Indonesia untuk merekrut TKI ilegal.

Salah satu transaksi terbesar berasal dari Oey Wenny Gotama. Selama setahun, sejak Agustus 2015, Wenny mentransfer setidaknya 646 ribu ringgit atau hampir Rp 2 miliar ke rekening BCA milik Seri Safkini, pemilik PT Cut Sari Asih, perusahaan perekrut TKI yang berkantor di Medan. Pada 28 Juni 2016, misalnya, Wenny mengirimkan duit 28 ribu ringgit atau sekitar Rp 84 juta dengan keterangan "deposit lima TKW".

Seri Safkini kemudian diketahui mengalirkan dana ke jaringannya di NTT. Salah satunya Yohanes Leonardus Ringgi, petugas keamanan penerbangan Bandar Udara El Tari, Kupang. Nilainya lebih dari Rp 1,8 miliar dengan 155 kali pengiriman selama Agustus 2015-Agustus 2016. Jumlah itu lebih besar jika dihitung sejak Januari 2015, yaitu Rp 2,057 miliar.

Tempo tiga kali menemui Yohanes Ringgi yang ditahan di Kepolisian Sektor Kupang Timur karena kasus perdagangan manusia pada November tahun lalu. Yohanes membenarkan menerima fulus dari Seri Safkini serta Eduard Leneng dan Diana Aman untuk mencari calon asisten rumah tangga guna dikirim ke Malaysia. Duit dari Diana dan Eduard ke Yohanes lebih dari Rp 250 juta.

Menurut Yohanes, Bandara El Tari menjadi pintu keluar utama TKI ilegal dari NTT. Yohanes, yang bekerja di El Tari selama 16 tahun, bertugas mengamankan calon TKI supaya bisa terbang tanpa hambatan. Dia mengaku sudah mengirimkan lebih dari 400 TKI ke Malaysia melalui Surabaya dan Medan. "Saya mendapat Rp 500 ribu per TKI," ujarnya.

Sebagian duit diberikan oleh anak buah Yohanes kepada keluarga calon TKI sebesar Rp 1-2 juta. Duit itu sebagai sirih pinang alias mahar agar keluarga membolehkan anaknya bekerja di Malaysia. Terkadang anak buah Yohanes membujuk calon TKI dengan menjanjikan gaji besar.

Seperti dialami Damaris Nifu dan Jeni Maria Tekun, korban jaringan Yohanes yang ditemui Tempo setelah diperiksa Polres Kupang. Keduanya tergoda gaji Rp 3 juta sebulan yang ditawarkan Yanto dan Mama Nona, anak buah Yohanes yang kini ditahan polisi, pada pertengahan 2015. Tawaran itu menggiurkan karena upah minimum di NTT saat itu hanya Rp 1,25 juta. Namun Jeni dan Damaris memilih lari dari tempat bekerja. Ditampung di kantor PT Cut Sari Asih di Medan, tamatan sekolah dasar itu malah dikirim ke Banda Aceh dan akhirnya kabur karena majikannya kasar.

Seperti Jeni dan Damaris-keduanya masih 16 tahun saat direkrut-serta Yufrinda Selan, TKI ilegal yang dikirim ke Malaysia kebanyakan masih anak-anak. Peraturan di Malaysia mewajibkan asisten rumah tangga berusia minimal 21 tahun. Menyiasati aturan tersebut, jaringan penjual manusia membuat identitas palsu. Adalah Sipri Talan, mahasiswa fakultas teknik salah satu kampus di Kupang, yang membuatkan Jeni dan Damaris identitas palsu.

Kepada Tempo, Sipri-yang ditahan di Polres Kupang-mengaku membuat kartu tanda penduduk palsu dengan mengubah KTP miliknya melalui program Adobe Photoshop. Nama, jenis kelamin, dan alamatnya diganti. Nomor kependudukan menyesuaikan dengan tanggal lahir calon TKI. Setelah itu, KTP palsu dicetak di atas kertas concord dan dilaminating. "Tak terlihat bedanya dengan yang asli. Termasuk tanda hologramnya," kata Sipri, yang terkoneksi dengan sejumlah penyalur TKI ilegal. Untuk setiap KTP palsu, Sipri mendapat Rp 100 ribu.

Identitas palsu itu lolos dalam pembuatan paspor di imigrasi. Yohanes Ringgi mengatakan para pengirim TKI ilegal berkomplot dengan petugas imigrasi. Paspor Yufrinda Selan, seperti tertulis dalam dakwaan Eduard Leneng, dibuat oleh Godstar Mozes Banik, petugas Imigrasi Kupang. Godstar menyangkal membantu membuatkan paspor untuk TKI ilegal. "Semua sesuai dengan prosedur," ujarnya.

Dengan paspor tersebut, TKI ilegal bebas melenggang ke Malaysia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengakui sistem pembuatan paspor belum bisa mendeteksi KTP palsu. "Belum semua orang menggunakan KTP elektronik," ucapnya pada awal Maret lalu. Kini pemerintah mencoba membatasi permohonan paspor oleh mereka yang diduga calon TKI ilegal. Mereka harus menunjukkan memiliki tabungan minimal Rp 25 juta.

n n n

POSTER besar berwarna dasar kuning menutupi pintu depan kantor NG Bersatu di Bandar Puchong Jaya, Selangor, Malaysia, Senin dua pekan lalu. Tertulis dalam huruf kapital nama agensi dan "Penyalur Pembantu". Menghiasi poster itu foto seorang perempuan menggendong anak kecil, dengan keduanya tersenyum bahagia.

Agak menjorok ke dalam di lantai satu, tersedia kamar penampung TKI. Satu ranjang susun memenuhi lebih dari separuh kamar. Tiada jendela, hanya kipas angin. Hanya tersisa sedikit tempat untuk duduk di lantai.

Di tempat inilah Sarlin Agustina Djingib, TKI asal Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, tiba pada Agustus 2015. Usianya belum 20 tahun kala direkrut jaringan Yohanes Ringgi. "Semua identitas palsu dan paspor dibikin oleh anak buah Yohanes," ujar Sarlin setelah dimintai keterangan oleh Kepolisian Resor Kupang di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, awal Desember 2016.

Sarlin diberangkatkan ke Batam dan dijemput oleh Angellin Wijaya, putri Seri Safkini, pemilik PT Cut Sari Asih. "Angellin mengantar saya ke Pelabuhan Batam Centre untuk menyeberang ke Johor Bahru," katanya. Seseorang yang tak dikenalnya lalu mengantar Sarlin ke kantor NG Bersatu di Puchong, Selangor.

Sarlin kemudian diambil warga Malaysia keturunan India, Jasmin. "Saya membayar 19 ribu ringgit (sekitar Rp 57 juta) dari NG Bersatu," ujar Jasmin. Biaya itu jauh lebih mahal ketimbang ongkos resmi yang disepakati pemerintah Indonesia dan Malaysia sebesar 8.400 ringgit. Hingga kini, Sarlin tak memiliki izin kerja.

Tempo menemui Oey Wenny Gotama, yang mentransfer miliaran rupiah ke rekening Seri Safkini, di Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Dia diperiksa dalam kasus perdagangan manusia, awal Desember tahun lalu. Mengaku sebagai warga Indonesia, perempuan berkulit putih dengan rambut hitam terurai melebihi bahu itu menyatakan mewakili NG Bersatu. "Saya tak tahu soal kasus perdagangan manusia," katanya.

Wenny menyangkal pernah mentransfer uang untuk merekrut TKI. Sebaliknya, Manajer NG Bersatu di Puchong, Ng Jing Hao, malah membenarkan. "Wenny yang membayar ke perusahaan di Indonesia," tutur Jing Hao. Dia menolak menyebutkan jumlah dana yang dikucurkan ke Indonesia.

Jing Hao juga membenarkan pernah bermitra dengan PT Cut Sari Asih. Tapi dia menyangkal merekrut Sarlin. Dia berkilah Sarlin datang lewat agen lain. "Kami hanya menyalurkannya," ujar Jing Hao, yang mengaku menerima komisi ketika menyalurkan Sarlin. Dia menolak perusahaannya disebut merekrut TKI ilegal. "Semua dilengkapi izin kerja."

Seri Safkini dan putrinya, Angellin Wijaya, belum bisa dimintai komentar. Rumah mereka di perumahan Primer Paviliun, Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat, kosong. Petugas keamanan kompleks, Abdul Rahman, mengatakan Seri dan Angellin sudah lama tak tinggal di rumah yang dulu menjadi penampungan TKI itu.

Di Medan, penampungan Cut Sari Asih di perumahan Taman Ubud, Medan Johor, yang digerebek polisi pada Agustus 2016, digembok rapat. Kepala Polres Kupang Ajun Komisaris Besar Adjie Indra mengatakan Cut Sari Asih setidaknya mengirimkan 251 TKI ilegal ke Malaysia. Seri Safkini kini berstatus buron.

n n n

ALIRAN duit dari Malaysia juga diterima Kobar, bekas perekrut TKI dari Nusa Tenggara Timur. Kobar mengaku pernah mengirimkan enam TKI kepada seorang warga Malaysia bernama Albert Tei. "Untuk setiap pekerja yang dikirim, saya mendapat Rp 21 juta," kata Kobar, yang pernah ditahan karena kasus penjualan orang.

Selain Kobar, dua pengurus Asosiasi Perusahaan Jasa TKI serta sejumlah agensi di Malaysia mengenal Albert Tei sebagai salah satu perekrut besar TKI. Albert memiliki ManPower88, perusahaan yang mengantongi izin delapan agensipenyalur asisten rumah tangga. Pria 29 tahun itu juga memiliki pabrik pengolah sarang burung walet, Maxim Birdnest, di kawasan Klang, Selangor (baca "Perbudakan di Kilang Walet ").

Atase Tenaga Kerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Mustafa Kamal, bercerita pernah berjumpa dengan Albert di kedutaan dan menanyakan jumlah TKI yang direkrutnya. Menurut Mustafa, Albert mengaku bisa "mengimpor" 100 TKI per bulan. "Jumlah yang sangat banyak," ujarnya.Presiden Pertumbuhan Kebangsaan Agensi Pekerjaan, asosiasi agensi perekrut tenaga kerja, Dato Raja Zulkepley Dahalam, mengatakan agensi di Malaysia biasanya hanya sanggup merekrut 20 TKI tiap bulan.

Lewat seorang penyidik polisi, Tempo menemui bekas TKI ilegal,Seravina Dahu, di tempat tinggal anaknya di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, awal Maret lalu. Ditunjukkan foto Albert Tei, Seravina langsung membenarkan. "Bekas bos Mama," katanya kepada putranya.

Perempuan asal Malaka, NTT, itu mengaku pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di perusahaan milik Albert, Agensi Pekerjaan Uni Setia Sdn Bhd, di Puchong, Selangor. Seravina menyatakan tak pernah mengantongi izin kerja. "Banyak warga NTT di penampungan Albert, sebagian besar ilegal," ucapnya.

Ketika dihubungi lewat telepon pada Kamis siang pekan pertama Maret, Albert Tei berjanji bertemu dua hari kemudian. Tapi Albert kemudian berulang kali menghubungi dan dengan nada gusar menanyakan tujuan pemuatan tulisan tentang dia. Pria itu malah mempercepat pertemuan pada tengah malam di kilang Maxim Birdnest miliknya.

Setelah membawa Tempo dan Malaysiakini berkeliling kilang, Albert meminta Tempo menandatangani pernyataan tak akan menulis nama dan perusahaannya. Mengaku dekat dengan polisi, Albert sempat melarang Tempo dan Malaysiakini keluar dari ruangan dan mengancam melapor ke polisi. "Saya ini orang baik-baik. Perusahaan saya besar," ujarnya.

Setelah berdebat sekitar 20 menit, lelaki gempal bertinggi sekitar 180 sentimeter ini bersedia diwawancarai. Mengaku bergelar dato-gelar kehormatan dari kerajaan di Malaysia-Albert membantah merekrut TKI ilegal. "Saya hanya berurusan dengan yang legal," katanya. "Kalau ada yang datang dengan identitas palsu, saya tidak tahu karena itu urusan agensi di Indonesia."

Albert juga menyangkal merekrut 100 TKI sebulan. "Paling banyak 70-80 orang per bulan. Itu pun saat ekonomi Malaysia bagus. Sekarang paling 30 orang." Meski demikian, Albert mengakui namanya dikenal banyak penyalur TKI di Indonesia. "Kalau sebulan saya ambil 50 anak, dua tahun ada 1.200 orang. Wajar kalau mereka sebut nama saya di kampung."

n n n

HINGGA akhir 2016, jumlah TKI legal di Malaysia mencapai 1,2 juta orang. Atase Tenaga Kerja di Kedutaan Indonesia memperkirakan jumlah pekerja ilegal asal Nusantara jauh lebih banyak. "Mungkin bisa dua kali lipatnya," ucap Mustafa Kamal.

Mustafa mengatakan arus TKI ilegal sulit dibendung. Salah satu sebabnya, "Ada sekitar 150 titik di seluruh perbatasan Indonesia dan Malaysia yang bisa dijadikan pemberangkatan TKI ilegal," ujarnya. Selain itu, jalur resmi seperti di Pelabuhan Batam Centre menjadi pintu mudah untuk menyeberang ke Malaysia.

Deputi Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Teguh Hendro Cahyono mengatakan para TKI ilegal lebih rentan tak memperoleh haknya. Bahkan mereka disiksa atau dibunuh seperti yang diduga dialami Yufrinda Selan.

Hingga kini, belum ada titik terang terhadap dugaan Yufrinda disiksa atau dibunuh di Malaysia. Wakil Utama Divisi D7-salah satu tugasnya mengusut perdagangan manusia-Markas Besar Polis Diraja Malaysia Komisaris Senior Rohaimi Md Isa juga enggan berkomentar. "Kasus ini telah dibahas dalam pembicaraan bilateral," katanya.

Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar justru mengatakan kasus Yufrinda belum dibicarakan dengan polisi Malaysia. Ketua Satuan Tugas Perlindungan Warga Negara Indonesia yang juga Konselor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia, Yusron B. Ambary, mengatakan sudah meminta polisi Malaysia menginvestigasi kasus Yufrinda. "Yang punya hak menyelidiki polisi Malaysia," ujar Yusron.

Majikan Yufrinda, Conrad Wee Hoe Thong, yang ditemui wartawanMalaysiakini Alyaa Alhadjri, enggan menanggapi soal kematian Yufrinda. "Saya tak mau membicarakannya lagi. Kejadian itu sangat menyedihkan," ucapnya dari dalam mobil sebelum meninggalkan apartemennya di Awana Puri Condominium, Kuala Lumpur.

Metusalak Selan, ayah Yufrinda, hingga kini masih meratapi kepergian putrinya. Setiap malam, bersama sang istri, Juliana Nomleni, 43 tahun, ia selalu membakar lilin dan mendaraskan doa di kuburan Yufrinda di samping rumahnya.


Penanggung Jawab: Setri Yasra | Pemimpin Proyek: Stefanus Teguh Edi Pramono | Penyunting: Setri Yasra | Penulis: Bambang Riyanto, Mustafa Silalahi, Rusman Paraqbueq, Stefanus Teguh Edi Pramono, Yohanes Seo | Penyumbang Bahan: Alyaa Alhadjri (Malaysiakini, Kuala Lumpur), Bambang Riyanto (Medan), Muhammad Irsyam Faiz (Semarang), Yohanes Seo (Kupang), Arkhelaus Wisnu, Mustafa Silalahi, Raymundus Rikang, Rezki Alvionitasari, Rusman Paraqbueq, Stefanus Teguh Edi Pramono (Jakarta) | Bahasa: Uksu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian | Desain: Djunaedi | Foto: Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus