Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keramaian marawis dan pengajian di sebuah rumah Betawi, seorang pemuda melirik kepada seorang gadis dan tersenyum. Sang gadis membalas senyuman itu. Pemandangan itu tak luput dari mata seorang pemuda di baris belakang.
Esoknya, Kamal (Dimas Aditya), pemuda di baris belakang itu, bertemu dengan Khalida (Ayushita Nugraha), sang gadis. "Khalida ada rasa suka sama Hasan (Ibnu Jamil), ya?" Kamal menanyakan maksud Khalida membalas senyuman pemuda lain dalam pengajian malam itu. Ah, ternyata Kamal cemburu.
Kamal dan Khalida adalah sepasang kekasih yang hubungan asmaranya tengah renggang. Itu bukan karena Hasan atau orang ketiga lainnya, melainkan karena perbedaan cara keluarga mereka dalam menjalankan Islam. Ayah Khalida, Haji Rohili (Fuad Idris), pemuka Islam tradisional yang dekat dengan pemuda di kampung itu. Sedangkan ayah Kamal, Haji Jamat (Ronny P. Tjandra), adalah pendukung utama penyebaran ajaran Islam puritan yang dipimpin kemenakannya, Ustad Jaiz (Alex Abbad), yang baru kembali dari Arab Saudi. Perbedaan pandangan inilah yang kemudian menyeret hubungan asmara Kamal dan Khalida ke pusaran konflik.
Nurman Hakim, sebagai sutradara dan penulis skenario, memang jeli mengangkat fenomena yang terjadi pada masyarakat muslim. Ini bukan pertama kalinya Nurman memotret fenomena masyarakat muslim Indonesia.
Pada 2008, Nurman menampilkan kehidupan tiga santri dalam 3 Doa 3 Cinta. Dalam film itu, Nurman menampilkan Islam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan pemaknaan Al-Quran tidak pernah lepas dari kultur setiap penafsir. Sedangkan pada Khalifah (2011), Nurman lagi-lagi menggunakan kacamata kritis dalam menginterpretasi puritan dalam agama.
Dalam film terbarunya, Nurman mencoba mengangkat fenomena lain: perbedaan pandangan dalam menjalankan Islam. Ini sebenarnya persoalan klasik. Sukarno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi sudah menyinggung kehadiran ajaran Islam puritan yang dia sebut sebagai Wahabisme-mengacu pada dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab di Arab Saudi pada abad ke-18. Ajaran itu berbeda dengan kebanyakan ajaran Islam yang dijalankan di negeri ini, yang bercampur dengan kultur dan tradisi yang sudah ada.
Film ini menjadi relevan saat ini, ketika suhu di antara kelompok yang berbeda pandangan dalam Islam memanas. Ketegangan antarkelompok Islam yang berpotensi melahirkan konflik ini dikemas dalam Bid’ah Cinta dengan sangat baik. Sepanjang film, Nurman menjabarkan secara gamblang perbedaan kedua kelompok berikut argumennya melalui dialog.
Bagi pendukung Islam puritan, praktek ibadah hanya mengacu pada yang dicontohkan Nabi, berdasarkan Quran dan hadis. Perayaan Maulid Nabi, doa kunut saat salat subuh, membaca Quran saat ziarah kubur, selawat bersama, dan tahlilan adalah sebagian praktek yang dianggap sebagai bid’ah. Bid’ah sendiri bermakna perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan. Sedangkan bagi penganut Islam tradisional, praktek-praktek tersebut tetap ibadah yang menghasilkan pahala. Perayaan Maulid juga merupakan medan dakwah.
Menariknya, Nurman tidak memberi pembenaran bagi satu kelompok. Kelompok yang satu tak pernah lebih unggul daripada yang lain. Persoalan yang serius ini dia kemas dengan cara yang ringan dan penuh humor yang jujur.
Salah satu penulis skenario film ini, Ben Sohib, sebelumnya menulis novel The Da Peci Code dan Balada Rosid dan Delia yang diadaptasi menjadi film 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta (Benni Setiawan, 2010). Konflik dalam film itu memang lebih berat: cinta yang dihalangi oleh perbedaan agama. Namun konflik dalam Bid’ah Cinta menunjukkan, dalam Islam sendiri, perbedaan tetap ada dan tak mungkin diseragamkan.
Lewat naskah, terasa benar bahwa para penulis berusaha menggabungkan berbagai gagasan dalam satu film. Dan usaha itu berhasil. Pada satu sisi, film ini memberi gambaran bahwa masyarakat muslim yang ada sekarang adalah mereka yang pluralis, yang merangkul siapa saja, sehingga tokoh Sandra (Ade Firman), seorang transgender, dipersilakan beribadah di bagian perempuan (dan ini pula yang menjadi salah satu keributan dengan kaum puritan).
Pada sisi lain, film ini berusaha menghapus stereotipe bahwa penganut Islam puritan adalah teroris. Film ini juga menyampaikan gagasan bahwa mereka yang hidupnya jauh dari Islam sekalipun-diwakili tokoh penganggur, pemabuk-bisa meloncat menjadi kaum fanatik atau bisa juga sekadar ikut-ikutan.
Dari sisi kerja kamera, Nurman kembali ke gaya realis seperti dalam film 3 Doa 3 Cinta dan Khalifah. Tak ada yang istimewa dari sinematografi ataupun tata cahaya. Berbeda dengan film The Window (2016), tempat Nurman memperlakukan layar seperti sebuah kanvas lukisan, film Bid’ah Cinta betul-betul bertumpu pada plot dan dialog.
Bid’ah Cinta sesungguhnya menekankan pentingnya toleransi sebagai solusi. Pada akhirnya, Bid’ah Cinta bukan kisah cinta yang dilatari perbedaan cara menjalankan agama, melainkan tentang perbedaan cara menjalankan agama yang dipersatukan cinta.
Amandra M. Megarani
Sutradara: Nurman Hakim
Skenario: Ben Sohib, Nurman Hakim, Zaim Rofiqi
Pemain: Ayushita Nugraha, Dimas Aditya, Ibnu Jamil, Fuad Idris, Dewi Irawan, Jajang C. Noer, Ronny P. Tjandra, Alex Abbad, Tanta Ginting, Yoga Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo