Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN seluas 4 x 4 meter itu berdinding tembok dan berlantai semen. Persis di sebelahnya terdapat kandang babi, yang ukurannya hampir sama dengan bilik tersebut. Tempatnya yang berimpitan membuat bau kotoran babi sering menyeruak ke mana-mana.
Di ruangan inilah Emilitia Baros, 18 tahun, bersama keempat temannya ditampung. Kelimanya calon tenaga kerja yang akan dikirim ke Malaysia. Emilitia sudah lima bulan di sini, sejak Juli tahun lalu. Selama di sini, ia jadi terbiasa menghirup bau tidak sedap itu. "Baunya tercium sampai kamar. Tapi, demi kerja, saya harus bertahan," kata warga Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, ini pada akhir tahun lalu.
Bilik penampungan Emilitia berada di belakang rumah Petrus Dasilba, beralamat di Rukun Tetangga 19 Rukun Warga 06, Kelurahan Fatululi, Kupang. Petrus bersama istrinya, Elisabet Lina Laniawati, adalah bagian jaringan perekrut calon tenaga kerja ke Malaysia di wilayah Kupang. Keduanya berperan mencari calon tenaga kerja di perkampungan.
Saat merekrut Emilitia, Petrus menjanjikan akan mempekerjakannya sebagai tenaga cleaning service di Malaysia dengan gaji 1.000 ringgit atau setara dengan Rp 2,9 juta per bulan. Tapi, berbulan-bulan menunggu, Emilitia tak juga dikirim ke negeri jiran.
Tinggal di penampungan tadi ibarat meringkuk dalam kerangkeng. Emilitia dan teman-temannya tak bebas ke mana-mana. Kamar sering dikunci dari luar. Tapi, selama di sini, mereka dilatih keterampilan memasak dan bahasa Inggris. Di antara mereka ada juga yang dijadikan babu di rumah Petrus dengan upah Rp 200 ribu sebulan dan buruh bangunan tanpa digaji.
Petrus, yang dimintai konfirmasi, tidak membantahnya. "Mereka kerja atas kemauan sendiri," ujarnya berkelit, akhir tahun lalu. Petrus mengatakan baru kali itu menampung calon tenaga kerja di rumahnya. Biasanya calon tenaga kerja yang direkrutnya langsung diserahkan ke PT Sere Multi Pertiwi Cabang Kupang, perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS).
Petrus juga merekrut calon tenaga kerja buat Eduard Leneng, pemilik PT Mangga Dua, PPTKIS yang beralamat di Jalan Suka Bakti, Kuanino, Kupang. Eduard menjadi tersangka di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur dalam kasus dugaan perdagangan manusia ke Malaysia. Menurut data Dinas Tenaga Kerja NTT, kedua PPTKIS itu tidak terdaftar sebagai perusahaan resmi perekrut TKI di Kupang.
Sere Multi memiliki tempat penampungan calon tenaga kerja tersendiri. Kediaman Nurochmah, Kepala PT Sere Multi Pertiwi Cabang Kupang, di Jalan Suka Bakti disulap menjadi tempat penampungan dan rumah tinggal. Rumah itu berukuran 12 meter persegi. Di dalamnya terdapat beberapa kamar. Dua kamar bagian belakang digunakan untuk menampung calon tenaga kerja.
Nasib calon tenaga kerja di rumah Nurochmah dan Petrus tak jauh berbeda. Mereka tak bebas berkeliaran. Seolah-olah dipenjara di dalam kamar, mereka ke luar ruangan saat diminta. Pintu kamar selalu tertutup rapat dan dikunci dari luar.
Nurochmah mengatakan Sere Multi biasanya mengirim calon tenaga kerja ke Selangor, Malaysia, untuk dipekerjakan sebagai tenaga cleaning service dan pembantu rumah tangga.
Tapi sebelum dikirim, kata Nurochmah, calon pekerja dilatih keterampilan memasak oleh perusahaan. Ia menampik jika disebut mengirim tenaga kerja secara ilegal.
Akhir tahun lalu, polisi menggerebek tempat penampungan Petrus Dasilba dan Sere Multi. Di penampungan Sere Multi, polisi menemukan sembilan wanita yang hendak dikirim ke Malaysia. Emilitia Baros dan keempat rekannya yang "disembunyikan" di rumah Petrus juga ditemukan polisi sehingga dipulangkan ke kampung masing-masing. Tapi pengalaman pahit itu tak membuat Emilitia mengurungkan niatnya ke Malaysia. "Saya tetap ingin bekerja di sana," ujar wanita lulusan sekolah menengah pertama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo