Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pantomim Usil Yayu

Sena Didi Mime menampilkan lakon Mati Berdiri di Salihara. Riuh, energetik, dan usil.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU Gedung Salihara, Jakarta Selatan, sekonyong-konyong menyala. Seorang pengemudi ojek online berjaket hijau bertulisan Grab tiba-tiba muncul di panggung. Dia menenteng sekotak pizza. Para aktor berhenti bermain. Celingak-celinguk. Mimik mereka mengekspresikan: "Cari siapa?" Tukang ojek itu lalu mengatakan ada yang mengorder pizza. Para aktor di atas sibuk mencari-cari siapa pemesan makanan itu.

Penonton sesaat juga bingung, kok tiba-tiba ada pengemudi Grab yang nyelonong masuk panggung? Tapi sebentar mereka langsung sadar bahwa itu akal-akalan sutradara. Penonton tertawa. Apalagi ketika pizza dibagi-bagikan kepada mereka. Inilah dramaturgi usil, nakal, penuh kejutan. Di tengah pertunjukan, sering tiba-tiba lampu terang. Dan para aktor ngerjain penonton.

Lakon baru Sena Didi Mime berjudul Mati Berdiri awalnya "sok" suram. Terdengar suara menyayat saluang Minang dan seseorang menyanyikan ratapan: "Mandeh, denai mati tagak di kampuang orang (Ibu, aku mati berdiri di kampung orang)." Sosok perempuan berperut besar lalu muncul di tengah panggung. Sambil menjerit kesakitan, ia mengejan. Dari bawah perutnya, muncul satu, dua, ..., tujuh sosok kostum berjumbai warna-warni dan kepala tertutup bantal persegi.

Lalu tujuh makhluk berjumbai ini menjadi gerombolan jenaka. Gaya ekspresi mereka sudah meninggalkan pantomim klasik, yang umumnya menampilkan pantomimer dengan muka disaput makeup putih, penuh gerak-gerik tangan untuk menyimbolkan sesuatu, dan berjalan ala Charlie Chaplin dengan langkah kaki penguin. Pantomim mereka versi bebas. Tingkah laku gokil-gokilan dan sinting-sintingan pun tak jadi masalah. Sedikit-sedikit ngomong seperti orang gagu atau orang sedeng pun tak tabu.

Kelucuan muncul dari situasi-situasi gerombolan yang penuh permainan kekanak-kanakan. Tiba-tiba misalnya seseorang mengisap permukaan kotak di panggung dan kemudian, alamak, mulutnya bisa menyembur-nyembur dan mengepul-ngepulkan asap tebal. Waaaa. Semua lalu mencoba menciumi permukaan kotak. Mencoba mengisap pori-pori kotak. Yang mulutnya bisa mengeluarkan asap dikeplokin. Yang tak bisa, diejek. Menggelikan. Segar.

Setiap adegan silih berganti, berisi permainan-permainan gerombolan yang tak berhubungan satu sama lain. Sutradara Yayu W. Unru, yang menggantikan Sena Utoyo dan Didi Petet (keduanya telah almarhum), mengibaratkan pentasnya serupa lukisan Bali yang menampilkan banyak adegan dalam satu bingkai. Dalam permainan itu, kita lihat ada kompetisi, ada kerja sama yang gagal, ada yang berjalan sendiri, ada yang menyimpang, ada yang kompak. Mereka, misalnya, membandingkan ukuran alat kelamin untuk melihat punya siapa yang paling besar. Yayu mampu menampilkan tubuh-tubuh pemainnya kompak, satu kesatuan energi. Ketangkasan dan kesigapan tubuh aktor patut dipuji. Permainan mereka yang menunjukkan kekonyolan bersama, meski verbal, mampu tidak jatuh ke klise dan slapstick ala lawak murahan.

Penggunaan set berupa kotak-kotak mengingatkan kita pada pertunjukan Sena Didi Mime sepanjang dua tahun terakhir ini: Classroom. Dari dalam kotak, pemain muncul dan menghilang. Kotak itu "kotak ajaib". Kotak bisa diasosiasikan sebagai kotak tidur lengkap dengan jam weker. Tubuh pemain bisa hanya terlihat menyembul kepalanya saja. Tubuh pemain bisa cepat menghilang dari satu kotak dan muncul di kotak lain. Satu kotak seolah-olah bisa diisi dengan banyak pemain. Bila fokus eksplorasi hanya pada tubuh dan kotak-kotak ini sudah menarik.

Dengan pentas ini, Yayu sesungguhnya ingin menyajikan potret komikal perkara pemilihan kepala daerah. Ia ingin meneruskan tradisi Sena Didi Mime yang selalu memasukkan kritik sosial. Lagu Mars Pemilu zaman Orde Baru beberapa kali berkumandang dalam nuansa satire muram. Bagi Yayu, pemilihan umum penuh versi kebenaran yang membingungkan masyarakat. Ia menyimbolkan para pemain berjumbai lahir sebagai anjing yang tak menemukan tempat, lalu mati sebagai burung di atas pohon. Kotak-kotak sendiri adalah lambang rumah pohon. Tapi, bahwa pentas ini dimaksudkan sebagai kritik pemilu, entah penonton mampu menangkap entah tidak. Tak ada ciri, misalnya, para pemain ternyata berperan sebagai anjing. Sama sekali tak ada adegan yang bisa menyeret kita ke urusan pemilu.

"Memang enggak pernah ada yang mengerti pementasan kami. Yang penting tertawa dan syukur-syukur kalau pesannya nyampe," kata Yayu. Dan strategi utamanya adalah mengisengi penonton. Ada penonton yang disuruh membawakan kursi ke tengah panggung, misalnya. Atau disuruh angkat telunjuk terus-terusan. Bila jari diturunkan sebentar saja, bunyi weker berisik akan bergema dan pemain misuh-misuh kepada penonton yang tak mengangkat telunjuknya itu.

Dari awal sampai akhir, Yayu berusaha mencari ide-ide out of the box untuk mencairkan batas antara pemain dan penonton. Ada adegan para pemain melakukan adu lempar bantal untuk dicemplungkan ke kotak kayu. Adu bantal ini kemudian beralih ke penonton. Tiba-tiba lampu terang dan kru panggung muncul di atas pentas membawa setumpuk bantal putih. Para pemain lalu melayangkan cuma-cuma bantal itu kepada penonton. Hurrah. Semua berebutan.

Memang taktik ini menyenangkan. Penonton riuh dari awal sampai akhir. Tapi terlalu keseringan membuat rasanya overdosis juga. Yang perlu diperhatikan Yayu adalah takaran, sehingga tontonannya tak melulu membidik urat "hura-hura" penonton. Tapi kalau memungkinkan sedikit reflektif.

Di akhir pertunjukan, seorang pemain mencari penonton yang giginya ada bekas merah cabai. Lagi-lagi lampu dinyalakan. Lalu pemain itu menyeruak ke tengah penonton. Dia meminta penonton membuka mulut dan memeriksa gigi mereka. Di deretan ketiga atau keempat, di bawah kursi yang diduduki seorang penonton perempuan, ia merogoh bagian bawah kursi. Ia menemukan sebungkus plastik berisi cabai merah besar. Ya, ya, ya, tentu itu sudah disiapkan sejak awal. Meski penonton ngakak, strategi ini mulai agak tertebak. Too much.

Moyang Kasih Dewimerdeka | Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus