Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Ke Mana Duit Film, Palupi?

Dana Pembinaan Perfilman kini menjadi pasal tuding-menuding antara praktisi film, Dewan Film, dan Departemen Penerangan. Belum jelas nasib duit puluhan miliar rupiah yang kini cuma tersisa sekitar Rp 3 miliar. Ke mana perginya setoran yang dikutip Deppen sejak 1 Januari 1968 itu?

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudwikatmono kini hilang selera jika diajak bicara soal film--mungkin juga akibat barusan terserang stroke. Padahal, tujuh tahun silam, bos besar Kelompok Subentra ini masih "tahan banting". Ia begitu berapi-api saat diwawancarai TEMPO selama enam jam, termasuk menjelaskan ihwal tudingan monopoli bisnis filmnya. Kini, Sudwi ogah bicara walau untuk sepatah kata. "Tanya saja orang lain," suara sekretarisnya terdengar lesu tatkala meneruskan pesan si bos, pekan lalu.

Padahal Pak Dwi perlu bicara. Bukan soal monopoli bisnisnya yang kerap dihantam. Bukan pula menyangkut sinepleks twenty one miliknya yang getol menayangkan film asing. Tapi karena pekan-pekan ini Komite Peduli Perfilman Nasional (KP2N) hangat menyoroti manipulasi Dana Pembinaan Perfilman. Komite mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut semua pihak yang "terlibat", mulai dari Menteri Penerangan, Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF), serta sejumlah nama lain, termasuk Sudwikatmono dan konco-konconya. Tuntutan itu dilontarkan Sonny P. Sasono, Ketua Umum KP2N, dan Sekjennya, W. Chaniago, dalam jumpa pers pada 20 Oktober silam, selepas diterima Jaksa Agung Andi M. Ghalib.

Berapa sih duit yang menumbuhkan perseteruan heboh di antara para seniman (film) yang biasanya tak peduli pada tetek-bengek di luar karya seni mereka? Jumlahnya memang tidak kecil. Hasil corat-coret Sonny dan teman-temannya merujuk pada angka Rp 70,6 miliar. Tentu ini bukan hasil tebak kancing. Angka itu didapat berdasarkan perkalian antara jumlah judul film yang diimpor sejak 1974 hingga Juli 1998 dengan setoran--besarnya Rp 3,5 juta per judul--yang dikutip dari setiap kopi film yang diputar. Ini belum semuanya. Masih ada tambahan dana dari rata-rata kopi tambahan, yang harga setorannya adalah Rp 1 juta per buah.

Mari kita mundur sejenak, pada 1974, tatkala Menteri Penerangan dijabat B.M. Diah dan Dirjen RTF-nya dipegang Umar Kayam. Tersebutlah, ketika itu Kayam melontarkan ide untuk memperbaiki mutu film nasional. Mutu, antara lain, bisa berarti uang untuk biaya. Kebetulan, kemampuan pemerintah untuk menyokong komoditi seni dan hiburan ini serba minim. Dicarilah akal. Maka lahirlah kebijakan yang masyhur itu: Surat Keputusan Menteri Penerangan (SK Menpen) No. 71/1967. Selanjutnya, ini dikenal dengan SK 71.

Isi SK itu menyebutkan, terhitung sejak Januari 1968, Kayam menarik Rp 250 ribu dari setiap judul film impor, untuk dana produksi dan rehabilitasi film nasional. "Dengan dana dari film importir, lalu dibentuk tim untuk menentukan sutradara, penulis skenario, dan bintang film," kata Kayam dalam TEMPO, Juli 1991. Dana ini antara lain membuahkan Apa yang Kau Cari, Palupi. Film ini menang sebagai film terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 1971. Tapi tekor dalam modal. Tidak besar untuk hitungan sekarang, Rp 30 juta. Tapi belakangan, entah kenapa, sempat memancing sindiran dan protes para importir.

Mereka menuduh terjadi pemborosan dalam pemakaian dana produksi tersebut. Bahkan, tidak sedikit yang menduga keranjang dana ini jadi lahan kolusi. Beberapa publikasi pada masa itu menyebutkan, untuk melancarkan turunnya dana Rp 7,5 juta, misalnya, seseorang harus merogoh pelicin Rp 1 juta. Benar begitu? Entahlah. Kayam mengatakan pada saat itu: "Dirjen RTF hanya memberi pinjaman pada produser, tanpa bunga."

Tahun berganti tahun. Para Menteri Penerangan datang dan pergi. Namun SK 71--yang kendati kemudian beralih rupa dalam bentuk SK-SK lain--tetap berjaya. Surat itu mengalirkan setoran masuk yang makin bengkak dari tahun ke tahun. Siapa yang menerima dan menyimpannya? Tak jelas betul. Boediyati Abiyoga, Sekretaris Komisi A Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, bilang bahwa yang paling tahu hal itu adalah Direktur Film Departemen Penerangan. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah meminta TEMPO melimpahkan pertanyaan tersebut ke Sudiyanto, Direktur Film Deppen. Sudiyanto? Ia minta waktu seminggu, karena "jawabannya perlu dirapatkan dulu".

Tak jadi apa. Toh pertanyaan yang sama bisa diajukan ke Dirjen RTF sebelumnya, Alex Leo Zulkarnain, yang menurut sumber TEMPO tahu betul ke mana dana itu pergi. Maklumlah, sebelum menjadi Dirjen, Alex Leo juga pernah menjabat Direktur Film dan Rekaman Video pada 1 Juli 1983 hingga 1 Oktober 1985. "Dana film itu sebenarnya gampang melacaknya. Tinggal lihat saja pembukuan dari zaman dikeluarkannya SK 71," ujar Alex. Saat menjabat Direktur Bina Film (1983), pembukuan uang itu kurang jelas.

Sebab itu, Alex lantas memerintahkan kepada Sunarto Erawan, bendahara ketika itu, agar uang itu didepositokan. "Juga saya perintahkan agar setiap tahun dana itu diperiksa auditor swasta," ujarnya kepada TEMPO. Berapa jumlah dana tersebut tatkala mulai didepositokan? Alex tak ingat berapa tepatnya ."Keluar-masuknya dana dicek langsung oleh bendaharawan, Sunarto Erawan," ujarnya menjelaskan. Sayang, pertanyaan kepada Erawan hanya dijawab singkat dan kembali muter: "Saya harus minta petunjuk dulu kepada Direktur Bina Film, Pak Sudiyanto."

Alex Leo tak sendiri. Harmoko, big boss Deppen tiga kabinet (Maret 1983 sampai Maret 1998), juga tak lepas dari tudingan. "Beberapa orang Deppen ikut menikmati," ujar Sonny. Sementara itu, Sophan Sophiaan, aktor dan sutradara, tatkala ditemui di sela-sela Sidang Istimewa MPR, berkomentar, "Jelas Harmoko, dong, yang harus bertanggung jawab. Kan dia tiga kali jadi menteri. Dia ex efficio Ketua Dewan Film Nasional (DFN)," tutur Sophan melanjutkan.

Sophan pernah menanyakan hal ini ke Dewan Film, tapi mereka tidak tahu-menahu. Anggota DPR Fraksi PDI (Perjuangan) itu lantas menuturkan betapa kaburnya dana pembinaan film tersebut. "Rumornya, sih, uang itu dipakai untuk membiayai Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca Dan Permirsa, salah satu program Deppen yang dikembangkan Harmoko), atau pembangunan Gedung Pers di Solo dan di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat," ujar suami aktris Widyawati itu.

Apa komentar "para tertuduh"? "Silakan cek semuanya ke Deppen. Kan ada datanya, pembukuannya. Semuanya lengkap. Pemakaian uang itu kan tidak pakai tanda tangan menteri. Semuanya diatur Dewan Pengurus untuk kepentingan film nasional," kata Harmoko menjelaskan kepada TEMPO. "Kita harus berpatok pada asas praduga tak bersalah. Kalau dari saya, prinsipnya, semua boleh dicek," ujar Ketua DPR/MPR ini. Alex Leo rupanya tak sesabar bekas bosnya. "Saya bisa tuntut dia! Pegang uang saja tidak pernah, bisa-bisanya dia ngomong begitu. Itu penghinaan bagi saya," katanya penuh emosi. (lihat: Saya Siap Menghadapinya di Pengadilan)

Transparansi, ya, sekali lagi transparansi, itulah kata kunci mengatasi persoalan carut-marut dana film nasional. Ini menyangkut posisi dana; di mana sebetulnya dana itu berada, digunakan untuk apa saja dan tinggal berapa sesungguhnya yang ada di laci Deppen. Terus terang, selama ini angka yang beredar simpang-siur dan tanpa hitungan pasti. Menurut Boediyati, sejak diberlakukan sertifikat dana impor, paling-paling terkumpul Rp 14 miliar. Bila kini tersisa Rp 3 miliar, produser film ini merasa wajar-wajar saja. Karena sudah terpakai antara lain untuk bantuan film serta acara rutin festival film dalam dan luar negeri.

Rosihan Anwar, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Perusahaan Film Indonesia dan juga pengurus Dewan Film Nasional, mengaku tak tahu angkanya yang pasti. "Setahu saya, sisanya Rp 3 miliar," ujarnya. Eros Djarot, sutradara dan wartawan, menyitir angka yang lebih dahsyat: "Hitungan saya, angkanya bisa mencapai Rp 200 miliar," ujarnya kepada TEMPO. "Tapi saya tidak mau melihat angka itu secara naif." Maksud Eros, dihitung juga multiplier effect-nya, termasuk devisa yang keluar jika film diimpor.

Ucapan lantang Eros di atas kontan mengingatkan pertikaian lama di antara sesama praktisi film: Kelompok Subentra di bawah Sudwikatmono, Djohan Tjasmadi, Benny Suherman dkk., versus para "pejuang" film seperti Eros Djarot, Slamet Rahadjo, Garin Nugroho, Sophan Sophiaan, dan Christine Hakim. Pertikaian ini berawal dari keberatan para pejuang film terhadap monopoli layar oleh Kelompok 21, yang kemudian ternyata jauh lebih banyak memutar film asing. "Mereka (Kelompok Subentra) telah menghancurkan perfilman nasional," Eros berteriak

Sutradara Tjoet Nyak Dien ini mengatakan siap berpanel dengan siapa saja untuk bicara kebijakan perfilman nasional. Orang-orang film dari generasi yang lebih muda seperti Eros dan Garin sejauh ini memang menghasilkan suatu karya yang--paling tidak--berarti. "Tapi saya justru mendapat tudingan yang tidak-tidak. Saya bersyukur, saya tidak pernah menerima sepeser pun dari uang tersebut," Eros kembali menegaskan.

Tapi, anehnya, Garin dan sejumlah sutradara muda lainnya dituding komite Sonny tadi ikut kecipratan dana film. Padahal, mereka memang dibantu pemerintah untuk membikin film berkualitas. Tapi ini sesuai dengan prosedur, meski nyatanya masih nombok karena jauh dari bujet dalam proposal yang diajukan. (lihat tabel produser harus nombok)

Nano Riantiarno, bos Teater Koma dan sutradara The Last Primadona, film yang juga mendapat bantuan Dana Pembinaan Film, bersama Garin Nugroho--dalam Bulan Tertusuk Ilalang--melukiskan situasi perfilman terakhir, termasuk ribut-ribut soal dana: "Dunia film kita ibarat benang yang kelewat centang-perenang. Tak lagi jelas mana ujung mana pangkal, mana yang kusut atau terurai." Lalu siapa yang bersalah? "Semua orang ikut mengambil bagian, berapa pun bagiannya, dalam kesalahan kolektif itu," ujar Pemimpin Redaksi Majalah Matra itu melanjutkan.

Umar Kayam, pencetus ide SK 71, bukannya tak gundah melihat situasi perfilman Indonesia akhir-akhir ini. "Sudah bubar nggak karuan," ujarnya ketika dihubungi per telepon. Padahal, ide yang sama telah melahirkan tayangan bermutu sekelas Apa Yang Kau Cari, Palupi. Inilah kisah tentang seorang perempuan bernama Palupi yang terus-menerus mencari jati dirinya dan ke arah mana ia harus pergi untuk mewujudkan cita-cita.

Kisah Palupi memang cuma dalam film. Tapi tiba-tiba seakan menjadi ironi yang padan terhadap situasi perfilman Indonesia yang kini tak tentu arah dan tujuannya. Lebih-lebih, tatkala orang terus-menerus bertengkar tentang sejumlah dana yang seharusnya bisa membantu perfilman Indonesia menemukan kembali jati dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus