Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moncong kamera mula-mula bisa diarahkan ke sosok Umar Kayam. Setting dibikin pas lahirnya Orde Baru. Kala itu tahun 1967, saat menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film di Departemen Penerangan, Kayam mempunyai gagasan mulia: memajukan dunia perfilman nasional yang lagi lesu darah. Ia lalu membuka lebar pintu masuk film impor, mengutip "pajak" dari situ, yang kemudian dipakai untuk membantu memproduksi film nasional. Sifatnya berupa pinjaman tanpa bunga.
Buah kebijakan Kayam tadi bisa dirasakan pada Apa yang Kau Cari, Palupi. Meski tak mampu mengembalikan modal, Palupi sukses sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 1970. "Itu memang risiko," kata Kayam kepada TEMPO--mungkin kala di-shoot dalam film kita ini, sang budayawan lagi leyeh-leyeh di atas kursi Betawi. "Yang penting kita telah membuat film bermutu. Kalau produser rugi, mereka memang tak perlu mengembalikan modal."
Namun, Bernapas dalam Lumpur (1967) karya Turino Djunaedi serta Nyi Ronggeng (1967) garapan Alam Surawijaya, yang didanai dengan cara serupa, ternyata sukses di pasaran. Langkah Kayam terbukti manjur. Sampai tahun 1975 jumlah produksi film nasional terus menanjak. Tak aneh jika kebijakan mengutip itu dilanjutkan oleh menteri-menteri penerangan berikutnya hingga sekarang ini. Jumlah dana itu diperkirakan sangat besar seiring dengan meningkatnya kuota film impor ke Indonesia dari tahun ke tahun.
Dana pembinaan film nasional diperluas sumbernya sejak Menteri Penerangan dijabat Ali Moertopo pada 1978. Dana tak hanya berasal dari kutipan terhadap film impor, ada juga 50 persen dari dana kebudayaan yang dipungut oleh pemerintah daerah, serta dana yang dipungut dari pengusaha bioskop. Sejak 1984 dana juga dikutip dari "sertifikat" rekaman video. Dan lebih belakangan lagi, dari "sertifikat lolos sensor" terbitan Lembaga Sensor Film untuk setiap iklan yang ditayangkan di televisi.
Kamera lalu zoom-in menuju Menteri Penerangan Harmoko. Pada awal masa jabatannya yang kedua, 1988, Harmoko menetapkan kuota film sebanyak 200 judul. Kutipan dari film impor ini sebesar Rp 3 juta untuk enam kopi pertama dan Rp 1 juta untuk tiap kopi tambahan--maksimal 12 kopi. Tiga tahun kemudian kuota diperkecil menjadi 160 judul. Namun kutipannya dinaikkan menjadi Rp 3,5 juta untuk enam kopi pertama dan Rp 500 ribu untuk tiap kopi tambahan, maksimal 18 kopi.
Setting film berubah memasuki tahun 1990-an. Adegan tentang kutipan masih saja terus berjalan. Kali ini figur yang dilayani kamera seorang bos besar bernama Sudwikatmono. Lokasinya di gedung DPR Senayan--tentu sebelum ramai-ramai didemo mahasiswa. Saat menjadi aktor penting dalam dengar pendapat dengan DPR pada Juli 1991, si bos berteriak: jangan hanya pihaknya yang dituding monopoli, tapi coba tanyakan ke mana larinya dana kutipan film impor yang banyak ia kucurkan.
Kalangan perfilman keruan saja meradang. Mereka bertanya: ke mana dana mengalir? Tujuh tahun telah berlalu tapi sampai kini tidak ada jawaban yang jernih. Jauh dari memuaskan. Ironisnya, kondisi perfilman nasional kian muram. Baik mutu maupun jumlahnya.
Lalu Soeharto turun dari kursi presiden, Orde Baru rontok, dan semua hal dipertanyakan kembali. Dalam sebuah konferensi pers dua pekan silam, Sonny P. Sasono, Ketua Umum Komite Peduli Perfilman Nasional (KP2N), menuding para pejabat Deppen "menikmati miliaran rupiah dana untuk perfilman nasional". Sonny, seorang pengacara dan mantan pengurus Persatuan Pengusaha Film Keliling (Perfiki), lalu melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung.
Tapi berapa jumlah dana film seluruhnya? Dan berapa, sih, persisnya uang yang "dinikmati" pejabat Deppen, jika memang ada? Rosihan Anwar, wartawan kawakan yang kini Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), bilang "tidak tahu". Padahal, BP2N, pengganti Dewan Film Nasional, merupakan tangki pemikir yang bertugas memberikan arah pada perkembangan film nasional, termasuk ke mana dana disalurkan. "Teknis pengelolaan dana dipegang oleh pejabat Deppen," katanya. Dewan tidak tahu-menahu.
Toh, kata Rosihan, duit itu bisa dihitung. Sonny dari KP2N sudah mengalkulasi. Dari 1974 hingga 1998 tak kurang 4.870 judul film impor beredar di Indonesia. Pihak importir memperbanyak hingga 97.050 kopi, sembilan kopi pertama setiap judul, dan 11 kopi tambahan. Dari asumsi itu Sonny menemukan keseluruhan dana "sertifikat film impor" tadi. Totalnya, cipoa Sonny menunjuk angka sekitar Rp 70,6 miliar.
Dengan asumsi sama tapi memperhitungkan turun-naik kuota dan tarif kutipan dari periode ke periode, tim investigasi TEMPO justru menemukan angka yang lebih besar: Rp 140 miliar. Namun angka itu pun baru diperoleh dari jumlah judul film yang masuk ketentuan kuota. Film anak-anak, yang tidak dibatasi, belum masuk perhitungan. Belum faktor inflasi. Bukankah Rp 1 miliar pada 1970-an pastilah jauh lebih bernilai ketimbang sekarang. Apalagi film impor hanya salah satu sumber kutipan atas nama "pembinaan film nasional". (lihat tabel)
Deppen pada era Kabinet Reformasi ternyata hanya menerima Rp 3 miliar dari kabinet sebelumnya. Lalu ke mana sisanya dibelanjakan? Mengambil data audit swasta, Sonny mengungkapkan di depan aparat Kejaksaan Agung bahwa pengeluaran yang tercatat hanya sekitar Rp 5 miliar. Selebihnya tak jelas. Ibarat iklan pelawak Basuki, bablas, wes ewes-ewes.
Bisa saja data Sonny itu tidak akurat. Sebab, di samping untuk membantu produksi film nasional, dana itu dikeluarkan dalam berbagai bentuk, antara lain penyelenggaraan Festival Film Indonesia dari tahun ke tahun, Festival Sinetron, dan subsidi untuk Sinematek. Pengiriman sineas ke luar negeri juga dibekali dengan dana tersebut. Sayangnya, lagi-lagi Rosihan pun tidak tahu berapa yang dibelanjakan untuk itu semua.
Orang mungkin tak akan pernah bisa tahu secara persis berapa pengeluaran sungguh-sungguh untuk pembinaan film nasional. Juga berapa yang masuk ke kocek-kocek pribadi mereka yang terlibat. Dari segi inilah "gugatan" Sonny, apa pun motif dan bungkusnya, memiliki makna penting: tuntutan terhadap transparansi dan pertanggungjawaban.
Rosihan Anwar maupun Alex Leo Zulkarnain, tokoh yang pernah lama menjabat Dirjen RTF di bawah Harmoko, bilang bahwa laporan keuangan dana itu diaudit oleh lembaga independen. Jika memang benar begitu, kenapa audit itu tidak diungkapkan sebagai bagian dari hak ingin tahu publik? Bukankah kasus ini telah menjadi gunjingan media massa sejak 1993? Kamera berakhir pada babak serba gelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo