Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Kesempurnaan Yang Retak

Pemilu 1999 merupakan salah satu pemilu terbaik yang pernah digelar negeri ini, setelah Pemilu 1955. Namun, sejumlah kekurangsempurnaan teknis dan kecurangan mencemarinya. Siapa paling curang? Bisakah menjadi pelajaran bermakna untuk pemilu mendatang?

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir saja rumah Maskur Effendi dibakar massa. Di Desa Ketajen, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejumlah saksi menuding dia memanipulasi hasil pemungutan suara dalam pemilihan umum lalu. Anggota panitia pemungutan suara di sebuah TPS itu menggelembungkan perolehan suara Partai Golkar dari 316 saat pencoblosan menjadi 616 ketika dilaporkannya ke kelurahan. Beruntung Maskur, ayah empat anak itu. Seorang tokoh desa setempat berhasil mencegah kebrutalan massa. Maskur dibawa ke kantor polisi setempat. Dan 11 Juni lalu, Pengadilan Negeri Sidoarjo memastikan dia, seperti yang juga diakuinya, melanggar Pasal 73 ayat 10 Undang-Undang Pemilu. Maskur mendekam delapan hari dalam penjara sebagai ganjarannya. Meski begitu, sampai kini dia belum berani pulang. Mengungsi. Drama Maskur hanya satu catatan kaki dari perhelatan besar pemilu lalu—sebuah pemilu yang oleh banyak pihak disebut-sebut yang paling demokratis sejak Pemilu 1955. Tak hanya para pengamat independen di dalam negeri yang mengakuinya. Secara garis besar, pemilu berjalan cukup baik," kata Blair King, Pelaksana Program National Democratic Institute (NDI), lembaga pendorong demokrasi yang bermarkas di Washington, DC. "Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu yang serba baru, baik sistem, peserta pemilu, maupun penyelenggaranya." Bekerja sama dengan The Carter Center, lembaga advokasi yang dipimpin mantan presiden AS, Jimmy Carter, NDI telah berpengalaman mengamati perkembangan demokrasi di berbagai belahan dunia. Dan penilaiannya tentang pemilu lalu di Indonesia, "Secara relatif cukup baik dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilu transisional di negara lain, misalnya Thailand." Sukses pemilu kali ini juga bisa diukur dari aspek lain. Meski dipersiapkan dalam jangka waktu pendek, pemilu kali ini mencatat jumlah pencoblos yang besar: lebih dari 114 juta (sekitar 90 persen dari jumlah rakyat Indonesia yang memenuhi syarat memilih). Itu menunjukkan antusiasme dan harapan besar rakyat, mengingat pendaftaran pemilu kali ini bersiaf sukarela—orang mendaftar, bukannya didaftar. Meski diikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini juga mencatat masa kampanye yang relatif damai dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang yang meninggal semasa kampanye—baik karena kekerasan maupun kecelakaan—dibanding 327 pada Pemilu 1997, yang diikuti oleh tiga partai. Ini juga menunjukkan bahwa rakyat kebanyakan lebih rileks melihat perbedaan. Untuk banyak aspeknya, pemilu kali ini bolehlah disebut sebagai salah satu reformasi besar dan damai setelah 30 tahun yang pengap. Bung Hatta, salah satu proklamator, akan senang mendengarnya. "Demokrasi bisa tertindas sementara," tulisnya dalam Demokrasi Kita, 40 tahun silam, "Tapi, setelah mengalami cobaan yang pahit, demokrasi akan muncul kembali dengan penuh keinsafan." Tidak seoptimistis itu. Banyak ujian masih harus dilalui untuk menemukan demokrasi yang berkualitas. Salah satunya adalah mengenali ketidaksempurnaan pemilu sekarang, dan mulai menemukan resep memperbaiki pemilu lima tahun mendatang. Meski berlangsung cukup sukses, pemilu kali ini masih diwarnai banyak pelanggaran. Dengan lebih dari 32 ribu tempat pemungutan suara (TPS), pemilu lalu memiliki banyak kisah dramatis seperti yang dialami Maskur, lengkap dengan semua corak kecurangan serta kelucuannya. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), salah satu lembaga yang memelototi penyelenggaraan pemilu kali ini, melaporkan berbagai pelanggaran, secara terus-menerus, hari ke hari, melalui para relawannya yang tersebar di seluruh Indonesia. Membagi pelanggaran dalam 21 kategori (lihat tabel), KIPP menemukan adanya tiga pelanggaran terbesar dalam laporan terakhirnya pekan lalu: lokasi TPS tidak di tempat netral (misalnya di gedung pemerintah) sebanyak 13,6 persen, peralatan tidak lengkap (13,53 persen), dan pembukaan TPS tak tepat waktu (10,59 persen). Itu semua bukan pelanggaran serius—lebih bersifat teknis dan administratif. Untuk banyak hal, pelanggaran jenis ini bisa dipahami dari persiapan pemilu yang cukup pendek, dengan jumlah partai yang sangat besar, serta ketidaksiapan panitianya. Namun, masih pula terjadi pelanggaran serius seperti di zaman Orde Baru. Dalam kategori pelanggaran serius, seperti dikatakan oleh Sirra Prayuna dari Presidium Legal KIPP, yang terbanyak adalah praktek politik main uang. Sirra mengakui bahwa pihaknya belum selesai melakukan pendataan semua laporan dari daerah, sehingga belum bisa memastikan apakah pemilu kali ini memenuhi kualitas jujur-adil dan demokratis. University for Free Election (Unfrel), yang menurunkan 105 ribu relawan—di 50 ribu TPS, 2.200 kecamatan, 250 kabupaten, 22 provinsi—juga baru menyelesaikan 50 persen proses pendataan. Nuri Soeseno, Koordinator Pelaksana Harian Unfrel, menyebutkan dua jenis pelanggaran serius yang masih mengemuka: politik main uang dan intimidasi. Namun, jumlah pelanggaran ini pun tergolong kecil jika dibandingkan dengan pemilu lalu. Todung Mulya Lubis, rekan Nuri di Unfrel, bahkan berani mengatakan, "Secara umum, pemilu berlangsung dalam suasana yang lebih bebas, di mana angka intimidasi tak lebih dari 7 persen." Dari laporan dua lembaga tadi, Golkar disebut-sebut sebagai partai yang paling banyak melakukan pelanggaran dalam bentuk praktek politik main uang. Praktek seperti ini terutama marak di kawasan Indonesia timur. Golkar unggul telak di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatra. Jika diperiksa silang dengan temuan kecurangan, dugaan itu memang jadi klop. "Kecurangan banyak terjadi di daerah tempat Golkar menjadi pemenang, khususnya di Sulawesi dan Sumatra," kata Nuri Soeseno. Banyak kasus terkait dengan nama Arnold Baramuli, Wakil Ketua Dewan Penasihat Golkar dan pengusaha yang berasal dari Sulawesi Selatan, tempat lahir Presiden B.J. Habibie. Intimidasi terjadi antara lain di Irianjaya: pemilih ditakut-takuti oleh serbuan satu batalyon tentara jika tidak memilih Golkar. Namun, tidak seperti pada pemilu-pemilu Orde Baru, Golkar rupanya tak bisa lagi mengandalkan intimidasi oleh militer, yang tampaknya kini kian netral. Jalan yang paling mungkin bagi mereka adalah politik main uang itu. Dan praktek seperti itu pun terbukti sulit dilakukan di kawasan Jawa, yang penduduknya lebih kritis, di bawah sorotan ketat lebih banyak pemantau independen dan media massa. Dari hasil pemantauan lapangannya, Helmi Ali dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) meminta Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mendiskualifikasi Golkar, yakni dengan membatalkan seluruh perolehan suaranya, karena pelanggarannya yang mencolok dalam soal politik main uang. Namun, politik main uang tak hanya dipraktekkan Golkar. Unfrel menemukan, dalam jumlah yang lebih sedikit, pelanggaran dilakukan oleh Partai Daulat Rakyat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan, serta Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Mulyana W. Kusumah dari KIPP, seperti halnya Helmi Ali, memandang penting untuk membawa bukti-bukti pelanggaran ke Panwaslu. Namun, ini bisa menjadi urusan pelik. Sebab, Panwaslu adalah lembaga pengawas pemilu yang ironisnya tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi. Helmi dan Mulyana belum putus asa. Mereka berniat membawa masalahnya ke pengadilan, agar pelanggaran hukum itu diproses secara hukum. Helmi bahkan berniat menuntut Golkar sampai Mahkamah Agung. Namun, meski ini dimungkinkan, proses hukum itu akan memerlukan waktu lama, sementara desakan agar roda politik terus berjalan tak bisa dicegah. Bagaimanapun, upaya banyak lembaga pemantau pemilu itu tidak akan sia-sia. Mereka telah menunaikan upaya pendidikan politik yang sangat bermanfaat. Sebab, banyaknya laporan pelanggaran justru secara paradoksal mencerminkan kualitas pemilu ini yang lebih baik dari pemilu sebelumnya: ada banyak pemantau yang terlibat dan media massa yang relatif bebas memberitakannya. Dalam kasus Maskur Effendi yang rumahnya hampir terbakar itu, pemilu kali ini juga lebih demokratis karena antusiasme rakyat kebanyakan untuk ikut mengawal hasil penghitungan suara. Setelah tahun-tahun yang pengap, "demokrasi yang muncul kembali dengan penuh keinsafan" mudah-mudahan bukan angan belaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus