Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Lagu Sumbang "Iramasuka"

Partai Golkar menang telak di Sulawesi. Lembaga pemantau menuding kemenangan itu sebagai hasil permainan politik uang Baramuli. Pemilu perlu diulang?

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GOLKAR menang, pemilu pasti curang. Anggapan itu barangkali terlalu berlebihan. Tapi, temuan berbagai lembaga pemantau pemilihan umum menunjukkan kesimpulan yang mengarah ke sana. Kecurangan banyak ditemukan di daerah-daerah Beringin banyak dicoblos. Golkar unggul telak di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatra. Jika diperiksa silang dengan temuan kecurangan, dugaan itu memang jadi klop. "Kecurangan banyak terjadi di daerah Golkar menjadi pemenang, khususnya di Sulawesi dan Sumatra," kata Nuri Soeseno, Koordinator Pelaksana Harian University for Free Election (Unfrel). Modusnya masih seperti kebiasaan lama partai ini semasa Orde Baru. Suara dijaring dengan menebar duit dan lewat sokongan pemerintah setempat. Dari sekian daerah, yang paling banyak disorot adalah kemenangan mencolok Partai Beringin di Sulawesi. Di pulau kelahiran Habibie itu, Golkar masih menjadi "mayoritas tunggal". Hampir seluruh kursi Dewan Perwakilan Rakyat disapu bersih. Hasil ini justru memicu gelombang gugatan ke arah partai kuning. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) tegas-tegas menyatakan bahwa Golkar telah memainkan praktek pembelian suara di, paling tidak, 317 tempat pemungutan suara (TPS) di Sulawesi Selatan. Yang paling ramai di Sulawesi Utara. Jumat, 11 Juni silam, Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Sul-Ut bahkan mengambil keputusan untuk membatalkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di tujuh daerah tingkat II. Yang dituding, apa lagi, kalau bukan jurus Ketua Koordinator Wilayah Indonesia Timur Golkar, Achmad Arnold Baramuli, yang getol menebar fulus miliaran rupiah selama masa kampanye untuk menjamin kemenangan Golkar di wilayah "Iramasuka" (Irian, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan). Buntutnya, setelah melakukan investigasi di lokasi, Panitia Pengawas Pemilu Pusat (Panwaspus) merekomendasikan Presiden Habibie, jika hal itu terbukti, untuk mengambil tindakan tegas. Sepak terjang ala Baramuli ini hampir menjadi rahasia umum, selain itu, juga telah sedemikian meluas. "Hampir semua kepala desa memperoleh Rp 100 ribu. Uang itu katanya sedekah dari Golkar," kata Hais Husain, Ketua Komite Independen Pengawas Pemilu Gorontalo. Setiap kali akan berkampanye, Baramuli mengumpulkan aparat desa dan camat. Setelah itu duit ditebar. Sebagian disalurkan melalui pengurus Golkar kecamatan. Dengarlah pengakuan Ato Hamzah, warga Desa Buntulia Selatan, Kecamatan Marisa. Pada 10 Juni lalu, ia membuat pernyataan tertulis di hadapan PPD Gorontalo. Isinya: ia mengaku Golkar telah mencoba "membelinya". "Saya telah menerima Rp 50 ribu dari seorang anggota Golkar pada Senin, 31 Mei 1999. Saya diminta untuk menusuk Partai Golkar pada pemilu, Senin, 7 Juni. Uang itu saya kembalikan karena saya takut," tulis Hamzah. Di Kecamatan Paguat, Gorontalo, pagi hari sebelum pencoblosan, beberapa kader Beringin juga kedapatan membagi-bagikan uang yang totalnya mencapai Rp 25 juta. Pertimbangan yang diangkat Panwaspus itu cukup telak. Pendukung utama Habibie itu dihadapkan dengan batas sumbangan kepada suatu partai politik. Undang-Undang No. 2/1999 tentang Partai Politik membatasi jumlah sumbangan perorangan maksimal Rp 15 juta dan perusahaan/lembaga Rp 150 juta per tahun. Masalahnya, "sinterklas politik" ini telah menebar duit miliaran rupiah. Di provinsi ini, kisah bagi-bagi duit itu sejak lama santer di Manado, Minahasa, dan Sangirtalaud. Jumlahnya, berkisar dari Rp 100 ribu untuk kepala desa dan Rp 100 juta sampai satu miliar rupiah untuk pembangunan gereja dan masjid. Jadi, jika ditotal jenderal, jelas plafon itu sudah diterabas. Menghadapi tudingan itu, Baramuli selalu berkilah dengan menyatakan dana itu berasal dari kocek pribadinya. Hal yang sama diutarakan adik kandungnya, Hengky Baramuli, kepada TEMPO. "Sumbangan untuk tempat ibadah itu berasal dari keuntungan Grup Poleko (perusahaan Baramuli)," kilahnya. Anehnya, Poleko termasuk salah satu debitur kakap yang masuk daftar Badan Penyehatan Perbankan Nasional karena mengemplang utang lebih dari Rp 79 miliar di Bank Dagang Negara. Adapun dana untuk kepala desa, pernah diungkapkan Baramuli kepada TEMPO, berasal dari kas Golkar. Marzuki Darusman, Ketua DPP Golkar, membantah sepak terjang Baramuli itu merupakan garis kebijakan Beringin. Sepengetahuannya, dana itu juga tidak keluar dari kas resmi Golkar. "Baramuli memiliki akses terhadap sumber dana yang luar biasa," katanya menyinyalir. "Asumsinya, dia tidak mungkin menggunakan uang tanpa batas itu jika belum diizinkan Habibie." Jadi, dana itu dari Habibie? Marzuki sendiri menyatakan tidak tahu persis asal-usulnya. Tapi, kedekatan Baramuli dengan Habibie rupanya dilirik para pengusaha dan orang tertentu yang punya kepentingan. Nah, jika berminat menyetor, Baramulilah jalur yang tepat. Keberpihakan aparat dalam mendulang suara Beringin juga amat mencolok, misalnya, tampak pada ulah pegawai pelat merah Sulawesi Selatan. Banyak pihak menduga, sokongan ini tak lepas dari gaya sinterklas Baramuli yang luar biasa royal. Setiap kepala desa digerojoki "uang saku" satu juta rupiah plus ongkos baju dinas Rp 100 ribu. Dan hasilnya memang lumayan ampuh. Kasus aparat yang main belakang ini bisa dilihat, terutama, di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. "Tidak ada perubahan berarti pada cara birokrat mendukung Golkar saat ini dengan masa Orde Baru," kata Masmudin, anggota PPD Luwu dari unsur Partai Masyumi. Di Luwu, Golkar menyapu 80 persen suara. Sukarelawan pemantau pemilu dari Forum Pemerhati Masalah Perempuan juga melaporkan adanya beberapa kali "rapat gelap" para camat, kepala desa, serta pegawai negeri sipil lainnya yang diprakarsai Wakil Bupati Luwu, Said Culla, menjelang hari pemungutan suara. "Boleh ke mana-mana, asal jangan di mana-mana," kata Culla berkampanye. Maksud pengarahan itu jelas, boleh terbuka terhadap partai mana pun, tapi jangan lupa: coblos Beringin. Manuver sang wakil bupati ini ternyata amat efektif. Sejumlah bawahannya bahkan tak ragu bertindak nekat. Tengoklah ulah seorang Kepala Desa Pombakka di Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Rahmani, sang kepala desa, menggondol enam kotak suara di kantor kecamatan, sehari sebelum pencoblosan. Bersama dua anak dan keponakannya, mereka lalu mengangkutnya ke Pombakka dengan katinting (sampan kecil). Di atas perahu itulah mereka beroperasi. "Gembok petinya dicongkel, lalu mereka mencoblosi nomor 33 di 150 lembar kertas suara," kata Harla, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Daerah Luwu. Sesampainya di sana, peti-peti itu ditaruh di rumah Mundare, Kepala Dusun Pombakka. Mundare lalu membuat langkah "kreatif". Warga ia kumpulkan. Kertas suara yang telah dicoblos itu lalu digunakan sebagai alat peraga. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk gladi-resik agar keesokan harinya mereka ramai-ramai mencoblos Beringin. Kecurangan ini terungkap setelah Anton, ketua kelompok pelaksana pemungutan suara (KPPS) setempat, yang menyaksikan kejadian itu, melaporkannya ke Ketua Panitia Pemilihan Daerah II dan Panitia Pengawas Pemilu Luwu. Karena tak kunjung digubris, Anton pun mengadu ke KIPP Luwu. Bersama aparat dari Kepolisian Resor Luwu dan anggota KIPP, ia lalu mendatangi lokasi kejadian. "Kertas suara itu berhamburan di rumah Mundare," kata Harla menuturkan. Malam itu juga Rahmani dan Mundare digelandang ke sel polisi. Di luar faktor kecurangan, tema "Habibie sebagai calon presiden Golkar" juga laku dijual. Model kampanye seperti "kapan lagi berbahasa Bugis di Istana" berhasil menggelembungkan suara Beringin di kawasan ini. Di Kelurahan Tamalate Kecamatan Kota Selatan, Gorontalo, misalnya, 70 persen suara mengalir ke Golkar. Di sinilah ayah Bung Rudy pernah bermukim, sebelum pindah ke Pare-Pare. Di Kota Madya Gorontalo, lebih dari setengah suara pemilih juga hinggap ke Beringin. Toh kecurigaan telanjur menjalar. "Seharusnya Golkar itu didiskualifikasi, perolehan suaranya dibatalkan," kata Helmi Ali, pengurus Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Kecurangan pemilu adalah kejahatan yang tak boleh didiamkan. Kalau perlu, pelakunya diseret ke meja hijau. Tapi perlu diingat, membunuh tikus tak perlu dengan membakar seluruh lumbung. Adalah konyol memburu sejumlah kecurangan dengan menuntut pembatalan hasil pemilu secara keseluruhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus