Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lambaian tangan Soeharto seperti sebuah jawaban. Selasa pekan lalu, mantan RI-1 ini memang masih duduk di atas kursi roda. Tapi wajahnya tampak cerah, senyumnya lebar saat menghampiri kerumunan wartawan. Pertanda tubuhnya telah kembali sehat dan bugar. Kerisauan akan segera berakhirnya riwayat sang Jenderal tidak?atau belum?terbukti.
Kerisauan itu memang punya alasan kuat. Akhir bulan lalu, persisnya Senin 27 April, Soeharto dengan bergegas dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Ketika itu, jangankan menjawab sapaan wartawan, memandang dunia luar pun dia seperti tak berselera. Sambil sesekali terbatuk saat perawat mendorong kursi rodanya, Soeharto tidak sedikit pun membuka kelopak matanya.
Begitulah, melewati waktu senjanya, pada usia 83 tahun, Soeharto tidak saja terancam banyak tuntutan hukum, dia juga harus melawan beragam penyakit. Dua kali serangan stroke, gangguan ginjal, dan penyakit jantung telah menggempur daya tahan penguasa 32 tahun Orde Baru ini. Akibat gempuran stroke, Soeharto mengalami kerusakan saraf otak yang disebut afasia, kerusakan yang mengacaukan fungsi luhur seorang manusia, terutama kemampuan bahasa dan berkomunikasi. Afasia ini pula yang membuat Soeharto, dengan segala perdebatan yang mengiringi, dinyatakan tidak layak menjalani proses peradilan.
Lalu, apa gerangan penyakit Soeharto yang paling mutakhir kali ini? "Pak Harto terkena perdarahan pada saluran pencernaan bagian bawah," kata Dr. Azis Rani, ahli penyakit dalam yang menjadi juru bicara tim dokter yang menangani Soeharto. Istilah medisnya adalah divertikulosis kolon. Penyakit ini ditandai dengan adanya benjolan usus yang rapuh dan setiap saat bisa meledak, meradang, dan mengeluarkan darah.
Sebetulnya, bukan sekali ini saja divertikulosis menggempur pertahanan Soeharto. Dua tahun lalu, tim dokter Cendana yang diketuai Dr. Teguh A.S. Ranakusuma mendeteksi adanya penyakit yang sama. Perdarahan saluran pencernaan yang terjadi pada saat itu bahkan lebih parah ketimbang yang terakhir. Toh, Soeharto masih bertahan.
Ketika divertikulosis berulah lagi, situasi yang menimpa Soeharto terlihat lebih parah. Perdarahan yang kali ini terjadi membuat kadar hemoglobin (Hb) Soeharto turun sampai 6,4 juta per liter darah. Padahal normalnya kadar Hb di atas 10 juta per liter darah. Untuk itu, Soeharto beberapa kali menjalani transfusi darah selama sepuluh hari dirawat inap di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Divertikulosis kolon disebutkan pertama kali oleh ahli patologi asal Prancis, Jean Cruveilhier, pada pertengahan abad ke-19. Penyakit ini cukup lama dianggap sebagai gangguan khas pencernaan penduduk negara maju. Anggapan ini muncul karena kebanyakan kasus memang muncul di kawasan Eropa dan Amerika.
Para ahli menduga, perubahan pola makan orang Barat adalah biang keladi utama. Betapa tidak, kala itu orang Barat ramai-ramai beralih dari makan roti rumahan (home-made) yang kasar dan banyak serat ke roti "pabrikan" yang lebih halus tetapi miskin serat.
Namun, anggapan bahwa divertikulosis cuma monopoli Barat perlahan-lahan terhapus. "Batas negara tak berlaku lagi bagi divertikulosis," kata Prof. Daldiyono Hardjodisastro, Kepala Sub-Bagian Gastroenterologi (ilmu pencernaan) dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Pergeseran ini terjadi karena dunia ketiga pun ikut-ikutan latah menganut pola makan ala Barat yang kaya daging-lemak-mentega-gula.
Indonesia? Setali tiga uang. "Pola makan kita kan juga kebarat-baratan," kata Daldiyono. Divertikulosis termasuk jenis penyakit yang belakangan kian luas di negeri ini. Sejauh ini, lima persen dari penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa diperkirakan mengidap divertikulosis.
Selain soal pola makan, ada lagi kondisi yang juga memicu divertikulosis. Normalnya, usus kita memiliki tiga lapisan: selaput mukosa (lapisan dalam), otot (lapisan tengah, yang paling tebal), dan selaput serosa (lapisan luar). Pada kasus divertikulosis, terjadi kelainan hingga usus tidak dilengkapi dengan lapisan otot. Akibatnya, dinding usus sangat tipis, lemah, dan rapuh. Titik yang paling lemah biasanya terdapat pada lokasi usus yang banyak ditempati pembuluh darah.
Tentu saja, otot usus yang rapuh kelabakan jika diharuskan bekerja keras. Makanan yang kurang serat, dalam hal ini, mengakibatkan tekanan pada usus meningkat. Dinding usus yang tipis pun menggelembung hingga tercipta benjolan ke luar. Jendolan mirip buah tomat inilah yang disebut divertikel (diverticula)?jamaknya disebut divertikulosis. Ukurannya bervariasi dari dua sampai tiga sentimeter. Pada kasus divertikel raksasa, garis tengahnya bahkan sampai 15 sentimeter.
Persoalannya, tidak gampang mendeteksi usus yang penuh benjolan. Divertikulosis, sepanjang tidak ada komplikasi apa pun, tidak menunjukkan gejala yang cukup berarti. Gejala baru muncul ketika tonjolan usus meradang atau berdarah. Itu pun gejalanya tidak khas, mirip gejala puluhan penyakit lainnya, yakni sakit perut, diare, atau demam tinggi.
Kini, dengan kemajuan teknologi, metode diagnosis sudah lebih maju. Dengan teknologi yang disebut GI (gastrointestinal) Series, rongga usus dialiri cairan yang mengandung logam barium berwarna putih. Selanjutnya, usus yang berisi cairan barium ini dipotret dengan sinar-X sehingga tampaklah segala jenis kelainan usus, termasuk adanya divertikulosis.
Daldiyono melanjutkan, sebenarnya divertikulosis tidak kelewat berbahaya bila tak ada komplikasi. Persoalan terletak pada jumlah tonjolan dan letaknya. Bila benjolan terletak pada usus bagian atas, organ pankreas dan saluran empedu akan mengerut dari ukuran normal. Akibatnya, fungsi pencernaan dan penyaringan racun bisa terganggu.
Lain halnya bila benjolan terletak di bagian bawah usus. Rongga usus jadi menyempit, perjalanan makanan terganggu, dan pasien mengalami kesulitan membuang kotoran. Sampah makanan ini akan membusuk dan mengundang segala macam kuman penyebab penyakit. Usus pun jadi meradang, berdarah, dan berlubang-lubang (perforated).
Sampah makanan di usus ini juga membuat dinding pembuluh darah menebal dan kehilangan kelenturan. Kondisi ini disebut arteriosklerosis. Dengan kondisi ini, jantung berusaha keras memompa darah melalui pipa pembuluh darah yang sudah menyempit lagi kaku. Pasokan darah ke seluruh sel-sel tubuh pun terhambat. Kondisi ini dengan gampang bisa memicu terjadinya serangan jantung dan stroke.
Lalu, adakah terapi yang tepat? Langkah awal, dokter akan membuang sampah kotoran yang menumpuk di usus. Pasien juga diberi antibiotik untuk melawan kuman yang telanjur menggunung di dalam tubuh. Berikutnya, "Operasi jadi satu-satunya pilihan," kata Daldiyono. Usus yang menyempit dipotong dan dibuang, lalu bagian yang sehat disambung kembali, kalau perlu disambung dengan pipa yang disebut trans arterial embolisasi (TAE).
Syukurlah, kasus divertikulosis yang sampai parah tergolong jarang terjadi. "Syaratnya, perbanyak makan buah dan sayuran," ujar Daldiyono. Buah dan sayur inilah yang menjaga usus agar tidak kelewat bekerja keras dan akhirnya jadi ngadat.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo