Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tulah Paspor Nomor 39

Anatomi penyalahgunaan fasilitas dan uang negara untuk sesuatu partai.

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAKYAT yang berdaulat rupanya tak begitu bersimpati pada Partai Daulat Rakyat (PDR). Perolehan suara partai yang mengusung Menteri Koperasi Adi Sasono sebagai calon presiden ini benar-benar jeblok. Sampai pekan lalu, tak satu pun kursi DPR yang berhasil dikantonginya. Selain itu, setelah Golkar, partai ini juga paling deras digugat pasal kecurangan pemilu. Partai yang menjual jargon "ekonomi kerakyatan" ini justru dituduh telah memanfaatkan berbagai fasilitas dan uang negara (terutama perangkat Departemen Koperasi) untuk menangguk suara. Yang paling mencolok adalah kasus di Yogyakarta. Kecurangan itu diutarakan seorang pengurus Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Yogyakarta. Pada 27 Mei silam, PDR "tertangkap tangan" saat menggunakan Kantor Wilayah Koperasi untuk rapat partai. Pelanggaran itu dipergoki langsung tim Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu. Malam itu, pada pukul 20.15, tim mendatangi lokasi. Sebuah pertemuan tengah berlangsung di lantai dua. Terdengar pembicaraan seputar urusan partai. Kepala Kantor Wilayah (Kepala Kanwil) Koperasi Yogya tampak sedang memberi pengarahan serius. Tapi, begitu tahu ada "tamu tak diundang", agenda rapat mendadak berubah 180 derajat. Topik pembicaraan beralih ke soal kredit usaha tani (KUT). Di halaman, beberapa mobil mentereng yang parkir ditempeli logo partai bernomor 39 itu. Kartu calon legislatif (caleg) terlihat menumpuk di dalam salah satu kendaraan mengilap. Di bagian atasnya tertera: "Mohon doa dan dukungan dari caleg Sleman, Dra. Nunik Tasnim Hariani." Tak berapa lama, seorang peserta rapat tergopoh-gopoh pulang. Ia mengendarai mobilnya yang ditempeli stiker Panitia Pemilihan Daerah Kabupaten Bantul. Usut punya usut, namanya Farid Iskak, pengurus PDR Bantul. Berdasarkan temuan itu, Panwas lalu melayangkan surat ke Kanwil Koperasi. Dalam tanggapan yang diberikan, Arif Nur Wahyudi dari kanwil menjelaskan, rapat itu diselenggarakan untuk memberikan pengarahan agar pengurus PDR tidak mengklaim penyaluran KUT. Jawaban ini dicurigai sekadar dalih. Soalnya, saat dikonfrontasi, keterangan Farid terbukti tak benar. Semula, ia mengaku datang sebagai utusan Koperasi Simpan Pinjam Guru dan Karyawan "Kusuma", yang dipimpin Heribowo. Tapi, setelah dicek, Heribowo menyatakan tak pernah mengirim utusan ke pertemuan itu. Berdasarkan itu, Panwas berkesimpulan, pertemuan di gedung pemerintah itu adalah rapat PDR. Kecurangan lain berbau politik uang, lewat penyaluran KUT. Cara ini dilakukan PDR dengan menebar "paspor ekonomi rakyat" dengan embel-embel koperasi peran serta masyarakat (kopermas) dan koperasi peran serta wanita (koperwan). Kartu berwarna kuning gading bersimbol PDR ini konon mujarab untuk memuluskan permohonan kredit. Masa berlakunya sejak Mei 1999 hingga April 2003. Di bagian bawah tertulis, "Pemegang paspor ini berhak memperoleh pelayanan pengembangan sosial ekonomi dari Grup Pusat Peran Serta Masyarakat, khususnya Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi Rakyat." Di baliknya, tertera tanda tangan dan nama: Dra. Nuniek Tasnim Haryani. Sayang, Nuniek amat sulit dimintai konfirmasi. Dari penelusuran TEMPO, Nuniek—ternyata Ketua PDR Yogya—memang berada di balik peredaran paspor itu. Seorang pejabat di Pemda Kota Madya Yogyakarta mengukuhkannya. "Dengan kartu ini, pemohon diberi kemudahan mencairkan dana KUT," katanya. Panut, seorang pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sleman, juga mengaku telah mendapat kucuran kredit sebesar Rp 20 juta per hektare. Ia membenarkan beredarnya penawaran kredit pada warga Sleman yang diembel-embeli PDR. Sebelum pemilu, menurut sumber itu, banyak petani di Godean dan Cangkringan, Sleman, juga telah merasakan "berkah" ini. Menurut dia, di sini tak kurang dari Rp 1,5 miliar telah digelontorkan. Kredit mengucur melalui tangan Letkol (purn.) Buram, yang merupakan caleg PDR. Rupanya, menurut sumber itu, sang caleg punya akses kuat ke Adi Sasono melalui salah seorang anaknya, pejabat teras Departemen Koperasi. Saat dikonfirmasi, istri Buram menjawabnya dengan bantingan telepon. Jaringan kopermas dan koperwan juga dibuat sedemikian rupa hingga bertemali erat dengan kepentingan PDR. Praktek tercela ini terungkap dari pengakuan para pengurus koperasi yang kecewa lantaran cuma menerima janji kosong. Kesaksian Murjiyo, Kepala Dusun Paten, Bantul, misalnya. Koordinator koperwan itu mengaku direkrut Farid. Ia membawahi 50 koperasi, yang masing-masing beranggotakan 100 orang. Sekarang, ia kecele. Kredit sejumlah lima juta per koperasi hingga kini tak kunjung cair. Padahal, menurut janji semula, fulus akan dialirkan dari Mei sampai awal Juni. Kedaulatan rakyat memang tak bisa dibeli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus