Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Berita Tempo Plus

Luntang-lantung di Chao Phraya

Bisnis perikanan Thailand terguncang sejak perburuan kapal ilegal di perairan Indonesia digalakkan. Kapal-kapal itu memilih tiarap.

23 Februari 2015 | 00.00 WIB

Luntang-lantung di Chao Phraya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBERADAAN kapal itu terlihat mencolok di antara kapal-kapal lain yang berlabuh di Sungai Tha Chin, Mahachai, Provinsi Samut Sakhon, Thailand. Selain lebih bongsor, badannya dilapisi baja tebal bercat merah. Tapi hanya segelintir pria terlihat di atasnya. Mengenakan baju mekanik biru, satu orang sibuk mengelas lantai kapal. Percikan apinya terlihat dari atas geladak kapal sepanjang 96 meter itu. Dua pria lain hilir-mudik dari buritan ke anjungan kapal.

Kapal bernama MV ITFA-3 itu sejak akhir Desember tahun lalu memilih menepi ke Mahachai, sekitar satu jam perjalanan darat dari Bangkok. Kapal ini sebelumnya bertahun-tahun berkeliaran di laut Indonesia. Dengan kapasitas 2.340 ton, kapal ini digunakan untuk menampung hasil tangkapan kapal-kapal pencari ikan yang lebih kecil di sekitar Laut Merauke dan Aru.

Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2014, kapal MV ITFA-3 meninggalkan laut Indonesia. Diberlakukan sejak 3 November 2014 hingga 30 April 2015, peraturan ini menjadi acuan bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meneliti kembali izin kapal berukuran besar, terutama kapal bekas Thailand dan Cina, yang selama ini mencari ikan di Indonesia. "Susi membuat bisnis ikan di Thailand kacau," ujar Saneh, kepala mekanik mesin kapal MV ITFA-3, dengan bahasa Indonesia yang hampir fasih karena sudah 20 tahun melaut di negara ini, kepada Tempo, bulan lalu.

Keputusan Menteri Susi lumayan ampuh mengusir kapal-kapal asing yang tidak jelas statusnya. Salah satunya kapal MV ITFA-3 itu. Surat izin kapal MV ITFA-3, kata Saneh, memang bermasalah. Itu sebabnya MV ITFA-3 tidak berani melaut lagi ke Indonesia. "Padahal kondisi mesin kapal dan cold storage untuk membekukan ikan sehat-sehat saja," ujar pria 45 tahun itu.

Sejak kapal-kapal itu menyingkir dari laut Indonesia, pasokan ikan ke pabrik pengolahan di Thailand berkurang drastis. Akibatnya, kata Ketua Asosiasi Perikanan Provinsi Songkhla, Praporn Ekouru, industri perikanan Thailand terguncang. Sepinya bongkar-muat ikan terlihat di banyak pelabuhan. Di Pelabuhan Songkhla, misalnya, hanya terlihat beberapa kapal melakukan bongkar-muat ikan. Padahal pelabuhan itu merupakan salah satu pelabuhan ikan terbesar di Thailand.

Pada Senin empat pekan lalu, Tempo bahkan hanya menemukan satu kapal melakukan bongkar-muat ikan di Pelabuhan Songkhla. Kapal bernama Indonesia, KM Graha Mina 08, itu berbendera Thailand. "Sekarang mencari ikan susah karena tak boleh lagi ke Indonesia," kata Monthe, yang mengaku sebagai pemilik kapal, saat ditemui di Pelabuhan Songkhla.

Ikan yang didapat KM Graha Mina 08 kini paling besar tak lebih besar daripada betis pria dewasa. Kebanyakan ikan tongkol, sotong, dan udang. Meski ada belasan drum berisi ikan di kapalnya, Monthe mengaku tak puas oleh hasil tangkapan anak buahnya. "Ikan di Indonesia lebih banyak dan besar-besar," ujar Monthe dengan bahasa Inggris terbata-bata. Hasil tangkapan hari itu, kata dia, diambil dari laut sekitar Thailand.

Ekouru menjelaskan, ada sekitar 300 kapal milik pengusaha Negeri Gajah Putih yang selama ini melaut ke Indonesia. Ratusan kapal yang kini tiarap di Thailand itu sebelumnya bebas berkeliaran karena kerap mengakali peraturan di Indonesia. Kapal-kapal Thailand itu, misalnya, menyaru menjadi kapal Indonesia dengan menggunakan nama Indonesia di lambungnya. Menurut Ekouru, praktek ini lazim terjadi di Thailand. "Kami mengurus izinnya lewat broker," katanya.

Kapal-kapal bernama Indonesia itu kini mudah ditemukan di dermaga-dermaga Thailand. Selain menemukan KM Graha Mina 08, Tempo mendapati kapal bernama KM Laut Natuna 33 dan Natuna 22 serta satu kapal tak bernama tapi berbendera Indonesia. Kapal-kapal dengan kapasitas pengangkut 200 ton itu tengah bersandar di dermaga kecil di dekat Pelabuhan Songkhla.

Di sepanjang Sungai Chao Phraya, Provinsi Samut Prakan, kapal bernama Indonesia lebih banyak ditemukan. Di antaranya KM Mahatan Arujaya 20 dan Cahaya Laut 7. Berbendera Thailand, kedua kapal ini tengah berlabuh di salah satu dermaga milik penduduk setempat. Posisi keduanya tak jauh dari tempat KM Mabiru 22 dan BKM XIV berlabuh. Keberadaan kapal-kapal itu menarik perhatian karena ukurannya lebih besar. Di dermaga lain, belasan kapal sedang diperbaiki dan dicat ulang.

Sei, penduduk lokal di sana, memastikan kapal-kapal yang sedang diperbaiki itu milik penduduk Thailand. "Semua kapal itu dulu melaut ke Indonesia, tapi sekarang tak bisa lagi karena Menteri Susi," ujar Sei, 47 tahun, dengan bahasa Indonesia putus-putus.

Sei geram terhadap kebijakan Menteri Susi karena, sejak moratorium diberlakukan, kapal yang selama ini mempekerjakannya melempar sauh, tak berani melaut ke Indonesia. Pria yang sudah 20 tahun berprofesi sebagai tekong—semacam mandor anak buah kapal—itu luntang-lantung dari satu dermaga ke dermaga lain, mencari pemilik kapal yang mau memakai jasanya. "Rezeki saya seret gara-gara Susi," katanya.

Kekesalan serupa dirasakan Ileun Chuk, 61 tahun. Ditemui di galangan kapal yang terletak satu kilometer dari kapal MV ITFA-3 bersandar, Chuk mengaku kehilangan penghasilan. Soalnya, kapal Chuk, yang bernama KM Antasena 321, tak bisa melaut sejak dua bulan lalu. Ia sudah menghubungi agen di Jakarta agar kapal berkapasitas 200 ton itu bisa memperoleh izin baru, tapi izin yang dinanti tak kunjung keluar.

Kondisi ini, menurut Chuk, juga dialami banyak kapal lain yang bersandar di Mahachai. Di dekat kapal miliknya, misalnya, tertambat belasan kapal yang tidak lagi leluasa masuk ke perairan Indonesia. Kebanyakan kapal itu terbentur soal perizinan. Itu sebabnya, kata Chuck, sambil menunggu izin keluar, para pemilik kapal menggunakan waktu luangnya untuk memperbaiki kapal.

Akibat ketatnya peraturan izin kapal, Saneh tak berani datang lagi ke Indonesia. Padahal ia sudah membeli kapal kayu yang bisa menampung 200 ton ikan. Kapal yang baru dicat dengan warna putih dan biru itu kini tertambat di sebelah MV ITFA-3. Dengan kapal itu, Saneh ingin menjenguk anaknya yang baru lahir tiga bulan lalu di Makassar. Di layar telepon selulernya, dia menunjukkan foto anak perempuannya. "Saya ingin melihatnya langsung," ujarnya.

Susi mengatakan moratorium berdampak positif bagi industri perikanan Indonesia. "Ini demi menjaga kedaulatan bangsa," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus