Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, misi Susi Pudjiastuti sederhana: ingin menggenjot produksi ikan dalam negeri. Tapi ikhtiar Susi tidak berhenti di situ. Ia juga ingin permintaan terhadap ikan Indonesia melonjak di pasar dunia.
Itu semua, kata Susi, bisa diwujudkan dengan memberantas pencurian ikan yang bertahun-tahun dilakukan negara-negara pesaing di laut Indonesia. "Saya ingin sekali dayung, dua hingga tiga pulau terlampaui."
Kebijakan ini, menurut Susi, cukup ampuh buat memutus mata rantai pasokan ikan ke negara-negara kompetitor yang selama ini mencuri di perairan Indonesia. Tapi ia sadar, niat pemerintah menertibkan izin kapal berukuran besar, terutama kapal eks Thailand dan Cina, penuh rintangan. Perlawanan datang dari pengusaha dalam negeri. "Mereka inilah yang melakukan pencurian ikan," kata Susi saat ditemui di rumah dinas di kompleks menteri Widya Chandra, Jakarta Selatan, Jumat dua pekan lalu.
Banyak kapal asing lolos bila menyetor sejumlah uang. Kenapa ini masih terjadi?
Itu modus zaman dulu. Apakah mereka berani setelah saya jadi menteri? Perintah saya jelas: tangkap kapalnya, lalu tenggelamkan atau sita buat negara. Tidak boleh lagi ada pemerasan. Kalau ada permainan di bawah, akan saya sikat.
Sejak moratorium diberlakukan, siapa pengusaha yang sudah menyatakan komitmennya?
Yang mengaku punya kapal eks asing cuma Tomy Winata. Surat-surat yang dia miliki jelas. Meski, kalau ditelusuri lebih jauh, Tomy juga cuma berkongsi dengan perusahaan Cina. Tapi setidaknya jelas. Sedangkan pengusaha lain tidak jelas status kapalnya dan tidak bisa dipegang ucapannya. Termasuk Tex Suryawijaya. Ia belagu karena merasa orang kuat.
Kenapa banyak yang tidak mau berterus terang?
Industri perikanan itu misterius. Banyak pengusaha yang tidak jelas, dan mereka bekerja seperti organisasi kriminal. Coba Anda tanya anak buah kapalnya, siapa bos mereka. Pasti jawabannya tidak tahu. Seolah-olah putus begitu saja. Tex Suryawijaya, misalnya, tidak mau mengaku bahwa Pusaka Benjina itu perusahaan dia. Sedangkan perusahaan Husni Manggabarani itu cuma broker yang mengambil fee.
Apa langkah selanjutnya setelah moratorium selesai?
Saya tidak mau melihat kapal eks asing beroperasi di laut Indonesia. Saya minta pengusaha-pengusaha itu memulangkan kapal tersebut. Saya sudah bilang ke mereka, jangan harap kapal-kapal ini masih bisa beroperasi setelah moratorium selesai. Kalau tidak pulang, akan saya sikat dan sita karena semuanya bermasalah.
Bagaimana bila perusahaan yang selama ini menjadi "induk semang" kapal tersebut memprotes?
Apa buktinya kalau kapal-kapal ini milik mereka? Kalau kapal itu milik pengusaha Indonesia, kenapa pemerintah Thailand dan Cina repot ingin menemui saya? Tapi, kalau para pengusaha itu ngotot, akan saya sita kapalnya.
Siapa saja yang sudah bersedia memulangkan kapal tersebut?
Salah satunya Tomy Winata. Dia mau pecah kongsi dengan mitranya di Cina dan akan mengembalikan kapal-kapal tersebut ke Cina. Yorrys Raweyai juga sudah bersedia melakukan hal yang sama. Pengusaha lain tidak jelas komitmennya.
Kenapa tidak dipakai untuk mengembangkan industri perikanan dalam negeri?
Kapal-kapal ini terlalu besar dan tidak bisa dipakai untuk menangkap ikan yang berkelanjutan. Di negara asalnya, kapal-kapal ini sudah tidak boleh beroperasi dan seharusnya dihancurkan menjadi besi tua. Di Jepang dan Cina, misalnya, hanya kapal kecil yang boleh beroperasi. Kapal besar mereka dipakai untuk mencuri ikan di negeri orang.
Seperti apa konkretnya kebijakan ke depan?
Hanya kapal kecil yang boleh beroperasi di Indonesia. Dikendalikan oleh perusahaan Indonesia, dengan kapal Indonesia, dan penangkapan dilakukan oleh orang Indonesia. Perusahaan asing silakan berinvestasi, tapi hanya di pengolahan dan pemasaran. Masak, nelayan harus mengimpor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo