Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAWASAN kumuh di tepi Teluk Tawau itu dikenal dengan sebutan Ice Box karena dulu di sana berdiri pabrik es batu. Nama sebenarnya Kampung Titingan, yang merupakan bagian dari wilayah Sabah, Malaysia.
"Di sini tempat transit narkotik sebelum didistribusikan ke tempat lain, termasuk Indonesia," kata Fauzi Mutalib, polisi di Pondok Polis Titingan, Rabu empat pekan lalu.
Jembatan kayu setinggi satu setengah meter, panjang, dan bercabang-cabang menghubungkan 14 blok rumah panggung di Ice Box. Jalan tanpa pagar pengaman di kiri-kanannya itu berderak setiap kali dipijak.
Warga Ice Box umumnya pendatang. Sekitar 40 ribu orang merupakan penduduk resmi, 20 ribuan lainnya tak beridentitas. Selain penduduk lokal, ada warga Indonesia, Filipina, Cina, dan India. Polisi Titingan memperkirakan setiap tiga dari 40 warga Ice Box berhubungan dengan narkotik, entah sebagai bandar, pengecer, kurir, entah pengguna.
Warga Ice Box amat tertutup terhadap orang asing dan polisi. Mereka selalu menatap tajam setiap pendatang yang menapaki titian kayu. "Cari siapa? Mau apa?" ujar dua lelaki di depan rumah panggung ketika Tempo mengunjungi kampung itu, Rabu empat pekan lalu. Mereka terus mengawasi dan membuntuti.
Polisi pun tak mudah masuk terlalu jauh ke dalam kampung. "Mereka sangat antipolisi. Baru menginjak jembatan, penduduk langsung tahu," kata Fauzi.
Pekan sebelumnya, satu mobil patroli polisi yang memasuki kawasan itu dilempari batu. Jembatan kayu yang lebarnya tak sampai satu meter menyulitkan polisi bergerak cepat. Sejumlah ruas bahkan kurang dari setengah meter dan kayunya lapuk. Salah langkah bisa jatuh ke laut, yang ketika airnya surut dipenuhi tumpukan sampah, beling, kotoran manusia, hingga kayu puing fondasi rumah.
Menurut seorang warga lokal, para bandar menempatkan mata-mata di pinggir jalan utama dan gang-gang permukiman. Para "menara"—sebutan untuk pengintai—bakal melapor jika ada orang asing atau polisi. "Mereka tahu mana warga lokal, pembeli, atau polisi," katanya.
Populer dengan istilah "batu" sabu-sabu paling banyak diperjualbelikan di Ice box. Selain itu, ada ekstasi dan ganja asal Filipina dan Thailand.
Penjual dan pembeli di Ice Box menentukan tempat transaksi melalui koordinat yang dikirim via telepon seluler. "Itu sebabnya," kata Fauzi, "polisi kesulitan mengenali rumah penjual." Kalaupun polisi berhasil masuk lebih dalam, pemilik narkotik tinggal membuang barang tersebut ke luar rumah. Dalam sekejap, air laut menghilangkan bukti.
Menurut cerita warga setempat, transaksi juga sering terjadi di tengah laut. Biasanya dengan pembeli seberang, terutama dari Pulau Sebatik dan Nunukan. Jual-beli di tengah laut kebanyakan berlangsung malam hari. Itu perkara mudah karena kebanyakan penduduk Ice Box memiliki kapal kayu, bahkan speedboat, yang bisa parkir di "halaman" rumah masing-masing.
Sekitar lima kilometer dari situ, ada Kampung Batu Empat. Dusun ini "sebelas-dua belas" dengan Ice Box, rumah-rumah berimpitan dengan jembatan kayu sebagai jalan utama. Menurut Adi, 27 tahun, penduduk sekitar Batu Empat, di sana narkotik bebas dijual. "Sewaktu saya mengunjungi saudara, penjual dan pembeli bertransaksi di depan mata saya," ujarnya.
Dalam perjalanan pulang dari Ice Box, Tempo sejenak memutari kawasan Batu Empat. Seorang pemuda tampak asyik menghirup lem—yang efeknya serupa dengan narkotik—di sudut jalan kampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo