Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengembalikan La Bamba kepada Frengky

Metode lesi mampu memulihkan penderita parkinson, meski belum 100 persen. Pasien dioperasi dalam keadaan sadar dan tanpa ditanami alat apa pun.

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Frengky Manulang, 43 tahun, pernah memasrahkan upaya penyembuhan penyakit parkinson yang dideritanya hingga ke Cina. Pada 2014, ia mendarat di Negeri Tirai Bambu tersebut, berobat selama 10 hari, lalu merasa cukup baik. "Tapi, setelah itu, saya merasakan kok tidak ada perkembangan," kata warga Medan ini, pekan lalu.

Frengky menderita parkinson sejak lima tahun lalu pada bagian tubuh sebelah kiri. Tangan dan kakinya kaku serta sulit digerakkan karena merasa lemas. "Rasanya seperti kena stroke," ucapnya. Selain menderita secara fisik, dia begitu bersedih karena penyakit itu membuatnya tak bisa lagi menyalurkan hobi: menyanyi dan bermain gitar.

Tapi itu semua sudah menjadi cerita lalu. Frengky kini telah mulai pulih. Dokter penyembuhnya bukan dari Cina, melainkan dari Surabaya. Dokter muda itu bernama dr Ahmad Fahmi Ba'abud, SpBS, yang menangani penyakitnya melalui teknik stereotactic brain lesion.

Ini adalah sebuah operasi yang dilakukan dengan pasien dalam keadaan sadar. Dokter melakukan tindakan pada bagian otak yang mengalami hiperaktivitas lewat sebuah jarum elektroda berukuran 1 milimeter. Frengky naik ke meja operasi pada 15 Maret 2015 di National Hospital, Surabaya, dan kini ia bisa tersenyum lega.

Metode ini cukup istimewa dan Fahmi adalah dokter Indonesia pertama yang mampu melakukan operasi lesi. Konon dokter bedah Singapura belum mampu melakukan metode ini. Belajar teknik lesi pada 2012 di Jepang, Fahmi mulai menerapkan ilmunya pada 3 April 2013. "Saat itu saya menggunakan alat stereotactic pinjaman dari Jerman," ujarnya.

Fahmi menguraikan, gejala parkinson mirip tremor, tapi lebih kompleks. Gejala-gejala lain yang mengikuti dalam kasus parkinson adalah lambat bergerak dan badan rigid (kaku). Namun, jika bergerak, tremor berhenti. Parkinson biasanya menyebabkan muka perot (masking face) dan sulit bicara. "Jika sudah usia lanjut, gejalanya seperti demensia," katanya. Hingga saat ini, dunia kedokteran belum berhasil mengungkap penyebab utama penyakit parkinson.

Parkinson terjadi ketika substantia nigra mengalami kerusakan. Substantia nigra berwarna gelap itu berisi banyak neuron yang memproduksi dopamine. Kerusakan tersebut menyebabkan produksi dopamine berkurang sehingga memicu ketidakstabilan neurotransmitter. Akibatnya, ada bagian otak lain yang mengalami hiperaktivitas. "Teknik operasi stereotactic bertujuan mengurangi hiperaktivitas itu," ujar Fahmi.

Bagaimana caranya? Pada bagian yang bermasalah itu dilakukan stimulan dengan mengalirkan panas dari ujung elektroda berukuran 1 milimeter. Untuk memasukkan elektroda ini, tulang tengkorak dilubangi dengan diameter sebesar 1 sentimeter. Lalu alat bernama stereotactic dimasukkan. Karena dilapisi isolator, panas untuk menstimulasi otak hanya terdapat pada ujungnya.

Selama proses ini, pasien dalam keadaan sadar (awake surgery atau operasi dengan kesadaran penuh pasien). Sebelum melakukan lesioning (proses membuat lesi atau pembakaran), dokter mengukur suhu ideal aliran panas listrik dari elektroda. Setelah alat dimasukkan, dokter akan melakukan trial lesion lebih dulu. Biasanya dilakukan pada suhu 45 derajat Celsius. "Jika hasilnya baik, dilanjutkan lesi permanen dengan suhu 70-80 derajat Celsius," kata Fahmi. Dalam tahap ini, hiperaktivitas bisa berkurang. Gerakan jadi tidak kaku dan tidak lambat lagi.

Ada dua teknik stereotactic brain lesion, yakni thalamotomy dan pallidotomy. Keduanya menyasar dua lokasi, yakni thalamus dan globus pallidus internum. Operasi pada thalamus paling baik dilakukan untuk mengatasi tremor. "Sedangkan guna mengurangi kekakuan dan kelambatan pada penderita parkinson ataupun distonia, dilakukan pada globus pallidus internum," ucap Fahmi.

Sebelum menjalani lesioning, pasien akan diperiksa dengan magnetic resonance imaging (MRI) atau pencitraan resonansi magnetik pada bagian kepala. Gambar-gambar hasil MRI itu digabungkan dengan hasil pemeriksaan CT scan, lalu dimasukkan ke software perencanaan operasi pembedahan (surgical planning). "Nanti akan keluar koordinat X, Y, Z yang menunjukkan secara tepat posisi titik lesioning. Koordinat-koordinat itu lalu diaplikasikan ke alat stereotactic," Fahmi menjelaskan.

Meski metode ini didukung alat-alat canggih, tetap dibutuhkan keterampilan dokter dalam melakukan lesi. Menurut Fahmi, pada saat operasi, dokter bedah harus mampu memperkirakan apakah lesi sudah cukup aman atau tidak. Secara teori, proses lesioning idealnya kurang-lebih selama 30 detik. "Sebab, kalau terlalu lama, bisa terjadi perdarahan. Kalau kurang, tidak berdampak apa-apa."

Untuk itu, stereotactic brain lesion tak bisa langsung dilakukan pada dua titik sekaligus kekakuan (spastisitas) alias harus unilateral (satu per satu). Jarak waktu antara operasi brain lesion pertama dan operasi berikutnya minimal enam bulan.

Sebenarnya teknik bedah stereotactic ada sejak 1950-an. Stereotactic digunakan baik untuk proses diagnosis maupun terapi. "(Kini) ditopang peralatan pencitraan diagnostik canggih, seperti angiography, CT scan, dan MRI secara komputerisasi, angka kesalahan bisa ditekan hingga 1 milimeter saja," ujar profesor neosurgery yang mengajar di Universitas Airlangga, Abdul Hafid Bajamal, MD, PhD.

Perkembangan ilmu kedokteran bedah saraf, kata Hafid, memang pesat. Alat-alat baru, termasuk stereotactic, meniscayakan temuan penyakit yang lebih banyak dan lebih dini diketahui. "Ini mendorong munculnya teknik bedah minimalis," ucap alumnus Radbound University Nijmegen, Belanda, itu. Dengan teknik yang teliti dan tepat serta pembuatan lubang yang lebih kecil, risiko kerusakan bisa ditekan sekecil mungkin.

Hafid menyambut baik teknik tersebut kini diterapkan untuk mengobati parkinson. Dia menekankan, seorang dokter bedah saraf memang dituntut terus memperbarui ilmunya.

Fahmi mengungkapkan keunggulan teknik bedah lesi adalah tak ada alat yang ditanamkan di tubuh pasien. Bandingkan dengan metode deep brain stimulation (DBS), yang mesti menanamkan elektroda ke dalam otak. Maka dalam metode lesi juga tak ada risiko iritasi terhadap alat dan tidak ada dampak psikologi akibat pemasangan alat DBS.

Selain risiko infeksinya kecil, tingkat keberhasilannya tinggi, yakni 80-90 persen pada pasien tremor. Prosedur pembedahan di meja operasi relatif cepat, berkisar 1-1,5 jam.

Meski memiliki serenceng keunggulan tersebut, Fahmi mengaku tak menyarankan semua penderita parkinson melakukan lesi. Kata dia, parkinson dan tremor tak sampai mengancam jiwa dan hanya mengganggu kualitas hidup. Jika ditangani lebih awal, pasien masih bisa memperbaiki kualitas hidupnya. "Jika kelainan itu benar-benar mengganggu pekerjaannya, baru saya melakukan operasi stereotactic."

Fahmi yakin metode ini cukup menjanjikan. Selain karena tingkat keberhasilan yang tinggi, biayanya lebih murah ketimbang DBS. Ongkos operasi lesi mencapai sekitar Rp 90 juta, sedangkan DBS bisa Rp 350 juta. "Ini cocok bagi negara berkembang seperti kita."

Apa yang dialami Frengky sekarang setidaknya membenarkan klaim Fahmi itu. Kini tangan dan kaki Frengky sudah normal. Rasa sakit di kepalanya tak lagi dirasakan dan gangguan tidur pun menghilang. Memang kondisinya belum pulih 100 persen, tapi Frengky bisa berkegiatan seperti biasa lagi. "Masih minum obat, tapi tidak sebanyak yang lalu."

Seolah-olah ingin membuktikan kata-katanya, Frengky segera meraih gitar, memetiknya, dan menyanyikan lagu kesayangannya: La Bamba.

"Para bailar La Bamba. Para bailar La Bamba. Se necessita una poca de gracia. Una poca de gracia. Para mi, para ti, ay arriba, ay arriba...."

Artika Rachmi Farmita (Surabaya)


Pada bagian yang bermasalah itu dilakukan stimulan dengan mengalirkan panas dari ujung elektroda berukuran 1 milimeter. Untuk memasukkan elektroda ini, tulang tengkorak dilubangi dengan diameter sebesar 1 sentimeter. Lalu alat bernama stereotactic dimasukkan. Karena dilapisi isolator, panas untuk menstimulasi otak hanya terdapat pada ujungnya.

1. Pada bagian yang bermasalah itu dilakukan stimulan dengan mengalirkan panas dari ujung elektroda berukuran 1 milimeter.

2. Untuk memasukkan elektroda ini, tulang tengkorak dilubangi dengan diameter sebesar 1 sentimeter.

3. Koordinat X, Y, Z yang menunjukkan secara tepat posisi titik lesioning diaplikasikan ke alat stereotactic.

4. Stereotactic brain lesion menyasar dua lokasi, yakni thalamus dan globus pallidus internum.

5. Karena dilapisi isolator, panas untuk menstimulasi otak hanya terdapat pada ujungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus