Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dana Kenikmatan DPR

Dana aspirasi melanggengkan praktek jual-beli suara. Rawan dikorupsi, duit itu menguntungkan legislator inkumben.

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA saja akal anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk menambah kenikmatan diri sendiri. Yang terbaru adalah usul mereka perihal dana aspirasi. Menurut para legislator, mereka perlu fulus lebih banyak agar optimal melayani konstituen di daerah pemilihan.

Jumlahnya tak tanggung-tanggung: setiap anggota Dewan diusulkan mendapat Rp 20 miliar. Artinya, jika itu disetujui, negara harus menyediakan anggaran baru lebih dari Rp 12 triliun. Di tengah ekonomi yang sedang morat-marit, juga melihat kinerja anggota DPR yang tak memuaskan, usul itu selayaknya ditolak.

Gagasan dana aspirasi sebetulnya bukan barang baru. Lima tahun lalu, usul serupa sudah muncul dari Senayan. Setelah gelombang kritik mengalir, gagasan ini meredup. Sekarang, legislator baru, yang belum setahun bekerja, kembali mengangkat usul itu. Mereka tak malu: sebagai wakil rakyat sebetulnya kerja mereka sama sekali belum banyak.

Sampai Juni ini, Dewan baru menghasilkan dua undang-undang. Itu pun tak sepenuhnya karya mereka, karena berasal dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) warisan pemerintah lama. Begitu pula soal harmonisasi rancangan undang-undang (RUU). Sampai sekarang, belum satu pun komisi di DPR mengajukan harmonisasi RUU ke Badan Legislatif. Padahal ada 37 RUU yang ditargetkan selesai tahun ini. Dengan kinerja itu, meminta tambahan anggaran dalam jumlah besar sungguh tak masuk akal.

Dana aspirasi juga mencederai keadilan dan rawan dikorupsi. Dana aspirasi, jika disetujui, akan dialokasikan untuk tiap anggota Dewan di daerah pemilihannya. Dengan dana ini, anggota Dewan menyerap usul dari konstituen, lalu menyeleksi dan mengabulkan usul itu dalam berbagai bentuk: proyek infrastruktur atau alokasi kegiatan.

Masalahnya, tak ada jaminan pengalokasian itu tak disalahgunakan. Apalagi mekanisme pencairannya belum jelas. Penyimpangan anggaran sangat mungkin terjadi. Walau anggota Dewan menyebutkan pencairan dana akan diawasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, potensi pelanggaran tetap besar. Bagaimana mengawasi sekian banyak pencairan karena setiap anggota Dewan diberi kebebasan memutuskan pengalokasian proyeknya?

Kekacauan administrasi juga sangat mungkin terjadi karena tidak jelas siapa yang harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana—anggota Dewan atau kepala daerah tempat proyek aspirasi dialokasikan. Lebih dari kekacauan administratif, bila dana aspirasi disetujui, yang terjadi adalah kekacauan ketatanegaraan. Dengan menerima dan mengucurkan dana, DPR telah merambah peran eksekutif, yang bertugas menganggarkan ongkos pembangunan sekaligus melaksanakannya.

Dana aspirasi juga menabrak prinsip keadilan. Pemberian dana aspirasi akan menguntungkan anggota Dewan, terutama menjelang pemilihan anggota legislatif. Dengan dana di tangan, anggota DPR bisa "menyenangkan hati"—kalau tak mau disebut menyuap—para calon pemilih. Yang terjadi kemudian adalah maraknya politik uang, jual-beli suara, yang menguntungkan anggota Dewan inkumben. Lebih konyol lagi, jual-beli suara itu dilakukan menggunakan uang negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus