Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas, kabar itu menerbitkan harapan. Selama ini, kata ahli pengobatan tradisional itu, belum ada obat modern yang sanggup menyembuhkan hepatitis B dengan jitu. Yang paling ideal adalah mencegah hepatitis B dengan vaksinasi. Bagi yang telanjur terinfeksi, apa boleh buat, ia harus hidup dengan virus HBV (penyebab hepatitis B).
Virus ini menular melalui transfusi darah, aktivitas seksual, dan pertukaran cairan tubuhantara lain melalui jarum suntik dan pisau cukur. Secara vertikal, hepatitis B juga bisa menurun melalui ibu hamil yang terinfeksi HBV.
Sebenarnya, mayoritas penderita hepatitis Byang bergejala kelelahan amat sangat (fatigue), mual, sering sakit perut, mata kuning, dan urin berwarna kuning gelapbisa sembuh secara alamiah. Secara bertahap, tubuh memproduksi antibodi yang melemahkan virus hepatitis B. Tapi, pada sebagian kecil penderita10-20 persensistem kekebalannya tidak berkembang bagus. Akibatnya, virus terus beraksi dan muncul hepatitis B kronis. Jenis ini dalam jangka sepuluh tahun akan berujung pada kanker hati yang tidak tertolong.
Di dunia, sekitar 2 miliar penduduk terinfeksi virus HBV, dengan tingkat kematian 1 juta-2 juta per tahun. Sementara itu, di Indonesia, penyakit ini diderita hampir separuh (40 persen) penduduk, dengan 30 ribu-60 ribu kematian per tahun.
Nah, tumbuhan meniran, menurut Hembing, bisa menjadi alternatif bagi hepatitis B kronis. Meniran, bernama ilmiah Phyllantus urinaria, ini cukup terkenal dalam khazanah obat tradisional Cina. Ye xia zhuistilah Mandarin untuk menirandigunakan sebagai obat berbagai penyakit, mulai diare sampai epilepsi. Senyawa aktif dalam meniranfilantin dan hipofilantinberfungsi menggelontor racun dalam tubuh. Selain itu, perdu bertinggi satu meter ini juga sanggup memacu kekebalan tubuh. Jadi, "Sangat bagus bagi penderita hepatitis B," kata Hembing.
Ternyata, meniran pun sudah lama jadi perhatian kalangan ilmuwan. Adalah Soeprapto Ma'at, peneliti dari Laboratorium Patologi Klinis Universitas Airlangga, Surabaya, yang meneliti khasiat tumbuhan yang sering dijumpai di daerah lembap berbatu ini. Pada 1991-1993, Soeprapto menganalisis darah mencit, sejenis tikus, yang terinfeksi HBV. Setelah pemberian ekstrak daun meniran, terbukti ada penurunan antigen HbsAg yang diproduksi virus.
Berikutnya, pada 1993-1996, Soeprapto mencobakan ekstrak meniran pada pasien hepatitis B kronis. Hasilnya, 55-60 persen pasien terbebas dari HBV. Namun, karena karakter sistem kekebalan yang khas, Soeprapto mencatat reaksi pasien yang beragam. Sebagian tergolong pemberi respons cepat, yang menunjukkan lenyapnya HbsAg setelah mereka minum ekstrak meniran selama sebulan. Sedangkan sebagian lainnya adalah pemberi respons lambat, yang baru sembuh setelah mengonsumsi meniran selama setahun.
Pada 1998, Soeprapto menawarkan temuannya kepada PT Dexa Medica. Setelah melalui penggodokan lebih lanjut, perusahaan farmasi ini mengemas ekstrak meniran dalam bentuk kapsul. Kemudian, setengah tahun terakhir, Dexa melempar kapsul bermerek Stimuno yang berbahan baku meniran itu ke pasaran. "Reaksi pasar lumayan bagus. Tiap bulan, permintaan bertambah 15 persen," kata Fajar Atmajaya, Manajer Produksi Dexa Medica.
Meski begitu, secara keseluruhan bila dibandingkan dengan obat modern yang mendominasi pasar, respons dunia medis terhadap Stimuno tergolong rendah. Menurut Fajar, hal ini dipicu sikap apriori dokter terhadap segala sesuatu yang bersumber dari obat tradisional. "Dokter lebih percaya pada obat-obatan kimia," kata Fajar.
Menurut Nurul Akbar, ahli penyakit dalam dari Universitas Indonesia, sikap para dokter terhadap Stimuno punya alasan kuat. Sejauh ini, belum ada jurnal ilmiah yang memublikasikan penelitian Soeprapto. Praktis, para dokter tidak bisa mengkaji validitas penelitian meniran. Lagi pula, menurut Nurul Akbar, virus hepatitis menyerang hewan primatamisalnya simpanse dan keradan tidak menyerang hewan mengerat seperti mencit. "Jadi, masih banyak yang harus dipertanyakan dalam penelitian Soeprapto," katanya.
Nurul Akbar juga menyoroti hilangnya antigen HbsAg yang disimpulkan sebagai lenyapnya virus. Zat aktif dalam meniran jelas tidak punya khasiat membunuh virus, sehingga tidak terdeteksinya HbsAg bukan berarti semua virus HBV sudah tewas. Virus HBV masih ada dan tetap memproduksi HbsAg dengan kadar yang lebih sedikit. "Kalau metode pengukurannya lebih canggih, HbsAg pasti terdeteksi," kata Akbar.
Ahmad Hasan, ahli hepatologi dari Universitas Airlangga, juga berpendapat senada. Stimuno, menurut Ahmad, memang tidak populer di kalangan dunia medis. Selama ini para dokter lebih memilih Lamivudine. Obat impor ini juga bersumber dari ekstrak tumbuhan Phyllantussatu famili dengan meniran. Seperti halnya meniran, Lamivudine juga bersifat memacu sistem kekebalan.
Dalam pengobatan hepatitis, obat ini harus dilengkapi dengan obat lain yang bertugas membunuh virus. Tanpa obat pembunuh virus, "Phyllantus tak berdaya menyembuhkan hepatitis B," kata Ahmad. Tentu saja, terapi juga dilengkapi istirahat total plus makanan higienis untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo