Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Pemberontakan di "irian timur"

Pemberontakan di png disebabkan oleh tambang tembaga bougainville. soal royalties yang tidak disepakati. akhirnya polisi turun tangan untuk menegakkan hukum dan ketertiban di sana. (int)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HURU-HARA 3 hari lamanya baru saja menggoncangkan arena politik tetangga sebelah Timur RI, Papua Niugini. Ribuan massa rakyat pulau tembaga Bougainville, 1046 Km jauhnya dari Port Moresby, Senin 26 Januari yang lalu menduduki kantor-kantor pemerintah di sana, membakarnya. Lantas mengobrak-abrik lapangan-lapangan terbang. Seorang Menteri PNG asal Bougainville, Sir Paul Lapun terjebak di rumahnya dekat Bruin. Salah satu basis gerakan "Republik Solomon Utara" yang tidak mau bergabung dengan PNG. Sampai-sampai PM Michael Somare mengancam akan mengirim dua pesawat pengangkut polisi anti huru-hara dari Port Moresby ke Boku, salah satu lapangan terbang dekat Berlin. Namun para pemberontak yang sudah juga nenawan komandan polisi Boku dan wakilnya, tetap tidak mau mengalah. Mereka malah balas mengancam mau membakar tambang tembaga Bougainville Copper Limited di lembah Panguna seharga 500 juta dollar Australia itu. Dan memang, tambang penghasil tembaga, emas & perak itu jugalah yang jadi gara-gara meletusnya pemberontakan massal di pulau paling Timur PNG itu. Kapan? Di mana? Soalnya para pemimpin "Republik Solomon Utara" yang mengambil-oper Pemerintah Propinsi Bougainville yang dibubarkan Pemerintah Pusat 3 bulan silam menuntut supaya royalties tambang raksasa itu diserahkan pada mereka. Jumlahnya sekitar 3,5 juta dollar Australia setahun. Namun Port Moresby menolak, mengingat perundingan dengan gerakan kemerdekaan yang tidak diakui PNG itu pun belum dilangsungkan. Maka para pemberontak pun habis kesabarannya. Mereka bergerak di ibukota Bougainville, Arawa serta di selatan dan utara pulau itu, menyerang semua bangunan pemerintah pusat. Untunglah pemerintah pusat cepat bertindak guna mencegah pertumpahan darah lebih lanjut. Hari Rabu 28 Januari, Somare mengirim pesan pada pemimpin "Republik Solomon Utara", pastor John Momis bahwa dia bersedia menarik kembali pesawat polisi anti-huru-haranya ke Port Moresby. Somare yang selama ini juga selalu mengecohkan para pemberontak Bougainville itu pun menyatakan kesediaannya menyelesaikan pertikaian soal masa depan pulau tembaga itu di meja perundingan. Maka John Momis pun menyerukan pada para pendukungnya supaya menghentikan demonstrasi dan perusakan-perusakan. Namun kapan dan di mana perundingan antara pemerintah pusat dengan para pemimpin pemberontak Bougainville, akan diadakan, belum disiarkan oleh wartawan dan Reuter yang memberitakan insiden itu dari Sydney, Australia. Gas Air Mata Apa yang terjadi di buntut bulan Januari 1976 itu sesungguhnya merupakan babak kedua dari serentetan peristiwa sebelumnya. Setelah memproklamirkan "kemerdekaan" kepulauan Bougainville lepas dari PNG tanggal 1 September yang lalu (15 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan PNG dari Australia), para pemimpin apa yang dinamakan "Republik Solomon Utara" itu tidak menunggu lama-lama. Di bawah kepemimpinan trio John Momis, Leo Hannett dan Alexis Sarei, mereka segera berusaha memobilisir dukungan seluruh rakyat kepulauan Bougainville itu. Memang, 20 ribu penduduk pulau Buka ang juga lazim disebut Bougainville Utara kurang menunjukkan simpati pada para pemberontak itu. Namun di pulau Bougainville sendiri, yang berpenduduk lebih dari 800 ribu dan kaya tembaga itu, dukungan berhasil diperoleh. Penduduk pulau itu, khususnya bekas penghuni lembah Panguna yang diusir dengan popor senapan dan gas air mata oleh tentara Australia dan Papua ketika tambang mau dibuka, memang masih mempunyai segumpal rasa dendam pada pemerintah pusat nun jauh di Port Moresby. Meskipun sebagian ditampung jadi karyawan di tambang kongsi pemerintah PNG dan maskapai swasta Australia Conzinc Rio Tinto itu, yang tidak sedikit andilnya membangun sekolah, rumah sakit, lapangan olahraga dan fasilitas sosial di pulau itu. Bahkan uskup Katolik Roma di pulau itu. Gregory Singai menurut Reuter telah menyatakan dukungannya pada gerakan "Republik Solomon Utara" itu. Gereja Katolik memang cukup berakar di pulau itu. Malah dua di antara tiga pemimpin Bougainville, Dr Alex Sarei dan John Momis, sudah disumpah menjadi pastor. Sarei kemudian kawin dengan seorang wanita Kanada. Sedang Leo Hannett, jurubicara gerakan itu yang pandai memikat massa, adalah seorang jebolan seminari dan juga bekas aktivis Universitas Papua New Guinea di Waigani, Port Moresby. Dialah yang mengancam orang-orang kulit putih untuk segera meninggalkan pulau itu agar tidak menjadi korban kekerasan penduduk. Ancaman ini diterima serius oleh orang Australia yang tadinya jadi Komisaris Propinsi Bougainville, Richard learne, yang angkat kaki 4 hari setelah proklamasi "RSU". 25 Mercedes Tidak cukup sebulan setelah pemberontakan di Arawa itu, pemerintah pusat memberikan reaksi. Sementara Michael Somare sedang bermuhibah ke luar negeri, Pejabat PM Maori Kiki mengumumkan dibubarkannya Pemerintah Propinsi Bougainville di mana Leo Hannett bekerja sebagai perencana. Kemudian seorang dari pulau lain. Benson Gegeyo diangkat untuk mengisi lowongan Komisaris Propinsi. Maka meletuslah huru-hara pertama 20 Oktober lalu, ketika 2000 pendukung kaum separatis berdemonstrasi di Arawa, menduduki kantor Dewan Kota yang juga ditempati oleh Komigaris Propinsi dan Pemerintah Propinsi, dan menuntut perpanjangan mandat Pemerintah Propinsi. Semua pegawai pusat yang bukan putera daerah, mereka tuntut angkat kaki dari sana. Termasuk Benson Gegoyo sendiri. Keesokan harinya, para demonstran sudah bertambah menjadi 4000 orang dan demonstrasi sudah menular sampai ke kota-kota lain. Malah sejumlah buruh tambang asal Bougainville juga mendukung gerakan protes itu. Nah, pada saat itulah para pemberontak mulai menagih seluruh royalties tambang BCL untuk diserahkan pada mereka -- satu usul lama yang sudah diperjuangkan semenjak Leo Hannett dkk belum menyatakan diri keluar dari PNG. Namun yang disetujui hanya sebagian kecil: 1,3 juta dollar Australia. Dilihat dari seluruh pemasukan buat kas Port Moresby dari tambang itu, tuntutan para pemberontak itu tidak terlalu berarti. Sebab menurut laporan tahunan 1974, pemasukan pemerintah PNG dari tambang itu tahun lalu ditaksir mencapai 93,5 juta dollar Australia -- di mana 3,5 juta memang berwujud royalties itu. Namun di balik keengganan Port Moresby itu, tentunya terselip wibawa pemerintah pusat yang tidak diakui oleh salah satu propinsinya itu. Tapi sebaliknya, bagi para pemberontak bukan royalties itulah pangkal perpecahan yang utama. Memang, skandal-skandal keuangan pemerintah pusat yang belum-belum sudah mengorek kas negara untuk membeli 25 mobil Mercedes untuk keperluan para menteri & tamu negara cukup bikin dongkol penduduk pulau penghasil devisa itu. Cukong Asing? Namun di samping itu, secara etnis mereka merasa lebih dekat dengan tetangganya di sebelah selatan -- British Solomon Islands Protectorate (BSIP) ketimbang penduduk daratan PNG. Orang-orang Bougainville yang warna kulitnya hitam redup itu suka mencap penduduk daratan sebagai "kulit merah". Ada dugaan, bahwa John Momis dkk menunggu protektorat Inggeris itu merdeka penuh dalam tahun ini, untuk membentuk satu federasi atau uni. Sementara itu, urusan keuangan untuk menjalankan roda-roda pemerintah darurat itu kelihatannya dapat dipecahkan dari sumbangan penduduk Bougainville sendiri. Hal mana cukup membingungkan para pejabat teras di Port Moresby. Betapa tidak, kalau betul keterangan seorang diplomat PNG pada TEMPO "mereka sudah mendirikan perusahaan penerbangan mereka sendiri dengan 2 pesawat Twin-Otter yang secara teratur terbang antara Rabaul dan Kieta". Ataukah ada 'cukong asing', yang memang berniat menaikkan harga tembaga yang lagi anjlok dengan mengobarkan keruuhan di tambang tembaga itu, sambil mengorbankan kas negara PNG yang $A 200 juta setahun berasal dari sektor pertambangan? Entahlah. Mungkin hal itu masih perlu diselidiki oleh PM Michael Somare. Sekarang ini orang perama Papua Niugini itu masih ribut soal lain. Pada Reuter di Port Moresby minggu lalu dia menuduh para separatis Bougainville itu mengancam nyawa seorang menterinya. Orang itu tak lain dari pada Sir Paul Lapun, Menteri Kesehatan PNG yang masih ditahan oleh para pemberontak di desa kelahiran Lapun dekat Buin bersama sekretarisnya, John Tanaka. "Pada saat ini tinggal orang-orang yang pro-pemerintah (Pusat) saja yang masih melindungi Sir Paul dan sekretarisnya", kata Somare. Situasi ini tidak dapat ditolerir makanya polisi akan bergerak untuk menegakkan kembali hukum dan ketertiban di sana". Satu pernyataan yang bertentangan dengan janjinya semula pada Momis, untuk tidak mengirim polisi anti huruhara ke Bougainville.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus