HURU-HARA 3 hari lamanya baru saja menggoncangkan arena politik
tetangga sebelah Timur RI, Papua Niugini. Ribuan massa rakyat
pulau tembaga Bougainville, 1046 Km jauhnya dari Port Moresby,
Senin 26 Januari yang lalu menduduki kantor-kantor pemerintah
di sana, membakarnya. Lantas mengobrak-abrik lapangan-lapangan
terbang. Seorang Menteri PNG asal Bougainville, Sir Paul Lapun
terjebak di rumahnya dekat Bruin. Salah satu basis gerakan
"Republik Solomon Utara" yang tidak mau bergabung dengan PNG.
Sampai-sampai PM Michael Somare mengancam akan mengirim dua
pesawat pengangkut polisi anti huru-hara dari Port Moresby ke
Boku, salah satu lapangan terbang dekat Berlin. Namun para
pemberontak yang sudah juga nenawan komandan polisi Boku dan
wakilnya, tetap tidak mau mengalah. Mereka malah balas mengancam
mau membakar tambang tembaga Bougainville Copper Limited di
lembah Panguna seharga 500 juta dollar Australia itu. Dan
memang, tambang penghasil tembaga, emas & perak itu jugalah yang
jadi gara-gara meletusnya pemberontakan massal di pulau paling
Timur PNG itu.
Kapan? Di mana?
Soalnya para pemimpin "Republik Solomon Utara" yang
mengambil-oper Pemerintah Propinsi Bougainville yang dibubarkan
Pemerintah Pusat 3 bulan silam menuntut supaya royalties tambang
raksasa itu diserahkan pada mereka. Jumlahnya sekitar 3,5 juta
dollar Australia setahun. Namun Port Moresby menolak, mengingat
perundingan dengan gerakan kemerdekaan yang tidak diakui PNG itu
pun belum dilangsungkan. Maka para pemberontak pun habis
kesabarannya. Mereka bergerak di ibukota Bougainville, Arawa
serta di selatan dan utara pulau itu, menyerang semua bangunan
pemerintah pusat. Untunglah pemerintah pusat cepat bertindak
guna mencegah pertumpahan darah lebih lanjut.
Hari Rabu 28 Januari, Somare mengirim pesan pada pemimpin
"Republik Solomon Utara", pastor John Momis bahwa dia bersedia
menarik kembali pesawat polisi anti-huru-haranya ke Port
Moresby. Somare yang selama ini juga selalu mengecohkan para
pemberontak Bougainville itu pun menyatakan kesediaannya
menyelesaikan pertikaian soal masa depan pulau tembaga itu di
meja perundingan. Maka John Momis pun menyerukan pada para
pendukungnya supaya menghentikan demonstrasi dan
perusakan-perusakan. Namun kapan dan di mana perundingan antara
pemerintah pusat dengan para pemimpin pemberontak Bougainville,
akan diadakan, belum disiarkan oleh wartawan dan Reuter yang
memberitakan insiden itu dari Sydney, Australia.
Gas Air Mata
Apa yang terjadi di buntut bulan Januari 1976 itu sesungguhnya
merupakan babak kedua dari serentetan peristiwa sebelumnya.
Setelah memproklamirkan "kemerdekaan" kepulauan Bougainville
lepas dari PNG tanggal 1 September yang lalu (15 hari sebelum
Proklamasi Kemerdekaan PNG dari Australia), para pemimpin apa
yang dinamakan "Republik Solomon Utara" itu tidak menunggu
lama-lama. Di bawah kepemimpinan trio John Momis, Leo Hannett
dan Alexis Sarei, mereka segera berusaha memobilisir dukungan
seluruh rakyat kepulauan Bougainville itu. Memang, 20 ribu
penduduk pulau Buka ang juga lazim disebut Bougainville Utara
kurang menunjukkan simpati pada para pemberontak itu. Namun di
pulau Bougainville sendiri, yang berpenduduk lebih dari 800
ribu dan kaya tembaga itu, dukungan berhasil diperoleh.
Penduduk pulau itu, khususnya bekas penghuni lembah Panguna yang
diusir dengan popor senapan dan gas air mata oleh tentara
Australia dan Papua ketika tambang mau dibuka, memang masih
mempunyai segumpal rasa dendam pada pemerintah pusat nun jauh di
Port Moresby.
Meskipun sebagian ditampung jadi karyawan di tambang kongsi
pemerintah PNG dan maskapai swasta Australia Conzinc Rio Tinto
itu, yang tidak sedikit andilnya membangun sekolah, rumah
sakit, lapangan olahraga dan fasilitas sosial di pulau itu.
Bahkan uskup Katolik Roma di pulau itu. Gregory Singai menurut
Reuter telah menyatakan dukungannya pada gerakan "Republik
Solomon Utara" itu. Gereja Katolik memang cukup berakar di pulau
itu. Malah dua di antara tiga pemimpin Bougainville, Dr Alex
Sarei dan John Momis, sudah disumpah menjadi pastor. Sarei
kemudian kawin dengan seorang wanita Kanada. Sedang Leo Hannett,
jurubicara gerakan itu yang pandai memikat massa, adalah seorang
jebolan seminari dan juga bekas aktivis Universitas Papua New
Guinea di Waigani, Port Moresby. Dialah yang mengancam
orang-orang kulit putih untuk segera meninggalkan pulau itu agar
tidak menjadi korban kekerasan penduduk. Ancaman ini diterima
serius oleh orang Australia yang tadinya jadi Komisaris Propinsi
Bougainville, Richard learne, yang angkat kaki 4 hari setelah
proklamasi "RSU".
25 Mercedes
Tidak cukup sebulan setelah pemberontakan di Arawa itu,
pemerintah pusat memberikan reaksi. Sementara Michael Somare
sedang bermuhibah ke luar negeri, Pejabat PM Maori Kiki
mengumumkan dibubarkannya Pemerintah Propinsi Bougainville di
mana Leo Hannett bekerja sebagai perencana. Kemudian seorang
dari pulau lain. Benson Gegeyo diangkat untuk mengisi lowongan
Komisaris Propinsi. Maka meletuslah huru-hara pertama 20 Oktober
lalu, ketika 2000 pendukung kaum separatis berdemonstrasi di
Arawa, menduduki kantor Dewan Kota yang juga ditempati oleh
Komigaris Propinsi dan Pemerintah Propinsi, dan menuntut
perpanjangan mandat Pemerintah Propinsi. Semua pegawai pusat
yang bukan putera daerah, mereka tuntut angkat kaki dari sana.
Termasuk Benson Gegoyo sendiri. Keesokan harinya, para
demonstran sudah bertambah menjadi 4000 orang dan demonstrasi
sudah menular sampai ke kota-kota lain. Malah sejumlah buruh
tambang asal Bougainville juga mendukung gerakan protes itu.
Nah, pada saat itulah para pemberontak mulai menagih seluruh
royalties tambang BCL untuk diserahkan pada mereka -- satu usul
lama yang sudah diperjuangkan semenjak Leo Hannett dkk belum
menyatakan diri keluar dari PNG. Namun yang disetujui hanya
sebagian kecil: 1,3 juta dollar Australia.
Dilihat dari seluruh pemasukan buat kas Port Moresby dari
tambang itu, tuntutan para pemberontak itu tidak terlalu
berarti. Sebab menurut laporan tahunan 1974, pemasukan
pemerintah PNG dari tambang itu tahun lalu ditaksir mencapai
93,5 juta dollar Australia -- di mana 3,5 juta memang berwujud
royalties itu. Namun di balik keengganan Port Moresby itu,
tentunya terselip wibawa pemerintah pusat yang tidak diakui oleh
salah satu propinsinya itu. Tapi sebaliknya, bagi para
pemberontak bukan royalties itulah pangkal perpecahan yang
utama. Memang, skandal-skandal keuangan pemerintah pusat yang
belum-belum sudah mengorek kas negara untuk membeli 25 mobil
Mercedes untuk keperluan para menteri & tamu negara cukup bikin
dongkol penduduk pulau penghasil devisa itu.
Cukong Asing?
Namun di samping itu, secara etnis mereka merasa lebih dekat
dengan tetangganya di sebelah selatan -- British Solomon
Islands Protectorate (BSIP) ketimbang penduduk daratan PNG.
Orang-orang Bougainville yang warna kulitnya hitam redup itu
suka mencap penduduk daratan sebagai "kulit merah". Ada dugaan,
bahwa John Momis dkk menunggu protektorat Inggeris itu merdeka
penuh dalam tahun ini, untuk membentuk satu federasi atau uni.
Sementara itu, urusan keuangan untuk menjalankan roda-roda
pemerintah darurat itu kelihatannya dapat dipecahkan dari
sumbangan penduduk Bougainville sendiri. Hal mana cukup
membingungkan para pejabat teras di Port Moresby. Betapa tidak,
kalau betul keterangan seorang diplomat PNG pada TEMPO "mereka
sudah mendirikan perusahaan penerbangan mereka sendiri dengan 2
pesawat Twin-Otter yang secara teratur terbang antara Rabaul
dan Kieta". Ataukah ada 'cukong asing', yang memang berniat
menaikkan harga tembaga yang lagi anjlok dengan mengobarkan
keruuhan di tambang tembaga itu, sambil mengorbankan kas negara
PNG yang $A 200 juta setahun berasal dari sektor pertambangan?
Entahlah. Mungkin hal itu masih perlu diselidiki oleh PM
Michael Somare. Sekarang ini orang perama Papua Niugini itu
masih ribut soal lain. Pada Reuter di Port Moresby minggu lalu
dia menuduh para separatis Bougainville itu mengancam nyawa
seorang menterinya. Orang itu tak lain dari pada Sir Paul Lapun,
Menteri Kesehatan PNG yang masih ditahan oleh para pemberontak
di desa kelahiran Lapun dekat Buin bersama sekretarisnya, John
Tanaka. "Pada saat ini tinggal orang-orang yang pro-pemerintah
(Pusat) saja yang masih melindungi Sir Paul dan sekretarisnya",
kata Somare. Situasi ini tidak dapat ditolerir makanya polisi
akan bergerak untuk menegakkan kembali hukum dan ketertiban di
sana". Satu pernyataan yang bertentangan dengan janjinya semula
pada Momis, untuk tidak mengirim polisi anti huruhara ke
Bougainville.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini