HANYA dua jam selepas Menlu Gromyko tolak landas dari Tokio,
bulan lalu Perdana Menteri Miki dikutip berkata: "Kami akan
meneruskan usaha perampungan perjanjian perdamaian dan
persahabatan itu dengan RRT kendati ada protes dari Uni Soviet".
Menlu Uni Soviet yang siang itu meninggalkan Tokio kembali ke
negerinya, sebenarnya berkunjung ke Jepang dengan tugas utama
mencegah berbaiknya Cina dengan Jepang. Tapi bahkan -- sebelum
tersiarnya pernyataan Miki di depan persatuan para wartawan
asing di Tokio, dunia telah menduga kegagalan usaha Gronyko
tersebut.
Untuk secara langsung mendesak Tokio agar tidak terlibat dalam
perjanjian damai dengan Cina yang memasukkan pasal "menentang
hegemoni dari suatu kekuatan ke tiga di Asia", Moskow tentu saja
punya umpan yang dianggapnya cukup berharga. Maka selain soal
kepulauan Kuril milik Jepang yang sejak perang dunia diduduki
pasukan Soviet yang bisa diharapkan Tokio dari Moskow adalah
berbagai macam kerja sama pertukaran teknologi, kerja sama
ekonomi dan tentu saja perjanjian damai yang mengakhiri suasana
perang dunia di antara dua negara. Tapi sehari sebelum Gromyko
pulang, Menlu Jepang Miyazawa muncul pada sebuah jamuan makan
dengan pernyataan: "Tak tercapai persetujuan mengenai masalah
teritorial dan ini merupakan perintang bagi suatu perjanjian
perdamaian Soviet-Jepang".
Nelayan
Gromyko mencoba untuk tidak mengecewakan Jepang dengan janji
melepaskan 32 nelayan Jepang yang disergap Angkatan Laut Rusia
di laut Utara serta perpanjangan pertukaran kebudayaan
Jepang-Soviet. Tapi soal kepulauan Kuril --terdiri atas 4 pulau:
Habomai, Shikaton, Kunashiri dan Etorofu -- "diperlukan waktu
untuk penyelesaian masalah itu", kata Gromyko. Pihak Jepang yang
tidak kurang diplomatis, ada pula menggunakan kesempatan yang
sama untuk menjelaskan kepada tamunya mengenai pasal
"anti-hegemoni" dalam perjanjian damai Cina-Jepang. "Itu tidak
ditujukan kepada siapa-siapa, dan sesuai pula dengan piagam
PBB", kata Miki.
Terhadap Tokio yang sudah bertekad menandatangani perjanjian
damai dengan Cina, Soviet yang nampaknya juga gagal membujuk
Jepang dengan Siberia yang kaya bahan tambang, akhirnya cuma
bisa berkata setengah mengancam: "Uni Soviet barangkali harus
meninjau sikapnya terhadap Jepang jika perjanjian itu toh
ditandatangani nanti". Mungkin untuk sekedar basa-basi terhadap
tuan rumah atau memang merasa mempunyai bukti, tapi Gromyko
berusaha bersungguh-sungguh ketika berbicara di depan sejumlah
wartawan sebelum ia meninggalkan Tokio. Katanya antara lain:
"Cina telah memaksakan politik anti-Sovietnya terhadap Jepang".
Dan karena itulah maka pembesar Kremlin ini punya alasan untuk
berkesimpulan: "Adalah Peking, bukan kami, yang ingin
menciptakan hegemoni. Cina selalu berusaha menyelubungi niatnya,
tapi toh tidak bisa disembunyikan.
Jalan Damai Maroko
Walhasil, Gromyko pergi dan empat pulau milik Jepang masih tetap
terjajah ketika Okinawa -- yang juga diduduki sekutu selepas
perang -- sudah sejak beberapa tahun silam kembali ke haribaan
ibu pertiwi Jepang. Kegagalan pembicaraan bilateral macam yang
terjadi awal pekan silam itu, bukan pula barang baru bagi Tokio.
Tentu itulah sebabnya maka ide gerak jalan damai Maroko ke
Sahara akhir tahun silam kemudian ada pula dipikirkan oleh
orang-orang Jepang. Setelah lebih seperempat abad mencoba
berbagai cara diplomasi, menjelang penghujung tahun silam,
muncul seruan dari Iwasuke Sanada, kepala penelitian dari
Lembaga Ekonomi Asia. Dalam salah satu tulisannya, Sanada
berseru agar "terhadap Rusia yang mengandalkan tindakannya
terhadap kekerasan sebaiknya dipergunakan juga kekerasan".
Tulisnya pula: "Jepang harus menggunakan kekerasan, terutama
pada penduduk pulau yang terusir serta kaum nelayan yang ditolak
haknya di kawasan yang diduduki Rusia itu". Apa yang disebut
sebagai "kekerasan" oleh Sanada kemudian terbukti tidak lain
dari apa yang telah dipraktekkan di Sahara sana. 'Dan kalau cara
itu dipakai, mediasi internasional akan muncul dan dunia
internasional akan memberi perhatian" tulisnya pula. Cendekiawan
Jepang ini percaya bahwa sekarang inilah waktu yang tepat bagi
negerinya untuk melakukan usaha mengambil kepulauan Kuril
tersebut. "Orang-orang Rusia itu terlibat dalam berbagai
pertikaian perbatasan, maka jika terjadi keributan di utara
sana, dengan segera terjadi pula di berbagai tempat", begitu
jalan pikiran Sanada. Yakin bahwa Moskow betul-betul butuh
bantuan teknik dan kerja sama ekonomi Jepang, Sanada yakin bahwa
"Moskow tidak akan menganggap ringan sikap keras yang akan
diambil oleh Tokio".
Seruan Sanada yang tidak orisinil itu, memang tidak didiamkan
oleh orang-orang Jepang, terutama 16 organisasi yang sejak lama
berjuang bagi kembalinya kepulauan Kuril. Tapi umumnya mereka
pesimis. "Pemerintah Jepang tidak akan mengizinkan kegiatan
seperti di Sahara itu", kata mereka. Dan orang-orang Jepang,
terutama nelayan-nelayan mereka, amat takut mencoba-coba gaya
Maroko itu. Kesasar saja ke dalam perairan yang dikontrol Rusia,
dengan segera dicap mata-mata. Dan tahu sendirilah apa akibatnya
jika seorang oleh pemerintah Komunis sudah diresmikan sebagai
mata-mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini