Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Singapura Mau Itu, Indonesia Mau ...

Menjelang KTT Asean 1976, dibicarakan kerjasama ekonomi, kerjasama menanggulangi subversi komunis & gerakan separatis. singapura mau perdagangan bebas, indonesia usul perjanjian tarif preferensiil.

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA saja yang menonjol menjelang KTT ASEAN di Bali itu? Tempat pertama diduduki oleh saran-saran kerjasama ekonomi -- cita-cita pembentukan ASEAN yang tercantum dalarn Deklarasi Bangkok, 8 Agustus 1967. Menyusul kemudian kerjasama menanggulangi subversi komunis dan gerakan "separatis". Tapi kerja sama ekonomi yang lebih banyak dapat pasaran. Kesepakatan ini, yang tercantum secara tegas dan resmi dalam komunike Marcos-Lee Kuan Yew minggu lalu, memang membuat orang bertanya-tanya: mengapa baru sekarang perpaduan ekonomi itu mau diperjuangkan dengan lebih serius? Jawabnya tercantum pula dalam komunike Marcos-Lee itu: Mereka sepakat bahwa "akselerasi pembangunan ekonomi merupakan jalan keluar utama guna mengatasi problim sosial dan politis di wilayah ini". Mereka juga sepakat, bahwa pembangunan ekonomi itu akan "menolong megurangi ancaman subversi di masing-masing negara dan di wilayah ASEAN". Rumusan yang pendek itu menurut tafsiran harian Singapura Straits Times, menggambarkan keyakinan kedua pemimpin Asia Tenggara itu bahwa kesejahteraan ekonomi merupakan senjata terbaik -- dan mungkin hanya satu-satunya -- untuk menumpas pemberontakan yang timbul di wilavah ini. Tapi di bidang ini juga tengah berlangsung debat pro & kontra konsep wilayah perdagangan bebas (free trade one) yang dijagoi oleh Singapura dan Pilipina. Berdasarkan konsep ini -- yang rada berhasil diterapkan oleh Masyarakat Ekonomi Eropa -- perdagangan intra-ASEAN tidak lagi akan terhalang oleh tembok-tembok tarif yang hanya perlu dipasang menghadapi dunia luar ASEAN. Jadi mobil Toyota bikinan Jepang yang masuk melalui Pilipina hanya perlu sekali membayar bea-masuk pada duane Pilipina, kemudian Toyota itu boleh bebas dilego ke Malaysia atau Indonesia tanpa perlu membayar bea masuk lagi. Sebaliknya mobil Holden bikinan Australia yang dikerek turun dari kapal di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pun cukup sekali bayar bea masuk lantas boleh bebas diperdagangkan ke Singapura, KE bahkan sampai ke Bangkok atau Manila. Harga barang konsumen maupun bahan mentah industri dan bahan pangan buatan ASEAN dengan serta merta akan jadi lebih murah bagi para konsumen yang berdiam di kawasan ini. Ini dapat mendongkrak volume peredaran barang. Konsep tersebut sudah mulai dirintis oleh Singapura & Pilipina secara bilateral. Demonstrasi Petani Memang, pasti ada keuntungan buat setiap anggota ASEAN kalau gagasan itu mau dijalankan. Namun dalam prakteknya, apakah semua fihak bisa sama-sama dipuaskan? Pengalaman menunjukkan, betapa petani anggur di Perancis tidak semuanya rela anggur Italia bebas mengalir ke pasaran Paris, hingga menimbulkan demonstrasi banjir anggur di Perancis. Maka tembok tarif yang selalu dikutuk para pedagang -- yang bebas memborong barang jualannya dari mana saja -- pada saatnya memang didambakan para produsen yang terikat pada satu produk saja atau belum siap berkompetisi. Bukan hanya di bidang pertanian, tapi juga di bidang industri. Kampanye Singapura-Manila itu bagaimana pun mengingatkan, bahwa Indonesia relatif lebih lambat mulai dengan industrialisasinya dibanding ke 4 negara ASEAN lainnya. Itu sebabnya tembok tarif untuk melindungi industri perakitan mobil di sini misalnya, masih lebih tinggi dari pada di Pilipina di mana komponen lokal mobil buatan Manila rupanya sudah lebih tinggi % nya dari pada yang buatan Jakarta. Di samping itu, Indonesia bukannya tidak menyadari bahwa wilayah geografinya yang paling luas di seluruh ASEAN serta penduduknya yang terbanyak merupakan daya pikat juga bagi rekan-rekan ASEAN yang kepingin mengadakan dumping di sini. Masih untung kalau itu barang betul-betul buatan tetangga ASEAN itu, dan termasuk kebutuhan pokok penduduk Indonesia yang belum mencapai swa-sembada di sini. Misalnya beras Siam, yang bisa murah harganya kalau tidak perlu bayar pajak ekspor di Bangkok dan bea masuk di Singapura. Tapi bagaimana dengan produksi maskapai-maskapai multinasional yang dirakit di Bangkok, Singapura atau Manila kemudian dilego liwat pintu Jakarta? Keadaan Indonesia yang luas, sementara industri baru saja mulai berkembang terutama di Jawa, dengan sendirinya juga akan menyulitkan bila gagasan "daerah-perdagangan-bebas" juga dikaitkan dengan kelonggaran ekspor bagi bahan baku dari luar Jawa. Misalnya kopra Minahasa dan Gorontalo, yang bisa-bisa habis tersedot oleh Sabah atau Pilipina untuk digiling di sana jadi minyak kelapa -- kalau tidak diekspor kembali mentah-mentah ke negara ketiga. Jadi terang masalahnya tidak sesederhana seperti ditulis Far Eastern Economic Review (23 Januari). Menurut majalah itu, Indonesia terlalu ketakutan menghadapi gagasan Singapura itu karena akan tambah mempersulit neraca-pembayaran RI -- yang sudah begitu merugi lantaran krisis Pertamina. Indonesia tentu tidak senang dituding sebagai penghalang kemajuan ASEAN. Makanya Presiden Soeharto diam-diam mengutus Menteri Ekuin/ Ketua Bappenas Dr Widjojo Nitisastro menyampaikan kertas kerja Indonesia pada Presiden Marcos di Istana Malacanang sebelum Marcos ke Singapura. Surat serupa juga dibawa Widjojo ke Bangkok. dan langsung diserahkan pada PM Kukrit. Sedang Hussein On, tentunya sudah mendengarnya secara lisan dari Soeharto sendiri, ketika rembukan di Istana Merdeka. Apa isi surat Soeharto itu, ada disentil sedikit oleh Marcos dalam jumpa pers di Hotel Mandarin. Singapura 28 Januari lalu. "Presiden Soeharto telah mengusulkan perjanjian tarif preferensiil (prefencial trade arrangements) yang disusun atas dasar bahan-bahan perdagangan tertentu, dan mungkin ini bisa kita pakai sebagai titik tolak", kata Marcos. Namun sebaliknya pada Indonesia dia juga minta perhatian, bahwa "ada sejumlah produk yang diprodusir oleh beberapa anggota ASEAN sekaligus, yang sangat membutuhkan pertolongan". Walhasil, gagasan Marcos dan saran Soeharto tak mustahil akan masuk ruang sidang Bali Cottage di Denpasar akhir bulan ini. Sementara itu, Marcos juga sudah menyetujui bahwa saran Soeharto agar pangan dan enerji dicantumkan pula dalam agenda KTT nanti. Saran yang satu ini sudah dilontarkan oleh Presiden Soeharto dalam konferensi Menteri-Menteri Perencanaan Ekonomi di Jakarta pertengahan Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus