KAHARUDIN Ongko adalah sebuah konfirmasi: betapa BPPN begitu semrawut mengurus aset negara senilai Rp 600 triliun yang dibebankan ke pundaknya. Tengoklah carut-marut berikut.
Di satu sisi, untuk menambal utangnya ke negara senilai Rp 8,34 triliun, Ongko, sebagai salah satu pemilik Bank Umum Nasional yang dikucuri dana BLBI, berjanji menyerahkan sahamnya di 20 perusahaan. Segitiga Atrium, perusahaan yang mengelola sentra bisnis di Senen, Jakarta, adalah salah satunya. Komitmen ini dia teken pada 18 Desember 1998 lalu melalui MRNIA (Master of Restructuring and Notes Issuance Agreement) alias perjanjian penyelesaian utang dengan jaminan aset hingga jaminan pribadi. Urusan ini di BPPN ditangani Divisi AMI (Aset Manajemen Investasi).
Di sisi lain, sejumlah perusahaan yang telah dijaminkan Ongko itu ternyata juga punya segunung kredit macet di bank pemerintah. Atrium, misalnya, punya kewajiban senilai hampir Rp 418 miliar di Bank Rakyat Indonesia. Soal ini diurus divisi lain, AMK (Aset Manajemen Kredit).
Celakanya, belum lagi AMI tuntas memaksa Ongko melimpahkan jaminannya, AMK telah menjual hak tagih atas utang (cessie) di beberapa perusahaan grup Ongko itu. Juli tahun lalu, melalui Program Penjualan Aset Kredit, aset kredit Atrium, misalnya, dijual (dengan megadiskon) senilai Rp 171,2 miliar ke Japan Asia Investment Corp. (JAIC). Dan hanya seminggu kemudian, perusahaan investasi dari Negeri Sakura itu langsung mengalihkannya lagi ke Boliden Properties Ltd., sebuah perusahaan misterius di British Virgin Islands. Sumber-sumber TEMPO kuat menduga, Boliden tak lain merupakan kuda troya keluarga Ongko untuk menguasai kembali asetnya dengan harga murah.
Celakanya lagi, Atrium bukan satu-satunya yang dilego. Dalam obral itu BPPN juga menjual cessie di PT Sanggraha Dhika, perusahaan Ongko yang lain, juga kepada JAIC.
Lantas, bagaimana nasib kedua perusahaan itu sebagai jaminan Ongko di AMI? Itulah masalahnya. Selang beberapa waktu setelah pengumuman tender, Komite Pengawas BPPN telah mempertanyakan kejanggalan ini. Melalui memonya tanggal 6 September 2002, lembaga yang dipimpin Mar'ie Muhammad itu menilai penjualan tersebut bakal jadi persoalan besar di kemudian hari. "Dengan penjualan kredit tersebut, BPPN, yang akan menjadi pemegang saham, akan berhadapan dengan para kreditor baru," demikian ditulis Komite Pengawas.
Mantan Kepala Grup Restrukturisasi Kredit Divisi AMK BPPN, Andreas Bunanta, juga heran bukan buatan. Sepengalamannya, kata dia, para Ketua BPPN terdahulu telah membuat kebijakan tegas. Isinya: melarang penjualan cessie di perusahaan-perusahaan yang telah atau akan diserahkan debitor ke BPPN. Alasannya sederhana. Seperti pada kasus Atrium, Boliden dapat dengan mudah mengkonversi utang menjadi saham di perusahaan tersebut. "Jadi, ketika BPPN berusaha menguasai Atrium, Ongko sudah tidak punya apa-apa lagi di perusahaan itu," tuturnya.
Toh, berbagai pertanyaan itu dianggap sepi. "Tidak ada yang janggal," kata Deputi Ketua BPPN Bidang AMK, M. Syahrial. Menurut dia, yang dijual pihaknya hanya cessie yang tak terkait dengan grup Ongko.
Baru belakangan Syahrial ikut terkaget-kaget. Rupanya, ini yang lucu, pejabat tinggi BPPN ini tak mafhum bahwa Atrium merupakan salah satu aset yang telah dijaminkan Ongko. "Wah, kalau itu, gua enggak tahu," katanya, kali ini dengan nada kaget. Buru-buru ia menyatakan, kalau begitu, pembeli cessie Atrium tak boleh semaunya mengkonversi tagihan mereka jadi saham, "Itu harus dilakukan melalui rapat umum pemegang saham, dan BPPN harus diikutsertakan."
Tapi, apa mau dikata, nasi telah jadi bubur. Dokumen yang diperoleh investigasi majalah ini menyatakan: sesuai dengan keputusan rapat umum pemegang saham luar biasa pada 12 Desember 2002, 99,9 persen saham Segitiga Atrium telah berpindah ke tangan Boliden. Saham Ongko sendiri, yang semula 60 persen, di atas kertas kini menyusut tinggal 0,06 persen saja.
Dan yang tersisa buat BPPN tinggallah sebuah pepesan kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini