Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-TIBA, taipan Kaharudin Ongko dan istrinya ambruk, jatuh berlutut di atas karpet. Air mata mereka terburai. Sambil menangis sejadi-jadinya, pasangan itu lalu meratap dengan suara parau, "Aduh, aduuh…, tolong kami, Tuhan!" Pendeta Johan Lumoindong sontak ikut berlutut, mendamping umatnya berdoa. "Situasi mereka sulit sekali saat itu," Pendeta Johan mengenang kebaktian yang dipimpinnya di Hotel Red Top, Jakarta, akhir tahun lalu.
Dikisahkan Johan, sejak pertengahan tahun lalu ia kerap diundang berkhotbah dan mendoakan Ongko. Ketika itu bankir gaek ini lagi dililit perkara gawat. Oleh jaksa, sebagai bekas pemilik Bank Umum Nasional (BUN), dia didakwa 16 tahun penjara karena diyakini telah menggelapkan Rp 6,7 triliun dana bantuan bank sentral. Sejak itulah Ongko rajin ikut kebaktian yang digelar Kelapa Gading Blessing—jemaat Kristen pimpinan Johan yang punya banyak penganut beken: keluarga almarhumah Tien Soeharto, pengusaha Ciputra, atau aktor Jeremy Thomas. "Itu bisa dikatakan awal pertobatan Pak Ongko," kata Johan lagi.
Pertobatan? Hanya Ongko dan Tuhan yang tahu. Tapi, yang jelas, seperti banyak konglomerat lainnya, di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ia masih digolongkan salah satu obligor yang tak patuh.
Guna menutup utangnya ke negara, senilai Rp 8,34 triliun, Ongko telah meneken perjanjian untuk menyerahkan 20 perusahaan miliknya. Yang terjadi, setelah sekian lama, baru enam yang diserahkan. Sisanya baru genap dilimpahkan Selasa pekan lalu oleh Irsanto, putra ketiga Ongko, yang kini mengendalikan bisnis keluarga mereka. Itu pun setelah Ketua BPPN Syafruddin Temenggung mengultimatumnya, "Jika sampai awal April ini dia tak juga menyerahkannya, akan diambil tindakan hukum."
Ternyata masih belum beres juga. Menurut Taufik Mappaenre Ma'roef, Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Investasi, pelimpahan aset Ongko masih bermasalah. Surat kuasa untuk menjual belum ikut diserahkan, sebagian lainnya belum dilengkapi persetujuan rapat pemegang saham dan kreditor.
Hal itu tak mengherankan seorang bekas petinggi BPPN. Memang, katanya, selama ini Ongko selalu mencoba berkelit dari kewajiban membayar utang. Salah satu caranya adalah dengan mempailitkan perusahaannya sendiri. Untung, di masa lalu, kata sumber itu, "Upaya itu beberapa kali dapat kami gagalkan." Selain itu, Ongko juga tak kunjung memasukkan perusahaan-perusahaan itu ke perusahaan induk yang dibentuk BPPN, PT Ary Mulia Mustika Abadi, sebagaimana yang telah disepakati.
Yang menyulitkan adalah karena keberadaan Ongko kini malah tak jelas. Sejumlah "orang dalam" di perusahaan Ongko menengarai, ia akan segera melengkapi daftar 33 bankir yang telah buron ke luar negeri. Menurut mereka, tak lama setelah divonis bebas Januari lalu, Ongko yang resminya masih dicekal itu pun telah kabur. Atau, paling tidak, bisa keluar-masuk negeri ini dengan leluasa.
Taufik Ma'roef dari BPPN sendiri mengaku sudah lama tak bertemu muka dengan Ongko. "Tidak tahu ke mana dia sekarang. Kaharudin Ongko terakhir datang ke BPPN tahun 2002 lalu," katanya (lihat Jejak Kabur Sang Taipan).
Alhasil, negara terancam gigit jari. Seorang petinggi BPPN menuturkan, nilai aset yang diserahkan Ongko tak sebanding dengan jumlah utangnya. Beberapa asetnya itu malah telah ia jaminkan ke pihak lain. Dan perkembangan terbaru menyangkut PT Segitiga Atrium—salah satu perusahaan yang dijaminkan Ongko ke negara—lebih gawat lagi. Atrium kini praktis telah sepenuhnya dikuasai pihak lain dan besar kemungkinan tak mungkin lagi dijamah BPPN.
Perusahaan ini adalah pemilik kompleks pertokoan Atrium Plaza dan Hotel Aston yang terletak di kawasan Senen, Jakarta. Semula pemiliknya adalah Ongko (60 persen) bersama kongsi lamanya, pengusaha Sofjan Wanandi (40 persen).
Kisruh ini dimulai dari kredit macet Atrium sebesar Rp 418 miliar di Bank Rakyat Indonesia. Tertohok krisis ekonomi, kewajiban itu diambil alih BPPN. Celakanya, BPPN lalu menjualnya begitu saja pada Juli 2002. Ditawarkan dengan harga dasar Rp 88,7 miliar, aset kredit itu disambar Japan Asia Investment Company (JAIC). Harganya? Cuma Rp 171,2 miliar alias didiskon sekitar 60 persen.
JAIC adalah salah satu perusahaan yang banyak memborong aset konglomerat di BPPN. Selain grup Ongko, perusahaan yang berkantor di gedung Ratu Plaza, Jakarta, itu tercatat pernah membeli aset kredit kelompok Lippo dan Bank Mashill.
Yang menarik, JAIC, yang secara resmi menjadi kreditor Atrium terhitung 1 Oktober 2002, cuma sekelebatan memegang aset ini. Hanya sepekan kemudian, mereka telah menjualnya kembali ke Boliden Properties Limited, sebuah perusahaan yang didirikan atas hukum British Virgin Islands—surga bagi pengusaha mana pun yang ingin merahasiakan struktur kepemilikan perusahaannya.
Boliden langsung menggebrak. Pengacaranya, Lucas, langsung melayangkan somasi, menagih pembayaran utang. Pemilik lama Segitiga Atrium angkat tangan. Tak sanggup membayar tunai, mereka terpaksa menerima skema pengalihan utang dengan saham. Dalam rapat umum pemegang saham luar biasa, 12 Desember 2002, 99,9 persen saham Atrium pun berpindah ke tangan Boliden. Saham Ongko (di atas kertas) menyusut tinggal 0,06 persen. Sedangkan Sofjan tinggal 0,04 persen.
Serentak, Boliden mengganti jajaran direksi dan komisaris. Mereka menempatkan Irawan Kurniadi Tjandra sebagai direktur utama, serta Tarno Alianto dan Veronica Saputra sebagai direktur. Untuk komisaris, Boliden cuma menempatkan satu orang, yaitu Jacksen.
Tapi ternyata masalahnya tak hanya itu. Dua pengusaha papan atas dan dua orang eksekutif di grup Ongko meyakini penguasa Segitiga Atrium sebenarnya masih Ongko juga. "Dialah yang berada di balik Boliden," kata sumber tepercaya itu. Sudah menjadi rahasia umum, lelang aset di BPPN memang telah dijadikan ajang pemilik lama untuk membeli kembali asetnya dengan harga murah—sebuah praktek yang sebenarnya amat terlarang.
Lalu benarkah Ongko yang berada di balik punggung Boliden? Kebenarannya masih harus dibuktikan. Tapi penyelidikan TEMPO mendapati berbagai "kebetulan" yang menarik.
Tanda tanya pertama muncul di seputar keberadaan Boliden. Identitas perusahaan ini misterius. Alamatnya cuma sebuah kotak pos bernomor 71 di Craigmuir Chambers, Road Town, Tortola, British Virgin Islands. Dalam korespondensinya, Lucas menggunakan alamat lain, yaitu di Jalan Des Vouex 8, Kamar 83, 8/F Central, Hong Kong.
Penunjukan Lucas sebagai kuasa hukum Boliden pun bisa membuat orang curiga. Soalnya, entah kebetulan entah tidak, Lucas adalah juga pengacara Kaharudin Ongko dalam persidangan kasus BUN. Dia pun tercatat merupakan penasihat hukum PT KIA Keramik, salah satu anak perusahaan kelompok Ongko.
Selain itu, Lucas dan perusahaan kotak pos semacam Boliden adalah sebuah kombinasi yang menarik. Sekadar mengingatkan, dalam kasus Manulife yang menggegerkan itu, di pengadilan Singapura dan Hong Kong pernah terungkap fakta menarik. Lucas ketika itu menjadi pengacara Suyanto Gondokusumo, lawan Manulife.
Di persidangan, berbagai saksi kunci menerangkan pengacara ini telah membeli Harvest Hero, sebuah "perusahaan tidur" sebangsa Boliden yang juga dibelinya di Hong Kong, untuk memanipulasi penjualan saham Manulife. Harvest dimiliki dua perusahaan di Samoa Barat yang direkturnya menggunakan alamat palsu di sebuah warung mi di bilangan Kelapa Gading, Jakarta. Ketika itu Lucas membantah kesaksian yang menyudutkannya ini.
Tanda-tanda lain meruap dari riwayat para direktur baru Atrium yang ditunjuk Boliden. Usut punya usut, mereka praktis merupakan orang kepercayaan lama keluarga Ongko. Tarno Alianto, misalnya, sudah bertahun-tahun bekerja di PT Ongko Multicorpora. Setelah itu, sudah sejak tahun 1992 ia ditarik ke Segitiga Atrium di bagian keuangan. Begitu pula dengan Veronica Saputra. Ia telah bekerja di Segitiga Atrium sejak 1991. Sang direktur utama yang sekarang, Irawan, apalagi. Ia merupakan sobat kental Irsanto, putra Ongko. "Sampai sekarang manajemen praktis masih dijalankan sepenuhnya oleh orang-orang Ongko," kata sumber TEMPO.
Indikasi serupa, menurut seorang eksekutif perusahaan Ongko, juga tampak dari tempat rapat. Berbagai pertemuan penting direksi baru Atrium justru kerap diadakan di kantor pusat perusahaan Ongko di Pecenongan, Jakarta, bukan di kantor Atrium sendiri.
Hal itu dikukuhkan sejumlah formulir peminjaman kendaraan operasional PT Segitiga Atrium yang didapat investigasi majalah ini. Di situ antara lain tertera, pada 20 November tahun lalu, Tarno Alianto, ketika itu masih kepala akunting Atrium, menggunakan mobil Panther perusahaan dengan tujuan ke Pecenongan. Pada 6 Januari lalu, giliran Veronica menggunakan Panther yang sama, juga dengan tujuan ke Pecenongan. Hal serupa juga ditemukan pada sejumlah formulir lainnya. "Pertanyaannya, ada hubungan apa antara manajemen baru dan keluarga Ongko yang katanya sudah bukan lagi pemilik Atrium?" kata sumber itu sambil tersenyum.
Akal-akalan Ongko yang paling gamblang di BPPN tampak dari sebuah gugatan yang pernah dilayangkan Ongko kepada Sukardi Widjaja, bekas Direktur Utama Segitiga Atrium. Menurut sumber TEMPO dan sejumlah dokumen autentik, sengketa ini bermula dari soal utang Atrium. Waktu itu BPPN mensyaratkan Atrium harus mencicil utang Rp 75 miliar jika tak mau masuk proses litigasi.
Tapi sikap pemilik saham terbelah. Sofjan setuju, tapi Ongko berkeberatan. Ia beralasan toh sudah menyerahkan semua hartanya ke BPPN. Lagipula, kata sumber itu lagi, Ongko hakul yakin urusan itu bisa dibereskan dengan menyetor Rp 4 miliar saja ke kantong pejabat BPPN. Namun Sofjan jalan terus. Ia tetap memerintahkan Sukardi menyetornya. Pembayaran pun dilakukan dalam dua tahap, Rp 50 miliar pada 12 Desember 2000 dan sisanya pada 12 Juni 2002.
Ongko murka. Buntutnya, Sukardi dipecat. Tak hanya itu, pada 26 Juni 2002 Ongko juga menggugat bekas bawahannya itu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tak kepalang tanggung, karena tindakannya melunasi utang ke negara itu, Sukardi ia tuntut membayar ganti rugi Rp 100 miliar. Belakangan, setelah Sukardi menggugat balik, keduanya menempuh jalan damai.
"Dia (Ongko—Red.) memang menyatakan kepada saya bahwa keberatan mencicil utang," kata Sofjan. Tapi ia tak bersedia menjelaskan soal angpao yang disiapkan Ongko itu. "Itu kalian-lah yang investigasi," katanya lagi sambil terbahak. Kepada TEMPO, Sukardi pun membenarkan ihwal gugatan Ongko kepada dirinya.
Sayang, pihak lain yang juga terkait dengan masalah ini tak bersedia memberikan penjelasan. Lucas, pengacara Ongko, tak menanggapi permohonan wawancara dari majalah ini. Veronica, salah satu direktur baru Segitiga Atrium, langsung mengelak ketika ditanya soal Boliden. "Maaf, saya lagi rapat," ujarnya.
Bantahan hanya diperoleh dari Irsanto Ongko. "Saya tidak tahu soal itu," katanya ketika ditanya apa benar keluarganya berada di balik pembelian kembali Segitiga Atrium. Ia juga menyanggah bersangkut paut dengan Boliden. "Bukan, bukan," katanya dengan nada marah. Kaharudin Ongko sendiri tak dapat ditemui. Keberadaannya tak jelas.
Namun, di mana pun ia berada, ada baiknya Ongko menyimak baik-baik imbauan Pendeta Johan Lumoindong berikut ini, "Sebagai hamba Tuhan, Pak Ongko seharusnya berani menghadapi dan menanggung risikonya. Apa pun yang terjadi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo