Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Saya, Aku

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sapardi Djoko Damono*

Ketika pertama kali dibawa sopir kantor yang baru saja diangkat sebagai pegawai negeri, saya sempat kaget ketika anak muda itu menggunakan kata "aku" sebagai kata ganti orang pertama. Saya, tentu saja, berharap dia menyebut dirinya "saya" seperti kalau saya menyebut diri saya sendiri. Waktu itu, saya merasa dia tidak sopan, tidak tahu unggah-ungguh. Namun saya sama sekali tidak menyinggung apa-apa tentang hal itu. Nama anak muda itu nama Jawa, tentu tidak begitu aneh kalau muncul perasaan yang tidak begitu mengenakkan dalam diri saya, seorang pegawai senior yang umurnya dua kali lipat darinya. Untuk meredakan sikap itu, saya mencoba menggunakan kata ganti "aku" juga kalau berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, tapi entah mengapa kata ganti itu malah membuat saya merasa lebih tidak enak lagi, merasa kikuk.

Pengetahuan yang sangat terbatas tentang tata cara berbahasa menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara "saya-aku" dalam bahasa Indonesia dan "kula-aku" dalam bahasa Jawa. Bahasa Indonesia konon tidak mengenal unggah-ungguh, sedangkan kehidupan bermasyarakat orang Jawa sedikit-banyak diatur oleh konsep itu. Pernah saya baca pernyataan yang menyatakan bahwa unggah-ungguh itu memiliki maksud menumbuhkan tata pergaulan yang menggarisbawahi pentingnya sikap rendah hati, dengan cara antara lain menghargai orang lain. Dikatakan juga bahwa unggah-ungguh adalah sistem komunikasi yang tidak hanya berupa bahasa tutur, tapi juga bertingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Kata orang-orang tua di Jawa zaman dulu, tidak usahlah kita meniru sikap Werkudara atau Bima, salah seorang sosok Pandawa Lima yang tidak bisa berbicara krama dan tidak bisa duduk, apalagi menyembah, di hadapan tokoh yang lebih tua atau tinggi pangkatnya.

Di Jawa zaman yang belum lama lampau, membandingkan seseorang dengan Bima bisa bermata dua maknanya: menyindir sekaligus menghargai. Sopir saya itu jelas bukan Bima dan saya sama sekali tidak bermaksud menamai demikian. Ia seorang pemuda Jawa yang mengalami proses urbanisasi, mungkin dari suatu tempat yang agak terpencil—meski berkat teknologi tidak bisa lagi diterima konsep "terpencil" karena inti kehidupan dan kebudayaan, yakni komunikasi, tidak memberi ruang lagi bagi konsep keterpencilan semacam itu. Berkat teknologi pula, republik yang tanpa "saya-aku" yang berpusat di Jakarta meluaskan wilayahnya ke mana-mana tanpa bisa, dan juga tidak perlu, dibendung. Kita boleh, tentu, menjelaskan keadaan itu berdasarkan dua alasan: telah berlangsung proses yang menggembirakan berkaitan dengan tumbuhnya apa yang diyakini sebagai sikap egaliter, atau karena dalam bahasa Indonesia tidak dikenal kategori krama dan ngoko.

Antara lain karena tidak adanya krama-ngoko itulah sering dua orang Jawa memilih berbahasa Indonesia untuk menghindari rasa malu seandainya berbuat keliru berkaitan dengan unggah-ungguh. Itu yang terjadi ketika sopir dan saya tidak menggunakan bahasa ibu kami, tapi memilih bahasa "baru" (bagi orang Jawa, dan juga hampir semua kelompok etnis di negeri ini) yang bernama bahasa Indonesia. Dan, kembali ke masalah yang membuka tulisan ini, karena kebiasaan menggunakan "saya" kalau berkomunikasi, ketika memaksakan memakai "aku" untuk "mengimbangi" sopir itu, saya menjadi kikuk dan merasa dijajah oleh "aku". Saya merasa itu bukan bahasa saya; itu bahasa orang Indonesia. Lho?

Dan saya harus menjadi Indonesia, apa pun makna dan konsekuensinya. Harus memiliki ketabahan dalam republik yang tidak memerlukan unggah-ungguh karena konsep itu sudah menjadi sejarah. Demikiankah yang sebenarnya telah terjadi? Namun apakah ada masyarakat yang bebas dari unggah-ungguh? Jawaban yang pasti adalah bahwa saya ternyata sudah menjadi bagian dari sejarah. Namun benarkah sikap yang tampaknya merendahkan diri itu? Kita periksa agak lebih cermat. Unggah-ungguh ternyata tidak bisa dihapus sepenuhnya. Meskipun bahasa Indonesia tidak mengenal dikotomi krama-ngoko, ada sejumlah kata ganti orang yang "diam-diam" menunjukkan adanya unggah-ungguh. Bukan hanya kata "aku" dan "saya" yang membuktikan itu, melainkan juga kata "ane", "gue", "ikke", dan sebagainya. Yang menjelaskan adanya unggah-ungguh dalam bahasa Indonesia terutama adalah kata ganti orang kedua: "kau", "ente", "kamu", "lu", "sampean", "Anda", "Saudara", "Mas", "Tuan", "Bapak", dan sederet kata lain. Kata "saya" tidak perlu huruf kapital, tapi kata "Saudara" sebagai sapaan mengharuskannya.

Ingat, bahasa Inggris memaksakan penggunaan huruf kapital untuk "I" dan tidak untuk "you". Itu sebabnya ada di antara kita yang mengatakan, "Nah, kita punya unggah-ungguh, orang Inggris tidak." Masalahnya terletak di tempat lain: kalau I ditulis i, huruf itu tidak akan tampak jelas karena terjepit di antara huruf-huruf lain, sedangkan huruf "y" dalam you tidak mengalami nasib yang sama. Jadi bahasa Indonesia ternyata memiliki unggah-ungguh dan tidak bisa digolongkan sebagai bahasa egaliter sepenuhnya. Kalau kita masih juga merasa risi dengan "saya-aku", ya, kita sendirilah yang salah. Lama-kelamaan tentu akan terbiasa juga. l

Guru, penulis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus