Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sampai Kapan Keluarga Cendana Menikmati Pertamina

Walau Soeharto sudah turun panggung, argometer untung keluarga Cendana--dari seratus perusahaan lebih--masih terus bekerja. Sanggupkah Menteri Kuntoro memangkasnya?

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECUALI luasnya, rumah di kawasan bergengsi Jakarta Selatan itu seperti tak punya keistimewaan. Itu jika dilihat dari luar. Begitu sampai di pintu rumah, Anda segera akan tahu "kelas" si pemilik. Setelah melewati satpam, ada resepsionis. Jika Anda sudah ada janji bertemu, baru boleh masuk. Nah, di dalamnya, bayangkan saja rumah mewah di sinetron Indonesia--rumah ini memang pernah dijadikan lokasi syuting sinetron. Garasi yang dipenuhi mobil Mercy dan sejumlah merek mahal. Ruang tamu yang lapang, tangga melingkar ke ruang atas, barang gemerlap impor. Handle pintu, anak kunci, semua didatangkan dari Italia. Lantai marmer juga dari negeri pizza tadi. Sofa, karpet tebal, semua dari mancanegara--yang membuat sepatu Anda, seberapa licin Anda semir, tetap saja tampak kucel. Ketika waktu minum teh tiba, jangan kaget: tea set yang disuguhkan berkilau-kilau, berbalut emas! Peralatan makan juga kemilau kuning emas. Para pelayan berseragam, yang laki-laki berpeci seperti di istana. Inilah "kelas" warga negara yang biasa sarapan di Singapura, makan siang di Hong Kong, dan makan malam di Tokyo. Dan bisik sebuah sumber di Pertamina, pemilik rumah ini masih punya satu-dua rumah lagi di Kebayoran Baru.

Kenyamanan hidup bak baron-baron di Eropa itu milik salah seorang bos Permindo--makelar ekspor-impor minyak Pertamina. Itu jelas lantaran rezeki minyak yang melimpah ruah. Dimiliki oleh Grup Bimantara dan Grup Bakrie, Permindo, yang mulai beroperasi tahun 1983, mendapatkan uang masuk US$ 200 ribu setiap hari dari impor BBM saja. Adapun dari jatah ekspor Permindo yang 150 ribu barel sehari, perusahaan itu ditaksir menangguk US$ 150 ribu sehari. Anggap saja kurs rata-rata Rp 2.500 per US$, itu berarti sehari Permindo bisa menyedot Rp 875 juta. Seminggu Rp 6,1 miliar. Sebulan Rp 183 miliar. Bayangkan saja. Duit sebanyak itu mengalir sejak 1983 sampai 1 Juli 1998 lalu, saat Permindo akhirnya dipangkas oleh pemerintah.

Permindo tak sendirian "menghisap" minyak Pertamina. Di perusahaan minyak negara yang berdiri tahun 1968 itu ditaksir ada lebih dari 159 perusahaan milik anak, cucu, kerabat dekat, dan kroni bekas presiden Soeharto. Sekarang ini satu per satu perusahaan berbau keluarga Soeharto itu dicungkili dari Pertamina. Pekan lalu 10 persen saham Nusamba, perusahaan milik pengusaha Bob Hasan di kilang Rapak dan Ganal di Kalimantan Timur, dilepas. Juga saham anak-anak Soeharto di kilang lepas pantai Kangean, Jawa Timur--walau bisa saja sang pemilik baru juga tak "jauh-jauh" dari grup itu.

Tekad membersihkan Pertamina dan BUMN lain sudah dicanangkan pada Juni 1998 oleh Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan Hartarto. Tapi itu bukan pekerjaan sederhana--selain karena para "penikmat" tentu tak mau melepaskan "sapi perahannya" begitu saja. Buktinya, sejak Juni lalu perusahaan kroni Soeharto yang dipangkas jumlahnya belum genap dalam hitungan jari. Dan sampai hari ini, perusahaan berlambang kuda laut itu masih dinikmati keluarga Cendana--entah sampai kapan.

Bagi Pertamina, cerita KKN bukan barang baru. Tahun 1975, Pertamina diwarisi utang US$ 10,5 miliar oleh Letjen (Purn.) Ibnu Sutowo, pendiri dan direktur utama Pertamina. Padahal, tahun itu penerimaan negara dari minyak hanya US$ 6 miliar dan cadangan devisa RI hanya US$ 400 juta. Negeri nyaris bangkrut. Utang dan dugaan korupsi oleh Ibnu itu tak pernah dibawa ke pengadilan. Ibnu kemudian hanya diberhentikan (1976). Jauh di belakang hari terbongkar kasus simpanan US$ 80 juta milik almarhum Haji Thaher, salah seorang direktur Pertamina pada masa Ibnu, di berbagai bank, misalnya di Tokyo. Harta yang dikuasai Kartika Thaher, istrinya, sebesar US$ 80 juta itu akhirnya digugat Pertamina di pengadilan Singapura dan Pertamina menang.

Tapi semua angka itu masih belum apa-apa dibandingkan dengan "prestasi" kroni Soeharto di Pertamina. Begitu luasnya gurita Cendana di Pertamina, sampai Muhamad Zein, bekas kepala dinas di Divisi Pemasaran Luar Negeri Pertamina yang tahun lalu pensiun, menaksir bahwa nilai dolar AS kasus Ibnu Sutowo dulu hanyalah 10 persen dari bisnis Cendana di Pertamina. Salah satu yang mencolok adalah proyek kilang Balongan, yang diduga digelembungkan sekitar US$ 800 juta (lihat kasus Balongan). Itu baru satu proyek. Bayangkan. Dari enam direktorat di Pertamina, hanya Direktorat Keuangan--yang mengurus teknis administrasi keuangan saja--yang tidak dililit kepentingan bisnis Cendana.

Begitu masuk Direktorat Pemasaran dan Pembekalan, segera diketahui ada monopoli pengadaan sampai distribusi premix. Pemainnya adalah lima besar: Humpuss milik Tommy, Panutan Selaras milik Sigit, Giga Intrax yang sahamnya dimiliki Agus Kartasasmita adik Ginandjar, Sumber Daya Alam yang dimiliki sahabat Bambang Trihatmodjo, serta Elnusa milik Pertamina. Diperkirakan keuntungan bersih premix ini Rp 100 seliter. Dari bisnis premix ini saja para broker itu mengeruk Rp 5 miliar setiap bulan.

Selain premix, proyek pemasangan pipa gas seluruh Jawa juga dikuasai Siti Hardijanti Rukmana. Lantas tender pembangunan depo-depo Pertamina juga dikuasai. Misalnya pembangunan depo di Balaraja, Tangerang, yang bernilai US$ 110 juta. Cucu Soeharto, Ari Sigit, juga kebagian jatah pembangunan depo di Pondokgede, Bekasi, senilai depo di Balaraja tadi. Ada mark-up? Diduga begitu. Sumber TEMPO di Pertamina sangat yakin bahwa perusahaannya mampu membangun depo itu hanya dengan US$ 60 juta. Tapi tak pernah ada upaya membuktikannya.

Rezeki lain diraup Titik Prabowo, istri bekas Pangkostrad Prabowo Subianto. Lewat bendera Daya Tata Mataram (Datam), Titik kebagian jatah menyalurkan 60 persen kebutuhan bahan bakar minyak di seluruh Indonesia.

Jika melongok direktorat perkapalan, di sana juga sarat bisnis Cendana. Sejak tahun 1983, lewat bendera Samudera Petrindo Asia, Bambang Trihatmodjo, Sigit, serta Bob Hasan sudah menguasai 70 persen pengangkutan impor minyak. Tommy Soeharto kebagian jatah besar dalam mengapalkan gas cair atau LNG lewat PT Humpuss Intermoda. Berapa untungnya? Jika produksi LNG dari Bontang dan Arun mencapai 26 juta ton, biaya angkutan diperkirakan mencapai US$ 1,35 miliar atau lebih dari Rp 4 triliun setiap tahun (dengan kurs Rp 3.000 sedolar). Nah, kontrak Humpuss itu baru akan berakhir tahun 2003 nanti.

Ada gula, ada semut. Bisnis pengapalan LNG akhirnya benar-benar "dikeroyok" kroni Soeharto. Bambang Tri ikutan, Siti Hardijanti Rukmana masuk melalui Citra Janesia Persada dan Citra Utama Persada. Tak ketinggalan Sudwikatmono, sang paman, mengibarkan bendera PT Tasikmadu untuk terjun mengapalkan gas. Tak hanya itu, jual beli gas juga ikut ditangani kelompok Tosiba--Tommy-Siti Hardijanti-Bambang Tri.

Di tempat lain, di Divisi Pemasaran Luar Negeri--bagian dari Direktorat Umum--ada dua perusahaan beken: Permindo dan Perta. Permindo adalah perusahaan patungan milik Bimantara dan Bakrie. Sedangkan Perta adalah milik Humpuss, Nusamba-nya Bob Hasan, dan juga yayasan dana pensiun Pertamina. Dua "raksasa" ini telah dipangkas dari Pertamina sejak Juli 1998 lalu.

Yang juga kuat di direktorat umum adalah PT Transjava Gas Pipeline, yang saham mayoritasnya milik Bimantara. Pertamina setiap hari harus membayar jasa US$ 72 sen per satuan gas yang dialirkan dari jaringan pipa itu. Diperkirakan setiap bulan TGP memperoleh US$ 50 juta dan kontrak diteken untuk 20 tahun. Menurut sebuah sumber, proyek pipa ini sesungguhnya didanai oleh pinjaman Bank Dunia. Jadi, Bimantara praktis bermodal nekat. "Inilah kacaunya negeri ini. Masa, untuk menyalurkan gas miliknya sendiri Pertamina harus bayar kepada swasta," ujar seorang sumber. Apa boleh buat, kuasa yang bicara.

Bagaimana nasib Direktorat Pengolahan Pertamina? Juga sudah "dikapling-kapling". Di sini anak-anak bekas orang nomor satu RI itu mendapatkan jatah membangun train (tempat pencairan LNG) bernilai US$ 700-800 juta, salah satunya adalah Balongan yang bermasalah itu.

Selain menggarap kilang minyak, Sigit Harjojudanto dan anaknya, Ari Sigit, juga memasok kebutuhan katalisator--bahan kimia untuk memasak minyak mentah. Kebutuhan katalisator ini cukup besar. Dari kilang di Balongan sampai Dumai setiap hari dibutuhkan 1,1 juta barel sehari. Dari bisnis bahan kimia itu, Sigit untung US$ 0,5 setiap barel. Itu berarti sepanjang 24 jam, Sigit dan anaknya mengantongi untung US$ 55 ribu. Luar biasa.

"Kerajaan" Cendana diketahui menguasai Direktorat Eksplorasi dan Produksi. Mereka "membagi-bagi" sumur minyak. Tommy Soeharto mendapat jatah mengelola sumur minyak di Cepu sejak tahun 1992, berkapasitas 10 ribu barel sehari. Bambang Tri dapat bagian sumur di Pulau Bunyu yang kapasitasnya 20 ribu barel sehari. Mbak Tutut punya bagian di Palembang, hasilnya 15 ribu barel per hari. Sedangkan Sigit mendapat jatah di Cirebon, kapasitasnya 14 ribu barel. Menurut sumber di Pertamina, umumnya kapasitas produksi sumur di dalam kontrak dibuat jauh di bawah kapasitas produksi sebenarnya. Dari "sim salabim" ribuan barel sehari itu, jika harga minyak US$ 10, hitung saja keuntungan yang mereka raup: pasti laksana hujan uang setiap hari. Kok bisa lancar saja? "Mereka menyuap orang dalam Pertamina untuk melancarkan kontrak," kata sumber tadi.

Sejak merambah Pertamina tahun 1983--lewat Permindo--bisnis Cendana membentang luas dari hulu ke hilir. Dari menimba sumur minyak sampai mengecerkan BBM di pompa bensin. Dari pengapalan sampai jual-beli gas. Kata sebuah sumber, putra-putri Soeharto mendapatkan proyek tanpa melalui tender. Kalaupun ada tender, ya, paling-paling untuk menentukan siapa di antara mereka yang "menang". Itu saja. Umumnya, mereka main "tembak langsung" ke Pertamina atau mendatangi Menteri Pertambangan dan Energi dengan membawa pesan dari HS (Haji Soeharto). Lalu pejabat mana yang kuasa menolak?

Dirunut-runut, anak-anak Cendana masuk Pertamina ketika Judo Sumbono duduk di tampuk pimpinan. Tapi bisnis mereka tumbuh subur tatkala Pertamina dipimpin Faisal Abdao'e, direktur utama selama 13 tahun. Pada masa Faisal itu, proyek pengapalan minyak dan gas "berjatuhan" ke (bekas) the first family itu, nyaris tanpa tender.

Tidak adakah yang mencoba menahan anak-anak Cendana? Hampir tak ada. Pada masa Ginandjar, selain anak-anak itu, masuk juga nama pengusaha pribumi seperti keluarga Bakrie dan tentulah keluarga Ginandjar sendiri, misalnya Agus dan Gunarijah Kartasasmita. Tapi umumnya mereka join juga dengan Cendana. Contohnya Permindo, yang mengisap ribuan dolar dalam sehari tadi. Mengapa Permindo? "Saat itu yang memilih bukan Pertamina, tetapi pemerintah yang menentukan," kata Muliana Sukardi, seorang kepala divisi di Pertamina.

Menurut seorang sumber, Menteri Pertambangan Ida Bagus Sudjana, yang menggantikan Ginandjar, ketika menjabat mendapat 18 poin perintah dari Soeharto. Antara lain, ia diberi tugas "menjaga" putra-putri Soeharto. Tapi sumber lain yang dekat dengan Sudjana membantah informasi itu. Malah, katanya, Sudjana memangkas fee atau disebut biaya afiliasi untuk anak-anak itu. Tahun 1995 biaya itu turun dari US$ 30 sen menjadi US$ 20 sen untuk setiap barel minyak yang dipasarkan. Pada akhir kabinet 1998, biaya itu tinggal US$ 5 sen. Dari penurunan fee itu, Pertamina bisa menghemat US$ 17 juta setahun. "Seharusnya Pertamina untung jutaan dolar dari jasa pengapalan, tapi sekarang hanya mendapat US$ 60 ribu setahun," kata sumber ini.

Apa komentar the Cendana boys dan para penikmat Pertamina yang lain? Tak ada jawaban memuaskan. Bambang Trihatmodjo, menurut jubirnya, sudah tak di Bimantara lagi sejak akhir Mei 1998. Tommy tak bersedia diwawancara. Mamiek Soeharto memberikan jawaban tertulis. Titiek tengah di luar negeri. Mbak Tutut sibuk. Hanya Probosutedjo yang bersedia diwawancara agak panjang (lihat boks). Sedangkan Bob Hasan bilang, "Terserah mau ditulis apa." Datuk Aminusal Amin, orang kuat Permindo, berujar, "Saya mau merendah dulu." Faisal Abdao'e, komisaris asuransi Tugu Pratama Indonesia yang juga menangani Pertamina, dengan marah dan gemetar berkata kepada reporter TEMPO, "Pokoknya saya tak mau bicara soal Pertamina. Saya takut salah omong. Sudah, kamu pergi saja..." Upaya menjajal wawancara dengan bekas presiden Soeharto, seusai salat Jumat pekan lalu di Bimantara, juga terbentur penjagaan ketat. Repot.

Boleh jadi, 159 perusahaan di Pertamina itulah yang menyumbang hasil terbesar di antara 1.297 perusahaan keluarga Soeharto--seperti dihitung Michael Backman yang menulis buku soal pengelolaan usaha di Asia. Dihitung-hitung, Pertamina selama ini sudah kehilangan sekitar Rp 98 triliun setahun--jika semua bisnis "orang luar" itu dikerjakan Pertamina sendiri. Menteri Kuntoro sudah bertekad memangkasnya, tapi apakah ia sanggup menyelesaikan kerjanya dengan cepat? (lihat wawancara Menteri Kuntoro).

Pertamina kini tengah berupaya melakukan tender ulang. Tapi sesungguhnya ada solusi lain. Selagi pemerintah bernegosiasi dengan anak-anak Soeharto, hasil minyak bisa dimasukkan ke rekening tunda untuk sementara waktu. Lalu, pengadilan digelar, untuk menguji benarkah mereka korupsi dan melakukan kecurangan dalam tender dan kontrak. Jika keluarga Cendana menang, mereka boleh mengambil uangnya di rekening tunda. Jika kalah, mereka kehilangan hasil penjualan itu, juga sejumlah denda atau bahkan penjara (lihat rubrik Opini). Karena, jika berdebat soal apakah anak-anak Cendana itu korupsi atau tidak, atau apakah Soeharto terbukti memberikan "surat sakti" atau tidak, biasanya birokrasi warisan Orde Baru ini akan berputar-putar. Sedangkan argo untung penumpang "taksi" Pertamina yang tak mau turun-turun itu jalan terus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus