Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wartawan TEMPO untuk bidang minyak pada masa itu, Fikri Jufri, berhasil mengendus adanya utang Pertamina US$ 10,5 miliar menjelang serah-terima Direktur Utama Pertamina dari Ibnu Sutowo ke Piet Haryono, Jumat, 9 Maret 1976. Berita itu kemudian ditulis dalam berbagai laporan selama beberapa pekan antara Mei dan Juni 1976. Adapun di harian Indonesia Raya, Mochtarlah--ketika itu menjabat pemimpin umum--yang pertama kali melahirkan laporan investigasi dari akhir 1969 hingga 1974.
Usaha kedua media itu terbukti tak sia-sia. Paling tidak, jika ingin menengok lagi masa lalu Pertamina, kliping koran yang dibredel pasca-peristiwa Malari 1974 itu mau tak mau menjadi arsip pertama yang harus dibuka. Juga, bundel-bundel TEMPO dari masa 1975 hingga 1992. Semuanya memuat dengan rinci masa jaya dan kejatuhan Ibnu sampai perebutan harta antara Kartika Thaher--janda H. Thaher, bekas orang penting Pertamina--dan pemerintah Indonesia.
Indonesia Raya mengungkapkan betapa Pertamina ibarat sapi gemuk yang habis badan akibat diperah pemimpinnya sendiri. Pemberitaan tersebut sarat dengan kabar korupsi dan diversifikasi usaha yang sama sekali tidak berhubungan dengan kegiatan utama BUMN itu di bidang tambang dan perminyakan. Masyarakat geger, dan Indonesia Raya mulai membayar "ongkos pena" yang begitu berani: semua instansi serta perusahaan pemerintah memboikot iklan di harian ini.
Matikah Indonesia Raya? Sebaliknya. Koran itu tetap sehat-sehat saja. Sikap Mochtar Lubis jelas dari awal: tak akan mundur dalam "perang tanding". Tak mengherankan, dalam edisi 30 Januari 1970, harian ini muncul dengan besaran angka: simpanan pribadi Ibnu Sutowo yang didepositokan, baik di bank-bank asing maupun lokal. Jumlahnya? Rp 90,48 miliar. Sebuah angka yang begitu fantastis pada era 1970--saat itu rakyat masih mengenal dolar Amerika pada kurs 400 rupiah.
Soal uang jasa perantara pembelian dan sewa kapal tanker juga menjadi isu hangat. Mochtar tak lupa mengecam keras kerja sama antara Ibnu Sutowo dan pihak Jepang, yang dianggap merugikan Indonesia. Pasalnya, dalam jual-beli minyak dengan pihak Jepang, pemilik grup konglomerasi Nugra Santana itu menetapkan harga dasar minyak jauh di bawah harga normal. Akibat pembelian minyak lewat jalur kongkalikong Ibnu Sutowo dan konco-konco Jepangnya pada 1967 itu, negara dirugikan sampai US$ 1.554.590,28.
Keberhasilan TEMPO dan Indonesia Raya mengungkap angka-angka pada masa itu boleh dibilang prestasi luar biasa. Maklum, upaya mengakses data-data finansial Pertamina di kala itu hampir seperti menegakkan benang basah. Audit keuangan transparan untuk publik masih menjadi barang langka. Parahnya lagi, DPR juga seperti alergi untuk mengusik Pertamina. Ada konsesi? Entahlah. Yang pasti, Pertamina kerap mendanai berbagai peristiwa nasional dan internasional.
Pertamina bukan tak pernah berusaha membungkam Mochtar Lubis. Ia pernah diiming-imingi sejumlah konsesi minyak. Syaratnya, semua pemberitaan tentang skandal nasional tersebut dihentikan. Eh, alih-alih tergiur, penulis novel Jalan Tak Ada Ujung itu malah menantang Kejaksaan Agung untuk menggunakan data-datanya sebagai bahan penyidikan dan menyeret Ibnu Sutowo beserta semua kroninya ke pengadilan. Taruhannya? Kalau tak terbukti, Mochtar Lubis rela diadili. Sayang, tantangan itu seolah cuma numpang lewat di kuping Soegih Arto, Jaksa Agung ketika itu.
Akan halnya Soeharto, presiden RI saat itu, justru dianggap oleh Indonesia Raya efektif membatasi ruang gerak Pertamina. Ia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Menteri Keuangan 23 Februari 1967, No. 02/KB/M/Pertambangan/1967-D.15.11.39, yang mewajibkan Pertamina menyetor pendapatannya ke rekening valuta asing Departemen Keuangan. Namun, tatkala Soeharto disinyalir terlibat serangkaian kasus korupsi di Pertamina, harian ini kontan berteriak, mengkritik perilaku Kepala Negara. Orang pun berdebar melihat bayang-bayang perceraian yang makin jelas antara Indonesia Raya dan kekuasaan.
Kemudian, terjadilah peristiwa itu. Pada 21 Januari 1974, Indonesia Raya dilarang hidup untuk selama-lamanya karena dianggap terlibat peristiwa Malari dan setumpuk dosa pers yang abstrak. Patah sudah sebuah perjuangan. Namun tulisan tentang korupsi di Pertamina selalu hadir kembali dari masa ke masa, entah di TEMPO--yang juga pernah patah dan tumbuh kembali--atau di media mana pun, yang merasa perlu menulis berbagai kasus penyelewengan yang tak kunjung padam di tubuh perusahaan minyak superkaya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo