Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian dari mereka mengajak Ruswita tinggal bersama. Kata sosok-sosok tersebut, bila ajakan itu dipenuhi, ia dijamin akan terbebas dari sakit. Untuk bisa bergabung dengan mereka, Ruswita harus memiliki sepucuk pistol untuk bunuh diri. Tapi ajakan itu ditolak karena ia tidak memiliki uang untuk membeli pistol. Setelah itu, tiba-tiba Ruswita merasa harus kembali ke dunia. Ia pun siuman. Sejak saat itu, Ruswita mengaku selalu pasrah kepada Tuhan dan ingin mengisi hidup dengan banyak ibadah.
Lebih dekat kepada Tuhan juga dirasakan Prasetya, 45 tahun, setelah ia mengalami peristiwa semacam ituketika selama seminggu dirawat di RS Pondok Indah, Jakarta, pada 1995. Pada hari pertama di rumah sakit, kondisinya kritis: denyut nadi, detak jantung, dan otaknya sudah tak berfungsi. Tapi, kata Prasetya, ia bisa mendengar suster yang memeriksa kondisinya lari terbirit-birit untuk mengabarkan kepada dokter bahwa pasien yang diperiksanya tak menampakkan tanda-tanda kehidupan. Mengaku sadar atas segala yang terjadi, Prasetya berusaha melawan keinginannya untuk tiduragar tak keterusan meninggal.
Ia tak bisa mengajak suster itu bercakap-cakap. Penganut Katolik itu pun berserah diri kepada Tuhan. Namun, ia mencoba berkomunikasi dengan Tuhan, menawar agar ia diberi waktu untuk mengasuh anak semata wayang yang baru saja diperolehnya setelah ia menikah selama sebelas tahun. Di tengah doanya, ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya "bangun". Ia pun terjaga. Nadi, jantung, dan otaknya berfungsi kembali.
Pengalaman mati suri kedua orang itu, meski tak sama, ternyata menimbulkan efek yang sama. Mereka merasa lebih religius. Efek psikologis seperti ini juga dialami banyak orang yang pernah berada di ujung maut. P.M.H. Atwater, doktor dari International College of Spiritual and Psychic Studies, Montreal, Kanada, pernah meriset 3.000 orang dari berbagai negara menyangkut pengalaman mati suri. Pengarang buku Coming Back to Live: The After-effects of the Near-Death Experience (1988) itu menemukan setidaknya ada tujuh elemen pokok yang membentuk pola umum efek psikologis mati suri.
Pola itu, antara lain, mereka yang pernah mati suri akan merasa dirinya sejajar dengan orang lain dan lebih berempati kepada sesama manusia. Selain menjadi lebih sadar pada nilai kekinian sang waktu, mereka menjadi paham bahwa tubuh dan nyawa ibarat jaket bagi sesosok roh. Karena itu, sebagian dari mereka kemudian tertarik pada teori reinkarnasi. "Sebagian dari mereka menjadi lebih memahami fenomena supernatural sebagai anugerah Ilahi," kata Atwater dalam buku The Near-Death Experience: A Reader karya Bailey & Yates, terbitan Routledge, 1996.
Bagi sebagian yang lain, pengalaman mati suri bisa saja mengubah kepribadian mereka menjadi lebih religius dan tak mementingkan kehidupan duniawi. Lebih dari itu, bahkan ada yang kemudian memiliki kemampuan supernatural, misalnya meramal masa depan dan mengobati secara spiritual. Kemampuan itu dimungkinkan untuk tiba-tiba muncul terutama bagi mereka yang memiliki bakat paranormal. "Dari sisi medis, pengalaman mati suri itu merangsang berfungsinya saraf-saraf tertentu dalam otak yang sebelumnya menganggur," kata Dr. Alexander Jacobus Hukom.
Kelik M. Nugroho, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo