Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Suara Rakyat Semahal Rokok Sebungkus

Sejumlah partai kecil menjual suara dengan harga murah ke partai lain. Ada yang membantah tudingan itu. Lainnya berkilah itu sebagai ganti ongkos kampanye.

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUKUNG partai kecil sial dua kali: pertama, ketika partainya kalah; kedua, ketika suaranya pun dijual untuk partai lain. Lego sepihak suara hati rakyat untuk pemilihan umum (pemilu) itu terjadi, paling tidak, di Yogya dan Mataram. Suara yang terkumpul dari bilik pencoblosan itu—amanat yang mesti dijaga untuk masa depan bangsa—ironisnya, dijual murah, hanya seharga Rp 2.000 sampai Rp 5.000 per suara. Jumlah kocek setipis itu hanya bisa dipakai untuk membeli sebungkus rokok. Kabar begitu santer beredar di masyarakat menyangkut praktek jualan suara itu. Siapa pembelinya? Beberapa partai bernama besar dikabarkan ngebet untuk memborongnya, walaupun mereka tak sepenuhnya berhasil. Begitu paling tidak menurut pengakuan Sri Wahyuningsih, S.Pd. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Kebangsaan Merdeka Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengungkapkan bahwa beberapa hari seusai pemungutan suara 7 Juni lalu, sejumlah pengurus cabang PKM di Kabupaten Gunungkidul dan Sleman didatangi tokoh-tokoh dua partai bernama besar. Mereka menyatakan ingin membeli perolehan suara PKM. Tawarannya tidak tinggi, tapi bila dikalikan ratusan suara, jumlahnya bisa lumayan. Sebuah partai mematok harga suara PKM di Kabupaten Gunungkidul Rp 2.000 per suara, sedang partai lain di daerah yang sama memasang harga lebih tinggi, Rp 5.000. Harga suara di Kabupaten Sleman, entah mengapa, ditawar jauh lebih mahal, Rp 50 ribu per suara. Di Magelang, kabarnya, harga itu semakin edan, Rp 2 juta per suara. Tapi semua tawaran yang cukup menggiurkan itu ditolak oleh pengurus PKM. "Wah, kalau kami sampai menjual suara, ya, tidak etis, dong. Sama saja kami melacurkan diri," kata Sri kepada TEMPO. Kabar tidak sedap menyangkut jual-beli suara itu paling santer menimpa Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) di Yogya. Partai milik Jenderal (purn.) Edy Sudrajat itu dikabarkan memakai sebuah pertemuan forum 30 partai politik di sebuah gedung di Kota Budaya itu, pertengahan Juni lalu, untuk menjajaki pembelian suara. Sumber yang sempat menguping acara itu mengatakan, "Kemungkinan mereka akan membeli suara senilai Rp 6 miliar, dengan istilah sebagai pengganti ongkos kampanye." Kabar itu dibantah Yahya Ombara, Ketua DPD PKP Daerah Istimewa Yogyakarta. "Apa untungnya kami membeli suara itu? Toh secara hukum suara itu tidak akan diakui," kata Yahya. Maksudnya, tanpa kesepakatan stembus accord antarpartai sebelum pemilu, pelimpahan suara tidak akan diakui oleh Komisi Pemilihan Umum. Tapi, rencana jual-beli suara yang lebih terbuka terjadi di Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 11 partai di Kota Madya Mataram pernah menandatangani kesepakatan pemberian sisa suara (stembus accord) sehari menjelang pemungutan suara. Mereka adalah PNI Supeni, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Uni Demokrasi Indonesia, Partai Bhineka Tunggal Ika, Partai Indonesia Baru, PNI Massa Marhaen, Partai Nasional Bangsa Indonesia, Partai Nasional Demokrat, Partai Aliansi Demokrat Indonesia, Partai Pekerja Indonesia, dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia. Jumlah perolehan suara di daerah pemilihan Kota Madya Mataram itu tertinggi dipegang oleh PNI Supeni (642 suara), dan terendah oleh Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (95 suara). Pertengahan Juni lalu, mereka sepakat akan memberikan suara ke partai lain dengan harga per suara Rp 2.000. Tapi, menurut mereka, uang seharga sebungkus nasi padang itu sekadar ganti rugi biaya pelaksanaan kampanye. "Itu bukan jual-beli suara. Dan bila ada yang menjualnya lebih dari dua ribu perak, akan saya gugat ke pengadilan," kata seorang tokoh partai yang terlibat kesepakatan itu. Partai yang menyatakan berminat untuk membeli suara tersebut adalah PKP Mataram, yang menduduki posisi ketujuh dengan perolehan 2.070 suara. Dengan memperoleh limpahan suara dari 11 partai itu, PKP ingin memperoleh hak satu kursi di DPRD Kodya Mataram. Untuk menunjukkan keseriusan, M. Amin Ma’ruf, B.B.A., Wakil Ketua PKP Kodya Mataram, menyatakan sanggup memberikan ganti rugi per suara Rp 4.000. "Berpolitik itu harus berekonomi mapan, " kata Ma’ruf. Ya. Tapi jual-beli suara partai itu, seperti kata Drs. H. Abdul Hamid Faesal, Ketua Panitia Pemilihan Daerah Kodya Mataram, "mencoreng demokrasi dan melanggar etika politik."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus