Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cuci Darah Tak Mahal Lagi

ITB berhasil membuat ginjal buatan dan mesin pencucinya. Ginjal buatan itu bila dicuci dengan benar, katanya, bisa awet selama tiga tahun.

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam setiap kesulitan sering tersembunyi sebuah hikmah. Barangkali kalimat bijak itu ada benarnya juga. Lihatlah yang dilakukan para ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Mahalnya biaya cuci darah yang harus dijalani penderita gagal ginjal—dan sebagian penderita tak mampu melakukannya sehingga tak tertolong jiwanya—telah merangsang kreativitas Kelompok Peneliti Biomedik ITB. Mereka berhasil membuat Hemotek, mesin pencuci membran ginjal buatan dengan biaya Rp 10 juta saja. Padahal, mesin pencuci membran buatan luar negeri kini harganya sudah mencapai Rp 100 juta. Selain itu, mereka juga berhasil menciptakan Diatek, ginjal buatan yang juga lebih murah. Dengan begitu, biaya cuci darah (hemodialisis) bisa ditekan hingga Rp 40 ribu plus Rp 10 ribu untuk sekali pencucian membran. Peluncuran perdana prototip dua alat itu dilakukan di Bandung pada Mei lalu. Selama ini, penderita gagal ginjal (terminal) dihadapkan kepada tiga pilihan: cuci darah, pencangkokan ginjal, atau membiarkan saja penyakitnya hingga maut menyudahi penderitaan mereka. Berbeda dengan penderita gagal ginjal akut atau kronis yang dengan 2-3 kali cuci darah masih punya harapan hidup sekitar 10 tahun, penderita gagal ginjal terminal yang tak menjalani cangkok ginjal, sepanjang hidupnya, harus bergantung pada mesin cuci darah. Mesin itulah yang akan menggantikan fungsi ginjal: membersihkan darah dari kotoran dan racun. Rata-rata pasien gagal ginjal menjalani proses cuci darah dua kali dalam seminggu. Ginjal buatan yang beredar di pasaran saat ini harganya sekitar Rp 400-600 ribu. Karena itu, ginjal buatan biasanya tidak dipakai untuk satu kali cuci darah saja. Agar bisa dipakai lagi membran ginjal buatan itu dicuci lagi. Metode pencucian yang selama ini dipergunakan di beberapa rumah sakit di Indonesia sederhana saja. Di RS Ginjal Ny. R.A. Habibie, Bandung, tabung gelas yang berisi membran yang terbuat dari polimer dibersihkan dengan suatu cairan yang disemprotkan dengan tekanan tinggi. Dengan cara ini ginjal buatan bisa dipakai hingga delapan kali dan pasien membayar Rp 300 ribu—tarif termurah di Indonesia— untuk sekali hemodialisis. Di RS Cipto Mangunkusumo caranya malah lebih sederhana lagi. "Kami pakai cara manual dengan tangan. Jadi membran dicuci dengan cairan semacam air, yang layak diminum. Kami biasanya menggunakan Aqua, lalu dikocok-kocok. Jadi benar-benar manual," kata Dr. H. Pudji Rahardjo, Kepala Sub-bagian Ginjal-Hipertensi RSCM, kepada Yayi Ichram dari TEMPO. Dengan cara manual itu membran bisa dipakai 5-6 kali. Metode semacam itu di mata seorang ahli membran dari Kelompok Peneliti Biomedik ITB, Dr. Ir. Gede Wenten, M.Sc., diragukan efektivitasnya. Sebagai peneliti yang terbiasa bekerja dengan benda-benda kecil, ia yakin partikel yang berada di pori-pori serat polimer tidak bisa dibersihkan dengan cara itu. Yang ia cemaskan, kotoran-kotoran yang tertinggal malah akan berbalik menjadi kontaminan. Memang, hal ini bukannya tidak disadari kalangan medis. Itu sebabnya membran daur ulang masih bisa dipakai lagi hanya bila daya saring atau kualitasnya minimal masih 80 persen dari kondisi normal. Wenten kemudian mencuatkan gagasan untuk meneliti serta membuat membran dan mesin pencucinya yang lebih baik. Ide itu ternyata disambut Dr. Rully Roesli, Direktur RS R.A. Habibie, yang kemudian mendukung sepenuhnya penelitian yang dilakukannya mulai Juni 1998 bersama empat mahasiswanya. Diatek karya tim Wenten berbentuk seperti tabung silinder berdiameter sekitar tiga sentimeter. Pada kedua ujungnya terdapat dua lubang saluran, untuk memasukkan dan mengeluarkan darah dari tubuh penderita. Di dalam tabung terdapat membran berbentuk serat-serat polimer yang disebut polisulfon sebesar ijuk dan berwarna putih. Di situlah darah dibersihkan. Menurut Wenten, pencucian yang selama ini dilakukan hanyalah membersihkan lorong dari membran (lorong antara serat membran dan serat membran lainnya dalam satu ikatan membran). Proses itu dikerjakan secara manual. Dengan metode Hemotek, ginjal buatan yang sudah dipakai diletakkan di tempat pencucian dalam mesin pencuci. Ujung-ujungnya disambungkan dengan selang yang dihubungkan dengan tabung yang masing-masing berisi cairan oksidan berkonsentrasi tinggi, peroksida, feroasetat, dan air. Tabung yang berisi air lalu dipanaskan sampai 60 derajat Celsius. Tabung itu kemudian dituangi cairan dari tiga tabung lain di atasnya dan cairan itu kemudian dipompakan ke ginjal buatan. Pemanasan tersebut membuat pori-pori pada membran membesar sehingga ketika cairan yang mengandung oksidan tinggi masuk akan menembus sampai pori-pori yang sangat kecil. Semua kotoran dan racun akan terangkat. Ginjal pun kembali ke kondisi semula hanya dengan pencucian selama 15 menit. Pemakaian berulang membran, selama ini, memang sudah dilakukan, dan makin jamak dilakukan setelah krisis ekonomi mengharubirukan negeri ini. Itu bukan suatu tindakan yang membahayakan—sejauh kondisi membran masih bagus. RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, yang selama ini mendaur ulang ginjal buatan yang oleh pembuatnya ditulisi not reuseable pun tak mengalami masalah karenanya. Menurut Dr. H. Moh. Yogiantoro, Kepala Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. Soetomo, pemanfaatan alat-alat reuse memang punya kekurangan, misalnya kemampuan alat menjadi menurun. Namun, pemakaian kembali ginjal buatan justru tidak memunculkan sindrom saat pertama kali menjalani cuci darah (first use syndrome) seperti demam, menggigil, mual-mual, muntah, atau sakit kepala. "Kalaupun ada reaksi tubuh, dari hipotesis yang ada, itu lebih disebabkan oleh alergi terhadap bahan-bahan dari peralatan mesin cuci ginjal. Lalu, pada hemodialisis kedua dan selanjutnya, masalah itu sudah tidak ada lagi," kata Yogiantoro. Kalau memang daur ulang ginjal buatan tak jadi masalah, alat yang bisa menjanjikan harga yang lebih murah itu pastilah ditunggu-tunggu para penderita gagal ginjal. Bersabar saja. Hemotek dan Diatek kini telah dipatenkan dan melalui kerja sama antara ITB dan PT Arianto Darmawan, alat itu akan diproduksi secara massal. Gabriel Sugrahetty, Rinny Srihartini, Upik Supriyatun (Bandung), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus