Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah kontrol berulang kali dan sudah mulai akrab berha-hi-hu, iseng-iseng ia pun bertanya kepada sang dokter, "Apakah Pak Dokter pernah menjumpai korban pemerkosaan Mei lalu, atau pernah merawatnya?" Si dokter sedikit terhenyak. Mungkin, kekagetannya lebih karena si perempuan yang bertanya itu berkulit langsat dan memang keturunan Cina.
Jawabannya sungguh mengejutkan. Si dokter keceplosan. Ia mengaku pernah merawat tujuh orang korban, semuanya dalam kondisi menyedihkan: alat kemaluannya (maaf) rusak berat, diduga karena disodok dengan pisau atau tongkat besi. Dua di antara tujuh korban itu rahimnya juga "berantakan", sehingga susah untuk punya keturunan.
Ester, ibu muda yang memimpin LSM Solidaritas Nusa Bangsa itu, kontan deg-degan. Jangan-jangan peristiwa kontroversial itu bisa tersibak lewat penuturan dokter ahli kandungan itu. Ester memang tengah berupaya keras menjemput isu yang menghebohkan itu. Apalagi, dokter itu terus nyerocos bicara. Ia mengaku membentuk tim yang merawat 50 korban pemerkosaan dan penganiayaan seksual pada kerusuhan Mei lalu.
Bukan main. Ini dia yang ditunggu-tunggu. Setelah hubungan baik dokter-pasien terjalin baik, barulah pada Agustus lalu Ester menawari si dokter untuk menjadi saksi ahli. Awalnya, dokter itu bersedia. Tapi, entah mengapa, belakangan ia mengubah sikap. "Ia jadi takut dan mengurungkan niatnya untuk bersaksi," ujar Ester. Sayang, memang. Padahal, semula ia bangga menuturkan adanya bukti berupa catatan medik korban berikut berbagai fotonya.
Dokter itu tak menyebutkan dengan jelas alasannya memilih diam. Mungkin, ia tak mau ambil risiko. Apalagi, pemerintah tengah galak-galaknya membantah ihwal pemerkosaan massal. Walhasil, jangankan menemukan korban pemerkosaan yang "berani" memberikan kesaksian secara terbuka, membujuk saksi ahli yang profesional pun susahnya bukan main.
Orang lantas bertanya: katakanlah data yang digembar-gemborkan Romo Sandy dari tim relawan--menyebut jumlah korban 168 orang, 20 di antaranya tewas--ada betulnya, tapi mengapa tak ada seorang dokter pun yang angkat bicara? Mengapa begitu sulit? "Itu memang soal yang rumit, terutama pembuktiannya," kata ketua Ikatan Dokter Indonesia Pusat, Merdias Almatsier, kepada TEMPO.
Rumit lantaran terbentur berbagai kendala, tak hanya kode etik, tapi juga undang-undang yang melarang diungkapkannya kondisi (rahasia) medik si pasien. "Inilah yang harus dijaga sampai mati oleh dokter," kata Almatsier. Masalahnya jadi lain jika si pasien memang sudah setuju datanya akan disodorkan ke media massa atau tim relawan. Tentu saja tanpa menyebutkan nama dan detail fisik pasien, yang tak lain, ya, si korban.
Dokter tetap saja "diharamkan" membocorkan rahasia itu meski pasien yang ditanganinya sudah meninggal. "Kerahasiaan itu tetap menjadi hak ahli warisnya," kata Almatsier. Namun, bukan berarti dokter lantas tak bertindak sama sekali, apalagi jika kliennya meninggal akibat kekerasan seksual--yang notabene tergolong perbuatan kriminal. Saat itu, dokter harus melapor ke polisi. Kasusnya pun otomatis menjadi perkara hukum pidana. Jadi, sebelum dikuburkan, korban harus diotopsi dengan seabrek prosedur lainnya. Untuk tindakan ini, polisi pun tak boleh gegabah. Mereka harus mengantongi izin dari keluarga korban.
Kerumitan lainnya menyangkut kategori pemerkosaan. "Syarat pertama adalah adanya bukti terjadinya persetubuhan (di luar perkawinan)," kata ahli forensik dari Universitas Indonesia, Abdul Mun?im Idris. Bukti ini bisa berupa sperma--tapi sayang, ini tak bisa bertahan lebih dari tiga hari--virus, atau jasad renik pelaku yang masih menempel. Bisa juga dari hasil pemeriksaan selaput dara korban atau bekas luka di seputar alat kelamin. "Luka-luka seperti ini baru hilang setelah bertahun-tahun," kata Idris. Jadi, masih bisa dilacak. Jika tak tersedia sedikitnya dua bukti itu, jangan harap kasusnya bisa digelar di meja hijau.
Persoalannya, ada sejumlah kejadian yang bukan semata akibat penetrasi paksa. Namun, sejumlah dokter berbisik kepada TEMPO, terjadi pula kekerasan seksual, yakni dimasukkannya benda tumpul--seperti obeng dan linggis--ke alat vital korban. "Maka, persepsi orang tentang tindak kriminal itu harus diubah bukan semata pemerkosaan, tapi kekerasan seksual," kata Almatsier. Toh, akhirnya masalah akan kembali ke satu soal penting: pengakuan terbuka saksi ahli, atau korban sendiri, yang kredibel. Tentu saja, tanpa rasa takut.
Wahyu Muryadi, Karaniya Dharmasaputra, dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo