Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Setiap Bertemu dengan Lelaki, Anak Yatim Itu Histeris

Nama Anton Indracaya tak asing lagi bagi penggemar sinetron. Ia juga menjadi pemandu acara Problematika Seks dan Keluarga di sebuah stasiun televisi swasta. Muslim keturunan Cina kelahiran 45 tahun lalu itu mendampingi delapan korban pemerkosaan saat kerusuhan Mei lalu. Pria bertubuh subur yang punya banyak kenalan dokter ini lalu membeberkan kesaksiannya kepada TEMPO pekan lalu.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA terlibat secara kebetulan. Sore itu, 13 Mei, saya berdiri di tepi sebuah gang dekat rumah sakit tidak jauh dari kantor saya di Jalan K.S. Tubun, Slipi, Jakarta Barat. Kebakaran di mana-mana. Tiba-tiba, saya melihat pemilik studio foto langganan saya. Raut mukanya luar biasa kusut. Ia terus bicara, "Apa dosa saya?" Tokonya sudah habis dijarah massa. Setelah saya tanya, dia mengaku anak gadisnya baru diperkosa enam orang pria kekar di lantai dua rumahnya sendiri.

Saya kaget, setengah tidak percaya. Saya lantas ikut masuk ke unit gawat darurat di rumah sakit itu dan bicara dengan dokternya. Waktu itu pukul satu siang. Selama 15 menit saya menemaninya. Dokter yang merawatnya membenarkan bahwa ia memang korban pemerkosaan. Sejak itu, saya tidak tahu lagi di mana mereka berada.

Sampai di situ saya belum tahu bahwa ada pemerkosaan massal, sampai kemudian saya bertemu dengan korban kedua. Suatu hari, seseorang menelepon untuk menanyakan soal aborsi. Ternyata, ia adalah teman ibu korban. Anak itu, sebut saja namanya Tini, baru berumur 15 tahun dan duduk di kelas 3 SMP. Ia diperkosa oleh lima orang di rumahnya yang kumuh di daerah Kapuk, Jakarta Barat, pada pagi hari tanggal 13 Mei.

Saya berusaha menemuinya. Setengah mati saya berusaha meyakinkan tantenya. Sampai 15 kali saya bolak-balik, sebelum akhirnya bertemu langsung dengan ibu korban. Saya memberinya sekadar bantuan yang saya kumpulkan dengan beberapa teman. Akhirnya, saya berhasil menemui korban dua kali. Saat saya temui pertengahan Juli lalu, Tini kelihatan menanggung trauma berat. Ia hamil dua bulan. Setiap kali bertemu dengan laki-laki, bahkan perempuan bercelana panjang, anak yatim ini langsung menjerit histeris, "Ampun..., ampun, Pak! Jangan ganggu saya!"

Tatapan matanya kosong. Ia tidak berani ke luar. Sedikit saja mendengar ribut-ribut, ia langsung mengunci pintu dan jendela kamarnya. Beberapa waktu kemudian, tantenya menelepon. Tini akan dibawa ke seorang dokter di Bandung untuk menjalani aborsi. Saya berusaha menemuinya lagi. Pada awal Agustus, ada kabar janin anak malang itu telah dgugurkan. Dokter yang membantunya tidak menarik biaya sepeser pun. Sejak saat itu, saya belum bisa menemuinya lagi.

Korban lainnya saya temui di beberapa rumah sakit di Jakarta melalui beberapa dokter teman saya. Umurnya rata-rata 20 tahun. Saya melihat langsung, ada yang dioperasi saluran tuba vaginanya, ada yang selaput daranya. Saya juga melihat korban pemerkosaan 14 Mei di Sunter, yang sampai saat ini masih dirawat intensif di unit jiwa sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta Pusat.

Kalau korban pasca-Mei, saya bertemu satu orang. Namanya, sebut saja Eni Hanjoyo. Ia diperkosa secara brutal di kamar kosnya di kawasan Sunter. Vaginanya dirajam besi gorden. Hanya karena semangat hidupnya yang luar biasa, dokter berhasil menyelamatkannya. Karena malu, ia sampai meminta dokter dan orang-orang terdekatnya untuk menyatakan dia tidak diperkosa. Sekarang, kondisi mentalnya sudah agak lumayan. Katanya, polisi telah menangkap pelakunya, tapi saya tidak yakin itu pelaku sebenarnya. Jika iya, kenapa kasus itu tidak segera diajukan ke pengadilan?

Sampai sekarang, ada dua korban yang masih sering mengontak saya. Salah satunya tinggal di sekitar Jelambar, Daan Mogot, Jakarta Barat. Seminggu lalu ibunya menelepon untuk berkonsultasi tentang, misalnya, bila putrinya menjerit histeris malam-malam. Korban yang lain biasa menelepon sendiri. Sering, pukul dua malam dia menelepon sambil menangis sejadi-jadinya. "Om, saya mau bunuh diri saja. Begini kan sama saja dengan mati ..."

Tujuan kesaksian saya cuma satu: tragedi ini jangan sampai terulang. Korban tidak minta dikasihani, tidak menuntut siapa-siapa. Persoalan terbesar adalah pernyataan pemerintah yang menyangkal adanya pemerkosaan. Beberapa korban yang mulai pulih, Eni, misalnya, semula dapat kami yakinkan untuk bersaksi. Namun, sekarang mundur lagi. "Buat apa saya bersaksi kalau akhirnya hanya dijadikan bahan tertawaan?" katanya. Korbannya jelas ada, kok. Saya mau menceritakan seluruh kenyataan ini kepada Anda. Hanya satu yang saya tidak bersedia: memaksa korban untuk bersaksi. Sebabnya, saya sudah bersumpah.

Saya tidak bermaksud jadi pahlawan atau mencari popularitas, apalagi menjual berita. Saya melakukan ini karena Allah. Saya sudah bertemu dan bicara langsung dengan 8 korban pemerkosaan Mei dan 1 orang pasca-Mei. Semuanya di Jakarta dan keturunan Cina. Tiga orang di antaranya sampai kini masih sering kontak. Kalau orang bilang ini hasil rekayasa, saya bersedia disumpah pakai Quran. God is my witness!

Hermien Y. Kleden dan Karaniya Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus