Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangerang, sekitar 30 kilometer dari Jakarta, saat itu bergolak karena disulut kabar santer: ada tentara Nica beretnis Tionghoa yang menurunkan bendera merah-putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Seperti bensin menyambar api, kabar ini kontan meluas dan memicu kemarahan. Apalagi ini zaman perang kemerdekaan. Republik yang belum genap setahun harus menghadapi serbuan tentara Belanda. Dan ada ketegangan sosial: di wilayah itu, ada sejumlah tuan tanah Tionghoa yang berhadapan dengan penduduk. Meskipun tak semua keturunan Cina kaya. Puncaknya, tersiar kabar, seorang Nica Tionghoa membakar rumah warga pribumi. Ini sebab-sebab menimbulken rajat Indonesier poenja goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang, tulis Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946.
Laskar Rakyat yang marah lalu menangkapi para lelaki keturunan Cina. Mereka digiring ke Penjara Mauk. Tanggal 3 Juni 1946, penjara yang berukuran 15 x 15 m itu dipenuhi sekitar 600 lelaki Cina dari seantero Tangerang. Mereka, banyak diantaranya petani miskin, disekap dengan perlakuan yang memprihatinkan. Malam tida ada lampoe. Orang kentjing dan boewang aer deket soemoer, hingga tempat di sakiternya penoeh kotoran, dan joestroe soemoer itoe poenja aer diboeat minoem, minoemnja dengen bereboetan, tutur seorang korban penyekapan yang diwawancarai Star Weekly.
Kabar mengenaskan ini segera menyebar ke Jakarta. Kaum keturunan Cina tergedor hatinya. Senin, 10 Juni, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang tergabung dalam Poh An Tui bergerak ke Tangerang menolong para Hoakiau yang terancam jiwanya. Mereka dibekali senjata api dan dibagi dua kelompok. Yang pertama datang ke Mauk dan membebaskan tawanan. Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa yang banyak dihuni etnis Cina. Tercatat, sekitar 2000 warga keturunan diungsikan ke Jakarta.Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Dari rombongan pengungsi inilah diperoleh kabar tak sedap: terjadi penyerangan seksual atas perempuan etnis Cina. Tidak ada data statistik yang jelas, hanya dikatakan bahwa tidak sedikit perempuan Tionghoa yang diperkosa. Seorang anggota Poh An Tui bersaksi bahwa ia telah bercakap-cakap dengan perempuan yang anaknya jadi korban perkosaan. Anak gadis perempuan itu, yang baru berusia 13 tahun, diperkosa di hadapan ayah-ibunya. Ketika ajahnja itoe nona tjoba mentjega, dengen boeas ia laloe diboenoeh di depan mata ia poenja istri dan gadis itoe, kata si pemuda.
Ihwal kekerasan seksual itu akhirnya tak terungkap jelas. Hanya saja, sebuah advertensi yang dimuat Star Weekly, 9 Juni 1946, menyerukan hari berkabung untuk ratusan atawa ribuan Hoakiau ?disebut Cina Benteng-- yang tewas di Tangerang. Bisa jadi, iklan itu dilebih-lebihkan. Tapi, tak satu pun sumber yang menyebut dengan pasti berapa jumlah korban sesungguhnya, termasuk korban penyerangan seksual.
Tak lama setelah tragedi itu meledak, pemerintah mulai turun tangan. Menteri Penerangan M. Natsir meninjau lokasi kerusuhan bersama beberapa wartawan. Namun, fakta otentik peristiwa itu tetap gelap. Setahu saya tak ada perkosaan, hanya rumah-rumah mereka yang dibakar. Pengikut Poh An Tui yang pro Nica dibunuhi rakyat, ujar Rosihan Anwar, saat dikonfirmasi Edy Budiyarso dari TEMPO. Ironisnya, kesalahan serupa terulang lagi 52 tahun kemudian.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo