Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebuah wawancara kepada The Guardian, akhir Desember 1992, Levinson menegaskan telah terjadi pemerkosaan massal di Bosnia. Ia menyebutkan, 30.000 hingga 50.000 wanita Bosnia dinodai dan dirusak kelaminnya oleh tentara Serbia di 17 kamp pengungsi. Bekas Ketua Komisi PBB untuk Bantuan Pengungsi itu juga menegaskan, pemerkosaan itu merupakan bagian dari usaha pembersihan etnis Bosnia yang direkayasa Serbia.
Hal yang sama dijelaskan Ita Fatia Nadia dalam sebuah wawancara pada Agustus 1998. Bukan di The Guardian, tentu saja, tapi kepada Dr. Sjahrir dalam acara televisi Info Untuk Anda. Dalam acara yang ditayangkan Indosiar pada Sabtu, 8 Agustus, pukul 07.00 itu, Ita menyebutkan pemerkosaan terhadap etnis Cina dalam kerusuhan Mei 1998 sama dengan aksi pemerkosaan massal di Bosnia.
Sebelumnya, 13 Juli 1998, koordinator divisi kekerasan terhadap perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini menandatangani Dokumen Awal No. 3. Dokumentasi setebal 19 halaman ini merekam data-data pemerkosaan Mei, dilengkapi berbagai tabel. Di situ tertera korban pemerkosaan dan pelecehan seksual massal yang melapor sampai 3 Juli 1998. Jumlahnya, 168. Dari Jakarta dan sekitarnya, 152. Sisanya (16) dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Pernyataan ini kotan mengundang sambutan, kritik, protes, dan perdebatan. Di dalam dan luar negeri. Sebab, taruh kata, angka 168 di atas tak terbantahkan kebenarannya, inilah pemerkosaan massal paling dahsyat di Indonesia dalam sejarah abad XX. Bandingkan dengan pemerkosaan di Aceh saja, misalnya; 600 orang dalam sembilan tahun--berdasarkan wawancara dengan Drs. Hasballah M. Saad M.S., dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia. Dengan lain kata, angka 168 untuk pemerkosaan dalam beberapa hari kerusuhan memang luar biasa.
Banyak reaksi dan kritik muncul menyusul publikasi Tim Relawan. "Tidak benar metode pengambilan data Tim Relawan dilakukan asal-asalan lewat telepon atau internet. Kami memperoleh data langsung dari korban. Identitas korban, waktu dan tempat pemerkosaan, di mana ia dirawat, semua lengkap ada pada kami," ujar Sandyawan.
Sikap Tim Relawan sudah jelas, yakni pemerkosaan ini masal, terencana, dan terorganisasi. "Keluasan peristiwa pemerkosaan di seputar kerusuhan Mei bukanlah hasil fantasi. Kalau sesudah itu muncul sanggahan terhadap pemerkosaan, sebaiknya dihentikan saja. Karena jawabnya jelas: peristiwa itu benar-benar terjadi terhadap banyak perempuan," begitu antara lain yang tertulis pada halaman 1 dan 4 Dokumentasi Awal No. 3 Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Dari sini silang pendapat itu mulai tumbuh. Berbagai pihak di luar Tim Relawan ternyata tidak patuh begitu saja pada imbauan di atas. Kepala Kepolisian RI, Letnan Jenderal Roesmanhadi, balas memberi pernyataan. Menurut dia, selama tidak ada bukti, pemerkosaan itu tidak ada. Kolonel Gorries Mere, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, kemudian muncul di televisi. Pernyataannya, "Polisi sudah menyelidik hingga 103 kasus, tapi tidak pernah kami dapatkan bukti konkret."
Polda Metro Jaya dalam penelitian tersebut menurunkan Tim Merpati. Tim penyelidik yang dikomandani Kapolda Noegroho Djajusman ini terdiri dari para polisi maupun polwan yang turun ke lapangan menyelidik para korban pemerkosaan. Sedangkan Gorries Mere menjadi kepala pelaksana lapangan.
Sementara itu, di beberapa kota besar di dunia muncul sejumlah protes dan demostrasi terhadap pemerintah Indonesia. Tuntutannya, meminta pemerintah RI mengusut tuntas kasus pemerkosaan. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Boston, Beijing, Bangkok, Hong Kong mendapat kunjungan "tamu-tamu khusus" itu di luar pagar KBRI.
Di Taipei, pejuang hak-hak perempuan, politisi, ekonom, dosen, bersama-sama mendesak pemerintah Taiwan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Indonesia. Huang Zelling, tokoh pejuang wanita Taiwan, menyerukan bahwa pemerkosaan massal terhadap etnis apa pun harus diganjar secara pantas. Untuk Indonesia, sanksi ekonomi.
Di Hong Kong, sempat terjadi aksi pelemparan telur busuk ke gerbang Konsulat Jenderal RI. Kepala Bidang Penerangan Konsulat, Suhadi, membenarkan bahwa di Hong Kong terjadi gelombang demonstrasi terhadap pemerkosaan Mei. Pada pertengahan Juli hingga akhir Agustus lalu, terjadi 17 kali demonstrasi. Total jumlah demonstran mencapai 4.000 orang.
Masih dalam kaitan reaksi luar negeri, berkunjunglah 11 anggota LSM Taiwan ke Jakarta, Agustus lalu. Di ibu kota, mereka bertemu antara lain dengan Gus Dur, Konsul Taiwan, dan Menteri Peranan Wanita H. Tutty Alawiyah. Mereka mencari data tentang pemerkosaan. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah kemudian menyampaikan hasil kunjungan LSM Taiwan itu. Menurut Yunus, kesimpulan LSM Taiwan yang disampaikan kepadanya adalah "Pemerintah RI dikerjain" oleh organisasi-organisasi yang menggembar-gemborkan pemerkosaan tersebut.
Eh, pernyataan ini kontan dibantah Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan pada 28 Agustus, lewat surat yang dikirim ke harian Kompas. Kelompok wanita Taiwan, dipimpin pengacara Wang Ching-Feng, menyatakan tidak pernah membuat pernyataan seperti itu.
"Perang pernyataan" bukan satu-satunya fenomena yang meramaikan peristiwa pemerkosaan. Para pengakses internet, misalnya, tiba-tiba digegerkan kisah seseorang yang menyamarkan diri dengan nama Vivian di situs VOICE (Victimization of Indonesian Chinese Ethnicity). VOICE adalah situs internet khusus yang dibuat orang-orang Indonesia keturunan Cina maupun keturunan Cina Indonesia di luar negeri untuk mengantisipasi pemerkosaan Mei.
Para pengakses internet juga menggunakan media elektronik ini untuk memajang foto-foto pemerkosaan yang menyeramkan. Wawancara Ita Nadia dengan Jeremy, wartawan Asian Wall Street Jurnal, menyinggung pula perihal foto ini. Ketika dihubungi TEMPO per telepon, Ita mengatakan, ia pernah memprotes Jeremy tentang tulisannya yang keliru menyangkut foto-foto itu. "Saya (atas nama Tim Relawan) tidak pernah menyatakan (dan menganggap) foto di internet itu adalah foto pemerkosaan Mei. Menurut kami, itu bagian dari teror yang disebar oleh orang yang menghalangi kerja Tim Relawan. Jeremy kemudian minta maaf dan soal itu sudah kami anggap selesai," ujar Ita.
Kembali ke kisah Vivian, tulisan itu menggambarkan antara lain pemerkosaan Venny, adik perempaun Vivian, oleh lima laki-laki. "Setiap orang memulainya dengan "Allahuakbar," tulis Vivian. Adapun lokasi yang dikaitkan dengan pemerkosaan ini adalah Apartemen Mitra Bahari, Pluit, Jakarta Utara.
Pers menyambut kisah ini dengan mengecek kebenaran di lapangan. Majalah DR edisi 5 September 1998 melaporkan, Bob Sidharta (manajer pengelolaan) dan Mualim (manajer gedung) membantah telah terjadi pemerkosaan di apartemennya. Yang diakui keduanya hanya penjarahan.
Esther Yusuf bersama dengan LSM Solidaritas Nusa Bangsa juga pernah mengecek langsung kebenaran kisah itu ke Mitra Bahari. Kesimpulannya? "Dari penghuni apartemen, kami mendapatkan informasi bahwa tidak pernah terjadi pemerkosaan di apartemen itu," kata Esther.
Mingguan Jakarta-Jakarta pernah tersandung kasus Vivian. Wartawan Jakarta-Jakarta, Rudy Gunawan, menulis dalam Jakarta-Jakarta edisi 608, Juli 1998. Tulisan dua halaman itu antara lain mengutip artikel Seth Mydans dari New York Times, yang juga menuliskan peristiwa itu. Kutipan yang membuat Rudy kemudian dituntut KISDI adalah "you must be raped because you are Chinese and non-Muslim"
Satu soal yang banyak dipertanyakan dari pemerkosaan Mei adalah data yang dilansir Tim Relawan. Banyak, memang, yang meragukannya. Salah satunya, Sidney Jones dari Asia Watch. Terhadap keraguan itu, Romo Sandyawan dari Tim Relawan mengatakan, "Sidney sebetulnya punya hubungan baik dengan LSM di Indonesia, termasuk saya. Kami berteman baik. Tapi, dalam pembuatan laporan kali ini, Sidney berlaku naif. Padahal, ia dikenal sebagai pengumpul data yang baik." Selesaikah soalnya di sini? Sama sekali belum.
Sebab, yang mempersoalkan kredibilitas data Tim Relawan bukan hanya Sidney Jones. Pemerintah Indonesia sendiri sampai hari ini belum resmi mengakui adanya pemerkosaan massal itu. Sebab, pihak pemerintah rupanya berpegang pula pada data. "Kalau memang sudah ada data, kami akan segera menghubungi Komnas HAM, karena kita memang sejalan untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Menteri Negara Peranan Wanita, Ny. H. Tutty Alawiyah S.S., dalam Kompas, 8 Juli 1998.
Perdebatan soal kebenaran data tampaknya terus berlangsung. Tak aneh, banyak pihak menaruh harapan pada kerja Tima Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Namun, sampai acara dengar-pendapat dengan Komisi I DPR RI di Senayan pada Kamis, 24 September lalu, tampaknya belum banyak hal yang terungkap, terutama yang menyangkut pengakuan saksi korban (dokter atau psikiater, misalnya) atau korban sendiri. Juga, soal angka definitif. "Kami mohon pengertian bahwa mengenai aspek-aspek kualitatif, tim gabungan belum bisa menyampaikan angka definitif dan bisa dipertanggungjawabkan," ujar Ketua TGPF, Marzuki Darusman.
Dalam pertemuan tersebut, Ismawan dan Dra. Haryati Ariyani dari Fraksi Karya Pembangunan menanyakan kemungkinan TGPF menampilkan saksi. "Saya minta satu contoh saja," ujarnya. Sedangkan Haryati menyoalkan sumber-sumber data yang sekunder. "Kalau tidak ada sumber primer, apakah data-data ini bisa kita anggap valid? Korbanya mana? Saksi matanya mana?" ujarnya.
Tim gabungan akhirnya mengeluarkan angkanya sendiri: 146 korban pemerkosaan dan kekerasan seksual. Marzuki juga mengaku pernah mendengar langsung kesaksian korban. Tapi TGPF cenderung tidak mau mengungkap segi kualitatif apa pun. "Bisa menjadi sumber spekulasi di kalangan publik," ia memberikan alasan. Mereka juga sepakat untuk tidak menjadikan kesaksian korban sebagai tujuan.
Ketua Tim Fakta Korban TGPF, Prof. Dr. Saparinah Sadli, bersikap lebih tegas. Ia mengaku tak habis pikir dengan pihak-pihak yang menuntut kehadiran korban untuk bersaksi. Sebagai psikilog, profesor ini mengatakan, korban pemerkosaan adalah kasus yang sangat sulit ditangani di belahan bumi mana pun. "Karena itu, tidak mungkin meminta korban bersaksi tentang kejadian buruk yang telah menimpa mereka," ia melanjutkan.
Saparinah menilai pemberitaan pers dalam soal pemerkosaan ini justru lebih menyudutkan korban dan keluarganya. "Untuk apa kita besar-besarkan peristiwa ini jika tak bisa melakukan sesuatu untuk mereka?" katanya ketus. Lalu, tentang angka 168 itu, Saparina mengatakan, media massa telah menggembor-gemborkannya secara tidak tepat.
Benarkah demikian? Pendapat ini tentu sangat bisa diperdebatkan. Sebab, sejauh ini, pers lebih banyak harus bergerilya sendiri dalam menelusuri kebenaran ini. Setidaknya, sampai menanti penjelasan TGPF, akhir Oktober nanti. Ita Nadia, ketika dihubungi TEMPO, juga mengelak berbicara tentang data terbaru. "Kami masih melakukan konsolidasi data di dalam tim. Mudah-mudahan akhir Oktober nanti kita bisa bicara," Ita mengelak halus.
Data memang penting tapi bukan berarti yang terpenting. "Sebab, data menjadi relatif saat Anda berhubungan dengan korban," ujar Anton Indracaya kepada TEMPO. Pemandu sebuah acara televisi ini secara diam-diam ternyata membantu beberapa korban pemerkosaan Mei. "Saya bukan aktivis. Juga tidak bermaksud mencari popularitas. Tiba-tiba saja saya terlibat di tengah suasana itu," ujarnya setengah berbisik.
Anton tidak sendirian. Ternyata, selalu ada orang lain yang bekerja diam-diam dan ulet untuk membantu korban pemerkosaan. Tanpa publikasi atau pretensi pada perjuangan apa pun. Seperti Fannie Gunadi. "Niat saya semata-mata ingin membantu. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri korban yang sangat menderita. Bagaimana mungkin saya mendiamkan mereka sementara saya tahu, saya dapat melakukan sesuatu? Lepas dari soal sesama, saya juga saudara mereka sedarah. Sesama keturunan Cina," ujarnya dengan mata berlinang-linang.
Anton dan Fannie mengenal beberapa dokter yang membantu korban. Juga Esther Jusuf. Esther dekat dengan sebuah tim dokter yang menangani 50 kasus kekerasan seksual pada wanita keturunan Tionghoa dalam kerusuhan 13-14 Mei.
Pertanyaannya, bila ada banyak dokter yang membantu korban, mengapa begitu sulit membuktikan kebenaran kasus ini. Kita lupakan saja kesaksian korban karena para dokter toh dapat mewakili mereka bersaksi. Nyatanya, tidak semudah itu. Dokter-dokter ini rupanya mengalami teror terus-menerus lewat telepon.
Dr. Djaja Surya Atmadja dari Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengungkapkan hal itu. Dua kenalan baiknya menangani korban pemerkosaan dan mutilasi. Setelah itu, mereka terus-menerus mendapat teror melalui telepon genggam dan telepon rumah. Kendala lain, semua data yang direkam selama bantuan medis itu berlangsung adalah milik korban, sehingga tak dapat diketengahkan begitu saja di depan publik.
Romo Sandy termasuk relawan yang kerap diteror lewat telepon. Mobil Isuzu Panternya pernah ditabrak dari belakang di daerah Puncak, Jawa Barat. Pernah juga dari dekat: "Romo perlu tahu bahwa membunuh Romo adalah soal mudah bagi kami," tiga pria mengancamnya di sebuah halte bus, dekat Katedral Jakarta.
Sandy masih jelas mengingat ciri-ciri peneror. Badan kekar, rambut cepak. Jika bicara, nadanya tegas. Tidak suka membantah dan sangat profesional dalam mengintimidasi. Rupanya, tim peneror ini pernah menyelundup ke dalam sebuah acara diskusi yang dipimpin Sandy di Katedral Jakarta. Lebih dari itu, tak banyak yang bisa diketahi siapa mereka ini.
Alhasil, teror-teror ini yang membuat para dokter enggan memberikan informasi kepada TGPF. Apalagi kepada pers. Ikatan Dokter Indonesia, menurut Djaja, sudah mulai berinsiatif mengatasi hal ini. "Kami sedang mendekati rekan-rekan dokter yang pernah membantu korban dan meminta kesediaan mereka memberikan informasi kepada IDI," kata Djaja. Begitu pula pendapat Ketua IDI Merdias Almatsier. Ia mengatakan, "Kami tidak semata-mata pasif. Sekarang kami tengah membahas apa yang sebaiknya dilakukan IDI, misalnya menyurvei para dokter yang membantu korban kerusuhan 13-14 Mei. Juga, jenis kekerasan yang mereka tangani."
Namun, Merdias menolak pendapat yang menyebutkan para dokter tak mau bersaksi hanya gara-gara teror. "Sebab yang lebih utama, menurut saya, adalah kerahasiaan yang harus dijaga dokter. Kecuali, kalau si pasien memang sudah setuju datanya akan disodorkan ke Tim Relawan atau media massa," ujarnya.
Mengajak korban bersaksi agaknya bukan soal mudah. Bahkan bagi seorang Romo Sandy sendiri, yang telah terlibat sejak awal dalam misi kemanusiaan ini. Ketika berangkat ke Jenewa Agutus lalu, ia membawa serta dua korban untuk bersaksi. Namun, korban itu bukan dari kerusuhan Mei (lihat boks: Jumlah Korban Bisa Bertambah).
Bersama dengan Dr. Karlina Leksono-Supelli dari Suara Ibu Peduli, Romo Sandy menghadiri dengar pendapat publik di Jenewa, Swiss. Acara yang berlangsung pada Rabu, 5 Agustus 1998 itu mengambil tempat di Room XXII (New Building), Palais des Nations.
Sandy membawakan makalah berjudul Social and Political Background of the Violence and the Work of the Volunteer Team for Humanity during the Riots in May, 1998.
Dengar pendapat yang berlangsung pukul 13.00--15.00 waktu setempat itu ditutup dengan kesaksian korban. Keduanya tergolong dalam kelompok survivors, yakni korban pemerkosaan yang berhasil bangkit kembali. Dari Jenewa, Sandy dan rombongan meneruskan "safari" ke Washington. Di depan Kongres Amerika, pada 31 Juli, Romo Sandy membawakan sebuah testimoni berjudul The Condition of Our Shared Life.
Para pendamping yang diwawancara TEMPO rata-rata yakin, pemerkosaan massal itu terjadi. Namun, mereka menekankan, perlu ada klarifikasi terhadap angka.
Angka memang data mati. Namun, ketika orang terlalu sibuk menghitung angka, maka korban, bisa jadi, terlupakan begitu saja dalam selubung penderitaan.
Masih perlu jalan panjang untuk menjernihkan seluruh tragedi ini kepada kebenaran yang sesungguhnya.
Hermien Y. Kleden
Laporan Tim Investigasi: Andari Karina Anom, Mardiyah Chamin, Iwan Setiawan, Hardi R. Hermawan, Karaniya Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo