Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Taspen Dulu, Taspen Sekarang

Badan usaha dengan kekayaan belasan triliun hasil dari iuran bulanan para pegawai negeri sipil, ABRI, dan BUMN.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta, 39 tahun silam. Sebuah konferensi dilangsungkan 25-26 Juli. Pertemuan tersebut bermula dari niat pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri sipil. Konferensi berakhir dengan sukses. Namun, baru tiga tahun kemudian, hasilnya berwujud dengan keluarnya sebuah peraturan pemerintah tentang pembentukan Perseroan Terbatas Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri alias PT Taspen.

Sejarah kelahiran Taspen memang bukan cerita penuh liku-liku--nyaris terlalu sederhana untuk ukuran sebuah badan usaha dengan aset triliunan rupiah. Hingga sekarang, perseroan ini mengoperasikan sekitar 40 kantor cabang di seluruh Indonesia. Badan ini juga bekerja sama dengan perbankan dan PT Pos Indonesia sehingga dapat memanfaatkan 4.000 titik pelayanan.

Untuk mendukung jaringan kerja seluas itu, Taspen merekrut ribuan tenaga kerja. Hingga akhir 1996 misalnya, perseroan ini mempekerjakan 2.325 karyawan dengan tingkat pendidikan dari jenjang S2 hingga di bawah SLTA. Jaring-jaring badan usaha tersebut menebar di seluruh Indonesia, dari provinsi sampai kabupaten. Taspen melayani para pegawai negeri sipil, pejabat tinggi/tertinggi negara, duta besar RI, serta pegawai beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Alhasil, dari seluruh pelosok Indonesia mengalirlah sebuah dana tabungan raksasa. Sebab, semua yang berstatus pegawai negeri sipil terikat ke dalam jaringan Taspen tanpa ada pilihan lain. Setiap bulan, setiap pegawai negeri sipil dan pegawai beberapa BUMN--suka atau tidak-- gajinya harus dipotong sebesar 8 persen. Dengan jumlah pegawai negeri sipil sebanyak 5,1 juta (per 1999), dana yang mengalir ke brankas Taspen mencapai sekitar 30 miliar setiap bulannya.

Pada masa awal berdirinya, Taspen menetapkan potongan iuran pegawai negeri sebesar 10 persen dari gaji pokok yakni, 7 persen untuk iuran premi dan 3 persen untuk dana kesejahteraan pegawai negeri. Pada tahun berdirinya perseroan tersebut, 1963, iuran tadi dipungut dari 1,5 juta orang yang langsung menjadi anggota. Mereka terdiri dari pegawai negeri sipil, pegawai negeri daerah otonomi, dan pegawai BUMN. Aktiva perusahaan pada tahun itu mencatat angka Rp 2.227.500 dengan klaim pembayaran Rp 58.000. Perkembangan penerimaan premi program Taspen pada tahun itu mencatat Rp 1.068.800. Investasi dana program Taspen dan THT mencapai Rp 820.000.

Kantor pertama Taspen masih sangat sederhana, mendompleng kantor Pusat Pembayaran Pensiun di Jalan Diponegoro 56, Bandung. Direktur pertamanya adalah M. Slamet (1963-1965). Slamet juga bekerja dengan tenaga terbatas. Ia hanya dibantu oleh dua asisten dan 11 tenaga pelaksana. Ketika kondisi perusahaan membaik, Taspen membangun gedung sendiri di Jalan Letjen. Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sejak 1970 semua kegiatan Taspen dialihkan dari Bandung ke Jakarta.

Program-program yang dilayani perseroan ini adalah tabungan hari tua (THT), yaitu suatu program asuransi yang terdiri dari asuransi dwiguna dan kematian. Asuransi dwiguna memberikan jaminan keuangan bagi peserta saat berhenti bekerja atau kepada ahli warisnya. Sedangkan asuransi kematian adalah asuransi yang memberikan jaminan keuangan kepada peserta atau ahli warisnya. Bagi para pegawai negeri sipil yang pensiun diberikan jaminan hari tua berupa uang pensiun.

Taspen, dalam perjalanannya, tumbuh menjadi perseroan pemilik dana raksasa yang terus beranak-pinak. Bahkan, dengan berbagai investasi yang tidak sehat dan manipulasi di sana-sini, dana Taspen tetap saja jaya. Bagaimanapun, uang iuran yang mengalir masuk setiap bulan, masih tetap jauh lebih besar dibandingkan dengan dana yang dibayarkan. Dalam wawancara dengan TEMPO, Kamis silam, Presiden Direktur Taspen, Muljohardjoko, mengakui kekayaan Taspen kini berjumlah sekitar Rp 13 triliun--sebuah dana riil yang sulit dibayangkan dalam masa yang begini susah.

Jakarta, 39 tahun kemudian. Tiga gedung, masing-masing bertingkat tiga, empat, dan enam, di Jalan Letjen. Suprapto, Jakarta Pusat, menjadi kantor pusat Taspen. Di lantai bawah kantor pusat, kurang lebih 100 orang duduk menunggu antrean pelayanan di sembilan loket.

Mereka, rata-rata pensiunan pegawai kecil-- bagi para pegawai tinggi, dana pensiun mereka langsung ditransfer ke rekening masing-masing--mengantre keluarnya uang yang telah dipotong pemerintah selama puluhan tahun. Ini bisa menjadi semacam cara menabung yang efisien bila saja setiap anggota leluasa mengetahui apa yang terjadi dengan iuran gajinya selama puluhan tahun: sebuah "kemewahan" yang sulit dibayangkan seorang pegawai kecil, yang kebetulan menjadi penyumbang terbesar Rp 13 triliun kekayaan Taspen hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus