Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT pandai meniti buih, PT Taspen sebenarnya termasuk perusahaan yang konservatif dalam mengelola dana. Untuk berinvestasi, misalnya, mereka sangat hati-hati dan selalu memilih risiko terkecil. Menurut Purwanto Abdulcadir, direktur utama pengganti Ida Bagus Putu Sarga waktu itu, sebagian besar dana Taspen (51 persen) disimpan dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sisanya, 18 persen dipakai untuk membeli obligasi, 12 persen dalam bentuk deposito berjangka, dan cuma 13 persen untuk investasi langsung.
Komposisi yang disampaikan Purwanto kepada majalah Prospek pada 1993 tersebut rasanya cukup bijak. Soalnya, menurut para analis, dana asuransi memang paling aman jika disimpan dalam bentuk SBI atau deposito. Sebab, risiko kerugian yang timbul sangat kecil, meskipun memang keuntungannya juga jadi sedikit.
Namun itu bukan berarti Taspen tak punya masalah. Kendati cuma 13 persen, investasi langsungnya sangat bermasalah dan sarat dengan manipulasi.
Bentuk investasi langsung ini, pada masa itu, merupakan buntut keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227 sampai 231, sesaat menjelang pergantian kabinet pada 1993. Surat yang ditandatangani J.B. Sumarlin itu, antara lain, berisi persetujuan agar PT Taspen bekerja sama dan melakukan penyertaan modal di 17 perusahaan swasta nasional yang belum masuk lantai bursa. Adapun jumlah dana yang dikucurkan untuk penyertaan langsung itu mencapai Rp 1,3 triliun.
Surat Sumarlin itu pun kontroversial karena sejatinya kabinet sedang dalam masa demisioner. Artinya, tidak semestinya seorang menteri mengeluarkan keputusan penting menjelang masa pergantian jabatan. Soalnya, bila kelak timbul masalah--dan belakangan memang terbukti--keputusan yang dikeluarkannya akan sulit dipertanggungjawabkan oleh menteri penggantinya.
Selain itu, surat tersebut tak menjelaskan dari mana nama 17 perusahaan itu didapat dan mengapa mereka yang mendapat kucuran dana itu, bukan yang lain. Lebih-lebih, ternyata perusahaan-perusahaan yang ditunjuk sebagai mitra PT Taspen itu belum jelas kredibilitasnya.
Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan dan Komisaris Taspen kala itu, Benyamin Prawoto, misalnya, membenarkan bahwa beberapa di antara perusahaan itu tidak layak dimodali. Tapi, entah bagaimana caranya, Taspen toh tetap memutuskan merelakan sebagian dananya untuk menginjeksi 17 perusahaan itu.
Perusahaan yang menadah rezeki nomplok itu adalah sebagai berikut. Yang pertama, yang paling top, PT Barito Pacific Timber milik Prajogo Pangestu. Perusahaan taipan asal Singkawang ini mendapat suntikan dana Rp 375 miliar. Ada cerita, dana untuk Prajogo ini ibarat layanan laundry: pagi masuk, sore jadi. Jadi, begitu pagi hari pihak Taspen meminta persetujuan Menteri Sumarlin untuk mengucurkan dana, sorenya izin itu langsung turun.
Penerima dana penyertaan berikutnya adalah PT Arthaloka Indonesia, yang memperoleh Rp 9,6 miliar dari rencana Rp 14,7 miliar. Turunnya angka realisasi dana itu merupakan campur tangan Menteri Keuangan Mar?ie Muhammad, yang mendapat perintah dari Presiden Soeharto untuk meninjau proyek penyertaan dana Taspen di 17 perusahaan tersebut.
Oleh perusahaan yang sahamnya sebagian besar dimiliki Departemen Keuangan ini, modal itu dipakai untuk menambal kekurangan biaya pembelian sebidang tanah seluas 1,75 hektare di sebelah Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, di pinggir Jalan Sudirman, Jakarta. Tanah tersebut dihargai Rp 12,5 juta per meter persegi. Jadi, nilai totalnya sekitar Rp 218,750 miliar dan sistem pembeliannya hard cash alias harus langsung bayar. Padahal, sekadar informasi, pada 1993 harga pasaran tanah di situ hanya Rp 2 juta per meter persegi. Jadi, tanah tadi dibeli enam kali lebih mahal dari harga pasaran.
Selain Prajogo, tercatat juga nama Tommy Winata--salah satu pengusaha paling misterius saat ini--sebagai penerima dana penyertaan. Uang Taspen masuk ke Tommy melalui pintu PT Indonesia Arthasangga Utama (Intama). Oleh Intama, dana yang diperoleh dari PT Taspen digunakan untuk membangun suatu superblok bernama Kawasan Bisnis Terpadu Sudirman. Jumlah dana yang dikucurkan mencapai Rp 216 miliar. Dalam proyek ini, Arthasangga bermitra dengan Jakarta International Hotel Borobudur, yang sebagian sahamnya dikuasai Departemen Keuangan.
Bekas Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief juga disebut-sebut sebagai penerima kucuran dana Taspen yang sebenarnya hendak dipakai untuk memberdayakan pengusaha pribumi itu. Latief menerima Rp 88 miliar, dari rencana semula Rp 126 miliar.
Sebagai imbalan penyertaan dana itu, PT Taspen berhak atas 18 persen saham dan boleh menempatkan dua orang utusannya duduk dalam manajemen PT Pasaraya dengan jabatan direktur. Ini pola biasa. Sebab, pada setiap penyertaan modal, PT Taspen memang selalu menempatkan orang-orangnya di jajaran direksi. Misalnya dua orang direksi di Barito, dua di Bukaka, dan juga dalam jajaran komisaris di Plaza Indonesia serta Texmaco Engineering. Dana dari Taspen itu, sesuai dengan proposal yang diajukan, sebagian dipakai untuk mendanai proyek perluasan usaha supermarket Pasaraya.
Penerima dana Taspen berikutnya adalah televisi swasta milik Grup Bimantara dan Rajawali, RCTI. Televisi yang belakangan rugi terus ini mendapat kucuran dana segar Rp 75 miliar. Entah bagaimana Taspen mendapat dividen dari penyertaan modal itu.
PT Satria Balitama (Imperial Hotel) juga kecipratan dana pensiun. Modal penyertaan Taspen di situ mencapai sekitar Rp 27,3 miliar atau 31,33 persen dari nilai total proyek, yang besarnya Rp 82 miliar. Namun tidak seorang pun wakil PT Taspen bercokol di perusahaan yang 64,7 persen sahamnya dikuasai Arifin Panigoro (Medco) yang berduet dengan bekas Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudhohusodo ini.
PT Lamicitra Nusantara milik Grup Bimantara mendapat rezeki sebanyak Rp 75 miliar. Tapi, belakangan, perusahaan konstruksi yang membangun Jembatan Merah Plaza di Surabaya dan sebuah pelabuhan peti kemas di Semarang ini megap-megap. Proyek Jembatan Merah Plaza sepi peminat. Masih banyak ruang yang kosong belum disewa. Sedangkan kegiatan di pelabuhan peti kemas Semarang juga tak seramai yang diperkirakan semula. Bagi Taspen, dampaknya tentu saja dividen yang diterima pun hanya sedikit.
Penerima dana Taspen selanjutnya adalah PT Gunung Agung, sebanyak Rp 28 miliar--anjlok drastis dari rencana semula, Rp 128 miliar. Tapi nasib modal penyertaan di perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan, properti, dan jasa keuangan ini setali tiga uang. Saat ini, perusahaan itu malah mutlak rugi besar. Remah-remah keuntungan tidak sedikit pun dapat dinikmati lagi oleh Taspen dari perusahaan milik Oka Masagung ini. Belakangan, Gunung Agung diserahkan kepada Kosgoro untuk dikelola, padahal utangnya segede gunung.
Begitu juga dana di PT Carbon Continental milik pengusaha Lili Sumantri. Penyertaan modal sekitar Rp 35 miliar untuk perusahaan penghasil bahan kimia ini bahkan tak tercantum dalam anggaran dasarnya. Repotnya lagi, belakangan, PT Carbon Continental malah diambil alih sebagian oleh Tallbout Co. dari Amerika, sehingga posisi Taspen makin tidak jelas. Di Carbon Continental ini, jangankan dividen, status sebagai salah satu pemilik modal pun tak pernah transparan.
Nasib serupa dialami dalam penyertaan modal sebesar Rp 14,625 miliar di PT Marga Mandala Sakti. Pengelola jalan tol Cikupa-Merak milik Tommy Soeharto ini sedang dalam keadaan merugi, sehingga Taspen tak bisa mengharapkan dividen.
Yang paling ajaib mungkin di PT Multi Angsana Ganda. Di situ, PT Taspen menyuntik dana penyertaan modal senilai Rp 30 miliar dalam bentuk tanah di belakang Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta. Tapi, lucunya, perusahaan itu belum beroperasi hingga detik ini dan tanah tersebut dibiarkan telantar.
Maka tinggallah PT Taspen gigit jari.
Lihat Tabel: Mereka yang Menadah Dana Taspen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo