Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Widjanarko Puspoyo: Tak Ada Untungnya buat Bulog

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus pengoplosan dan pemutihan beras menggunakan bahan kimia berbahaya yang sedang mencuat ikut menyeret Perusahaan Umum Bulog. Di beberapa penggilingan, tim investigasi Tempo menemukan tumpukan beras Bulog yang siap ”diputihkan”. Ada beras miskin (raskin), ada juga beras turun mutu, yang menurut pengusaha, mereka beli dari Bulog melalui tender. Bahkan ada sumber mengatakan, Bulog terlibat langsung sebagai pelaku. Benarkah?

Widjanarko Puspoyo, Direktur Utama Perum Bulog, menepis semua tudingan itu. Bagi dia, tuduhan itu tak logis. Alasannya, sebagus apa pun beras itu dipoles, mereka tak mungkin menjualnya dengan harga lebih mahal dari ketentuan pemerintah. ”Lalu untuk apa?” ujarnya kepada Tempo, yang menemuinya di kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Ada informasi Bulog termasuk ”pemain” dalam bisnis pemutihan dan pengoplosan beras. Benarkah?

Nggak. Nggak ada untungnya begitu. Harga jual kami sudah ditentukan oleh pemerintah. Sebagus apa pun beras dipoles, kami nggak bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi.

Tapi kami menemukan banyak beras Bulog yang siap diolah lagi di beberapa penggilingan. Kalau bukan dari Bulog, lalu dari mana?

Beras kami itu pemiliknya sudah ada semua, yakni orang-orang miskin. Daftarnya ada di tiap kabupaten, tiap kelurahan, tiap RW/RT. Dan mereka harus kita suplai setiap bulan, Rp 1.000 per kilogram. Sering kali orang salah persepsi, dikira saya itu bisa membawa truk ke pasar lalu jualan beras.

Jadi, Anda hendak mengatakan bahwa para pedagang mungkin membeli beras itu dari penduduk miskin?

Bukan nggak mungkin itu terjadi. Mereka membeli Rp 1.000. Kalau dijual Rp 3.000 saja, mereka pasti sudah untung. Tapi itu hak dia. Ini orang-orang susah juga harus bertahan hidup. Lagi pula distribusi beras untuk kaum miskin itu penanggungjawabnya bukan Bulog, tapi pemerintah daerah.

Anda mengatakan Bulog tidak menjual beras selain raskin. Tapi informasi yang kami dapat, pedagang membeli beras Bulog melalui tender. Mana yang benar?

Itu beras rusak. Turun mutu. Biasanya sudah tidak bisa dikonsumsi. Setiap tahun pasti ada. Sebab, bagaimanapun bagusnya beras, kalau disimpan enam bulan di gudang, pasti keluar bubuknya. Kalau disimpan setahun, bubuknya akan makin banyak. Lebih baik dijual daripada benar-benar sudah rusak, bau, lalu cuma bisa jadi makanan babi.

Jadi Bulog menjual juga beras ke para pengusaha itu?

Ya, tapi ada aturannya. Kami salurkan dulu ke masyarakat. Karena kualitasnya jelek, biasanya mereka tolak. Beras itu kemudian dikembalikan ke kami. Ini beras rusak. Kalau dipaksa disimpan, biaya simpannya lebih tinggi dari harga berasnya. Tidak logis kan? Tapi yang menentukan apakah beras turun mutu boleh dijual atau tidak adalah surveyor independen, bukan kami.

Berapa banyak beras turun mutu yang dijual Bulog setiap tahun?

Nggak banyak. Tahun kemarin nggak ada. Tahun ini mungkin paling banyak 3.000 ton, itu juga tidak rusak sekali.

Penjualan itu sekaligus atau secara bertahap?

Tergantung lokasinya. Sekarang di Riau ada 3.000 ton, nggak bisa dimakan. Ya, harus dilepas. Seka-rang sedang diproses untuk dilepas lewat tender. Selalu lewat tender.

Pembelinya siapa saja?

Kami tetapkan harus pabrikan, supaya tidak masuk ke pasar dan mengganggu harga. Nanti beras itu akan mereka jadikan tepung dan dijual sebagai tepung.

Mungkinkah beras yang dipoles dan dioplos itu berasal dari pabrik-pabrik itu?

Agak tidak masuk akal. Soalnya, mereka justru mencari beras turun mutu untuk dibeli. Dia lebih untung menjual tepung beras daripada harus meng-oplos lalu dijual ke pasar. Dan ini perusahaan-perusahaan besar, lho?

Misalnya?

Rose Brand. Masak dia mengoplos beras?

Berapa banyak peredaran beras yang dikuasai Bulog?

Bulog ini kecil. Kami hanya mampu menyerap sekitar tujuh persen dari produksi nasional yang setahunnya sekitar dua juta ton.

Distribusinya?

Merata. Di mana ada gudang Bulog, di situ harus didistribusikan. Di Sangir Talaud, misalnya, setiap enam hari ada kapal ke sana.

Kalau khusus untuk Jakarta, berapa banyak?

Tidak banyak. Sebab, yang kami siapkan di Jakarta, pertama hanya untuk menjaga stabilitas harga. Dan yang kedua untuk masyarakat miskin. Raskinnya juga nggak terlalu banyak (tahun lalu 60.791 ton dari 1,62 juta ton—Red.).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus