Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muncul di executive lounge lantai 17 Hotel Four Seasons, Jakarta, pada pertengahan Maret lalu, Gustav Papanek memadamkan seketika imajinasi tentang "kehebatan" seorang begawan ekonomi yang disegani di dunia. Tubuhnya melengkung oleh umur yang jauh, hanya dibalut sehelai kemeja batik murah. Dia menenteng sendiri sebuah tas kulit hitam sederhana. Kulitnya berkerut, rambutnya seputih asap, jalannya agak perlahan, tapi daya ingatnya di usia 88 tahun seolah-olah tak berpautan dengan umur. Gus-begitu dia dipanggil-bisa menyitir angka-angka riset dari aneka tahun tanpa mengecek catatan.
Profesor ekonomi ini bisa berbahasa Indonesia, walau tak fasih, berkat pertautannya dengan negeri ini selama setengah abad. Gustav Papanek adalah Presiden Boston Institute for Developing Economies (BIDE). Dalam kaitan dengan Indonesia, dia adalah peneliti, konsultan, dosen, dan mentor utama "Mafia Berkeley": sejumlah arsitek ekonomi paling berpengaruh pada masa Orde Baru. Mereka antara lain Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan J.B. Sumarlin. "Mereka ekonom hebat yang mengurus masalah yang amat berat," ujar Papanek tentang anak-anak didiknya.
Bergerak di kota-kota besar dunia sebagai penasihat ekonomi sejumlah negara, Gus agaknya menyimpan Indonesia dengan khusus dalam hatinya. Matanya berbinar saat mengenang awal mula dia menginjak Jakarta pada 1955. "Yang saya ingat dua hal. Pertama, Indonesia negara yang indah. Kedua, ekonominya kacau," ujarnya sembari tertawa.
Ketika itu ia datang ke Biro Perencanaan Negara sebagai pakar ekonomi dari Harvard Advisory Group. Indonesia, yang baru merdeka sepuluh tahun, dilanda defisit besar dan inflasi tinggi. Universitas Harvard mengirimnya untuk membantu membenahi kondisi ekonomi yang masih porak-poranda. Tatkala "anak-anak Berkeley" menjadi menteri, Harvard dipercaya menjadi konsultan ekonomi untuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan. Pada 1970-1973, Papanek memimpin tim itu dan tinggal di Jakarta.
Dua kali ia menjadi persona non grata. Pada 1973, dia dilarang ke Indonesia karena dituduh menyulut demonstrasi Malari. Gus bahkan dituding sebagai Kepala Biro CIA di Indonesia. "Saya bilang kasihan benar CIA jika mereka benar mempekerjakan saya," katanya sembari terbahak. Pada 1988, haknya ke Indonesia "dibredel" karena mengkritik distribusi pendapatan tak merata dan meningkatnya angka kemiskinan. "Pesan ini rupanya tak diterima dengan baik," kata Gus.
Baru pada 1998, dia datang kembali. Ia terlibat sejumlah proyek penelitian hingga memimpin tim konsultan ekonomi Bappenas dan kantor Wakil Presiden pada 2011-2013. Bulan lalu, Yayasan Rajawali mengundang Gustav ke Jakarta sebagai bagian dari sebuah program kerja sama riset ekonomi. Tapi kesehatan yang mulai rapuh membuat dia tak bisa lagi sering-sering kembali. "Dokter sudah mewanti-wanti," ayah seorang putri ini mengaku.
Di sela-sela jadwalnya yang amat padat, dia memberikan wawancara khusus kepada wartawan Tempo Sadika Hamid, Hermien Y. Kleden, Purwani Diyah Prabandari, dan Amanda Siddharta. Selama tiga jam perbincangan, Gus menjawab pertanyaan tanpa jeda dan hanya meneguk segelas air putih.
Indonesia akan memiliki presiden baru tahun ini. Apa langkah yang perlu diambil pemerintah baru nanti agar kinerja ekonomi lebih kompetitif?
Indonesia adalah negara dengan ekonomi biaya tinggi. Di masa lalu, ini tak jadi masalah. Sejak dulu sudah ada problem infrastruktur dan korupsi. Tapi masa-masa mengeksploitasi tenaga kerja dengan upah buruh rendah sudah lewat. Jika ingin berkompetisi, ongkos infrastruktur yang tinggi harus dibenahi. Pemerintah sekarang hanya menganggarkan satu persen anggaran negara untuk infrastruktur.
Idealnya berapa persen?
Tidak ada angka ideal, tapi setidaknya perlu lima persen dari pendapatan negara. Untuk jangka panjang, uang ini bisa kita peroleh melalui perbaikan sistem pajak dan meningkatkan pendapatan. Dalam jangka pendek hanya ada satu tindakan, yaitu menghapus subsidi bahan bakar minyak.
Itu bukan langkah populer.
Tidak populer, maka perlu disertai solusi cerdik, yakni kendaraan umum harus dikonversi ke gas. Ketimbang menggunakan bahan bakar impor yang mahal, lebih baik pakai gas domestik yang murah. Pemilik kendaraan tak boleh dibebani ongkos konversi. Bank akan membiayai dan pemilik kendaraan melunasinya ketika ia membeli gas. Tak ada risiko.
Kok, bisa?
Kan, pemilik tak bisa membeli bensin tanpa membayar utangnya. Hal lain adalah meminta perusahaan membangun infrastruktur. Jenis infrastrukturnya bukan hanya yang memberi pendapatan seperti jalan tol, melainkan juga yang tak menghasilkan pendapatan.
Apa insentifnya bagi mereka?
Mereka bisa memilih membayar pajak atau membangun infrastruktur. Ini pernah dicoba di negara lain. Tawarkan kepada mereka untuk membangun infrastruktur senilai Rp 10 triliun. Jika menyanggupinya, perusahaan ini tak perlu membayar pajak Rp 10,3 triliun. Kebijakan ini bisa berjalan jika kualitas proyeknya dikontrol, jangan sampai memperbanyak pasir daripada semen saat membangun gedung. Mungkin sulit meminta tolong perusahaan Indonesia karena insentifnya terlalu besar untuk potensi kecurangan. Kita butuh bantuan perusahaan internasional yang amat memegang reputasi.
Jenis infrastruktur apa yang perlu diprioritaskan?
Prioritaskan sektor yang menarik investasi industri, terutama industri manufaktur untuk ekspor. Kebijakan ini akan memberi insentif kepada bupati, lurah, dan gubernur untuk menarik investasi. Ini lebih baik dibanding mengutip pajak, yang hanya memberi penghasilan jangka pendek dan menyurutkan minat investasi.
Misalnya?
Berfokuslah pada produksi tekstil dan garmen, yang sekarang berpindah ke Jawa Tengah, terutama Semarang.
Mengikuti perkembangan Indonesia sejak 1955, bagaimana Anda melihat dari pertumbuhan ekonomi era reformasi?
Ekonomi Indonesia bertumbuh 6 persen karena ledakan harga komoditas. Sebelumnya hanya 4 persen. Pendapatan 40 persen orang termiskin pada periode ini hanya tumbuh 1 persen per tahun, sementara rata-rata pendapatan per kapita tumbuh 3,4-4 persen. Berarti pendapatan orang kaya tumbuh jauh lebih cepat dibanding si miskin. Setiap tahun Indonesia menambah dua juta lapangan pekerjaan. Tapi jumlah pekerjaan yang benar tak sampai sejuta.
Maksud Anda?
Sebagian besar orang mengerjakan aktivitas rendah produktivitas dengan penghasilan tak menentu: mengelap sepatu, menjual rokok, menggarap lahan yang terlalu kecil untuk memberi makan lebih dari dua-tiga orang.
Apakah ini yang Anda siratkan: Indonesia mulai kehilangan kesempatan berkembang secara optimal?
Indonesia kehilangan sedikit kesempatan. Dalam tiga-empat tahun terakhir, negara lain telah mengambil sebagian pasar yang tadinya didominasi Cina. Indonesia hampir absen dari proses ini. Ledakan harga komoditas membuat semua tampak berjalan baik. Semua berpikir ekonomi tumbuh cepat, penghasilan naik pesat. Menurut saya, Indonesia bisa berkembang sepuluh persen dalam lima-sepuluh tahun ke depan, sesuatu yang tak pernah dicapai sebelumnya. Jadi masih ada kesempatan.
Bagaimana mengembangkan kesempatan ini secara maksimal?
Dengan menjadi kompetitif di pasar dunia dan mengambil sebagian pasar yang didominasi Cina untuk produk padat karya, dari baju, tekstil, sepatu, mebel, peralatan masak, benda elektronik, kipas angin, suku cadang kendaraan, hingga mainan anak. Tiga juta lapangan kerja bisa tercipta dari situ setiap tahun, baik secara langsung maupun tidak.
Salah satu problem utama Indonesia tidak kompetitif adalah nilai tukar rupiah. Apa komentar Anda?
Nilai tukar uang dan nilai nominal gaji menentukan biaya yang harus dikeluarkan eksportir untuk pegawainya. Jika upah minimum seorang pekerja di Semarang Rp 1,4 juta per bulan dengan nilai tukar Rp 10 ribu per dolar, mereka harus membayar US$ 140. Jika nilai tukar Rp 14 ribu per dolar, mereka hanya perlu membayar US$ 100. Ini perbedaan besar. Sebagian besar negara Asia, bahkan semua negara yang saya tahu, telah menurunkan nilai mata uang mereka demi meningkatkan daya saing ekspor. Indonesia adalah perkecualian karena menjadi satu-satunya negara yang dalam waktu lama bank sentralnya berusaha mengerek nilai mata uangnya.
Tapi menurunkan mata uang juga berpotensi melahirkan inflasi.
Barang impor akan menjadi mahal, tapi apakah ini masalah? Tergantung produknya. Jika harga Mercedes-Benz naik, saya tidak khawatir. Saya akan cemas jika harga beras, kedelai, cabai, bawang, dan gandum naik. Oke, nasi tidak jadi masalah, karena harga (beras) di dunia lebih rendah dibanding Indonesia. Di sini harganya jadi mahal karena bea dan pembatasan impor. Jika nilai tukar rupiah rendah, yang membuat harga naik, Anda hanya perlu menurunkan bea impor dan harganya tak berubah. Untuk produk lain, mungkin harus disubsidi, misalnya kedelai, sumber protein utama warga menengah ke bawah. Cabai dan bawang dibiarkan saja mengalir bebas.
Sejauh mana faktor korupsi menghambat pembangunan Indonesia?
Sejak ada Komisi Pemberantasan Korupsi, peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia meningkat, tapi masih berada di urutan bawah. Saya pikir masalah korupsi masih bisa diperbaiki. Sebagai ahli ekonomi, saya percaya pada perhitungan biaya dan manfaat. Jika manfaat korupsi lebih kecil daripada biayanya, semakin banyak orang menjadi jujur. Manfaat korupsi ditekan dengan mengurangi kemampuan orang memberi keputusan ekonomi.
Bisa lebih detail?
Jika saya bisa memberi surat izin yang membuat seseorang kaya, dia akan berterima kasih dan memberi imbalan. Begitu pula sebaliknya. Nah, untuk meningkatkan biaya korupsi caranya mudah: taruh semua hal di Internet. Jika semua keputusan transparan, biaya korupsi menjadi tinggi: orang lebih mudah tertangkap. Jika lazimnya kita mengurus 20 izin untuk membuka satu bisnis, perizinan terpadu satu pintu (akan menurunkan potensi korupsi). Nama pemberi izin perlu jelas dicantumkan. Dengan begitu, kita bisa menggugat jika izin yang seharusnya selesai dalam sehari baru diberikan dalam tiga bulan. Saya pikir banyak langkah jangka pendek bisa dilakukan untuk mengurangi korupsi di Indonesia. Yang lebih berat adalah masalah lapangan pekerjaan serta infrastruktur.
Itu memerlukan kemauan politik dan keberanian mengambil risiko.
Kemauan politik bukan hal abstrak. Ada presiden yang memiliki nyali, ada yang tidak. Jika seorang presiden bisa disadarkan untuk mengambil risiko pada tahun pertama ia memerintah, keuntungan ekonomi dan politiknya amat besar. Banyak presiden dipilih lagi atau tumbang karena kinerja ekonomi. Presiden Indonesia berikutnya harus diyakinkan bahwa program ini menarik: menciptakan tiga juta pekerjaan per tahun dan membuat orang menerima hal-hal yang tak mereka sukai. Politikus yang baik dapat menunjukkan hal-hal positif dan mengurangi yang negatif.
Biasanya presiden baru memerlukan program populer pada awal pemerintahan untuk melejitkan kinerjanya. Anda punya usul?
Program populer diperlukan sejak hari pertama. Saya mengusulkan program penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat menengah ke bawah di pedesaan. Lazimnya ini pekerjaan fisik dengan penghasilan sekitar Rp 40 ribu per hari. Program ini dapat digelar pada jeda musim tanam selama 30-60 hari ketika masyarakat sulit mencari kerja. Karena penghasilannya rendah, tak ada yang mau melakukannya selain masyarakat miskin. Jadi tak perlu takut salah target.
Mengapa Anda begitu suka pada angka?
Angka hanya berarti jika kita melihat orang-orang di belakangnya. Pendapatan 40 persen orang termiskin selama commodity boom hanya tumbuh sekitar 1 persen setahun. Rata-rata pendapatan per kapita tumbuh 3,4-4 persen per tahun. Artinya, pendapatan orang kaya tumbuh lima kali lebih cepat daripada orang miskin. Angka bisa menunjukkan ini kepada saya. Angka mencerminkan situasi baik dan buruk; menggembirakan serta mencemaskan.
Terkait dengan Indonesia, angka apa yang bisa mencemaskan Anda?
Jika harga beras naik. Harga beras di Indonesia dinaikkan secara artifisial dengan tarif dan pembatasan impor. Hasilnya, harga beras di Indonesia secara substansial di atas harga pasar global. Bank Dunia baru saja menunjukkan grafik itu. Harga beras US$ 5.000 per ton di pasar global dan US$ 8.000 di Indonesia. Jika nilai tukar rupiah melorot, turunkan tarif cukai dan Anda akan mendapatkan harga beras yang tak berubah.
Anda pesimistis atau optimistis terhadap kondisi Indonesia sekarang?
Saya optimistis dengan potensinya, tapi saya khawatir bila presiden baru kelak hanya mengambil jalan mudah: meneruskan apa yang sudah ada dengan sedikit perbaikan. Siapa pun presidennya, saya pikir ia akan khawatir terhadap masalah korupsi, karena itu menjadi perhatian orang. Tapi apakah ia punya visi ekonomi? Sedikit sekali orang yang tahu langkah yang harus diambil untuk melambungkan ekonomi.
Apa yang terjadi bila seorang pemimpin hanya meneruskan apa yang ada tanpa mengupayakan jalan baru?
Ada pepatah begini; hanya orang gila yang mengharapkan hasil berbeda dengan mengulang cara yang sama. Fakta masa lampau mencerminkan hal itu: ekonomi Indonesia bisa tumbuh, tapi hanya sedikit dan kaum termiskin tak akan mendapat bagian.
Bagaimana cara Anda mengikuti perkembangan di Indonesia?
Saya berlangganan suatu servis informasi yang mengulas semua publikasi tentang Indonesia. Ada pers Indonesia, termasuk Tempo, dan media-media asing. Sekitar 100 artikel per hari dikirim kepada saya. Semuanya saya periksa. Jika sempat, saya memilih dua-tiga untuk dibaca.
Gustav F. Papanek Tempat dan tanggal lahir: Wina, Austria, 12 Juli 1926 Pendidikan: PhD bidang ekonomi, Harvard University (1951); Master bidang ekonomi, Harvard University (1949); Sarjana ekonomi pertanian, Cornell University (1947) Karier: Presiden Boston Institute for Developing Economies (BIDE) (1987-sekarang); Profesor emeritus bidang ekonomi, Boston University (1992-sekarang); Profesor ekonomi dan Direktur Center for Asian Development Studies/Asian Program, Boston University (1983-1992); Direktur, konsultan tim Development Studies Project, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di Indonesia-untuk BIDE (1987-1989); Direktur Harvard Advisory Group untuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan Pemerintah Indonesia (1971-1973); Wakil Ketua Perencanaan Program untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara, Administrasi Kerja Sama Teknis, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (1951-1953); Peneliti dan dosen Fakultas Ekonomi Harvard University (1949-1951); Tentara Amerika Serikat (1944-1946) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo