Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tidak punya pijakan kuat untuk bicara secara kuantitatif. Saya lebih memilih berbicara proses dan kualitatif. Tapi, jelas semua itu akan tercakup dalam perumusan doktrin, dan akan selalu disesuaikan dalam alur pikir upaya pertahanan keamanan negara. Itu dimulai dari perkiraan perkembangan keadaan, lingkungan strategis di masa depan, ancaman apa saja yang akan dihadapi, persepsi ancaman, sampai tuntutan kemampuan apa saja yang perlu dimilikipostur kekuatan pertahananuntuk menghadapi kemungkinan ancaman yang akan datang.
Semua itu menjadi faktor yang berpengaruh untuk sampai pada berapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat efisiensi tertinggi, sehingga akan menampilkan gambaran tentang perbandingan kekuatan bala siap dan kekuatan bala cadangan.
Sampai sekarang belum ada aturan tentang rakyat terlatih, wajib militer, dan bala cadangan. Yang ada baru undang-undang tentang prajurit TNI. Apa pendapat Anda tentang demokratisasi pertahanan dalam kaitan dengan ketiadaan aturan itu?
Kita perlu berhati-hati dengan istilah demokratisasi pertahanan. Demokratisasi pertahanan itu bukan menyangkut banyak-sedikitnya rakyat yang dilibatkan dalam sistem cadangan, tapi bagaimana kebijakan publik yang menyangkut fungsi pertahanan mendapatkan check and balance dan kesepakatan dari rakyat. Sebab, sistem cadangan, sistem milisi, tentara rakyat, volunteer army (militer sukarela/tentara reguler) hanyalah merupakan bentuk-bentuk sistem pertahanan.
Silakan pilih yang mana saja, tapi harus mendapatkan kesepakatan bangsa, karena doktrin tersebut bukan hanya milik TNI, tapi juga doktrin nasional. Lagi pula suatu negara yang menganut all volunteer army bukan berarti tidak demokratis.
Demokratisasi pertahanan tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan hak dan kewajiban bela negara dan diukur dari banyaknya rakyat yang terlibat secara fisik dalam upaya pertahanan. Ini tidak bisa lepas dari kondisi, tradisi, dan karakteristik nasional. Swiss, Jerman, dan Amerika Serikat punya tradisi dan sejarah yang berbeda-beda. AS menganut all volunteer army setelah mereka menghapus wajib militer, sesudah pengalaman mereka dengan perang Vietnam.
Untuk sampai pada perhitungan kuantitatif itu, tidak bisa berdasar hanya pada perkiraan, tapi juga menuntut adanya proses perumusan yang komprehensif, yang mencakup sampai sejauh mana daya dukung ekonomi, kemudian kondisi sosial. Berapa orang yang memang sudah tertampung dalam lapangan kerja, ini juga faktor yang cukup berpengaruh.
Kalau nanti ada sistem cadangan dan wajib militer, jangan sampai itu dijadikan penyaluranselesai melakukan wajib militer, dia menganggur lagi. Ini akan menimbulkan ekses sosial yang baru.
Menyusun undang-undang itu gampang. Masalahnya, sejauh mana ide yang tertampung dalam undang-undang itu memang terkait secara faktual dan realistis dengan kondisi nyata di lapangan, apakah itu berdasarkan hasil analisis komprehensif atas fakta-fakta dan kondisi nyata di lapangan. Ini akan menentukan mudah atau sulitnya undang-undang itu diberlakukan. Undang-undang bukanlah tujuan. Undang-undang adalah wahana untuk mengimplementasikan sistem yang telah disepakati bersama.
Tiadanya wajib militer menjadikan sipil melihat tentara sebagai superior. Dengan rakyat terlatih dan wajib militer, pandangan itu akan luntur karena rakyat juga pernah menjadi tentara. Patriotisme tidak akan lagi dilihat sebagai monopoli tentara.
Saya tidak melihat sipil kini memandang tentara lebih superior. Mungkin di masa lalu masyarakat memang memandang tentara lebih tinggi berkat keprajuritan yang dibawa oleh Angkatan 45.
Kita harus jujur mengadakan refleksi atas diri sendiri. Sipil harus melihat tingkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat melalui penyelenggaraan fungsi-fungsi birokrasi. Huntington mengatakan, kalau sipil lemah, sipil di luar elite birokrasi akan berpaling untuk mencari alternatif. Yang organisasinya dilihat efektif adalah organisasi militer.
Di era modern, (organisasi) sipil harus membuktikan dirinya bahwa mereka efektif dan kompeten melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan seperti yang diharapkan masyarakat. Bila tidak bisa dipenuhi, masyarakat akan mencari alternatif. Bukan berarti TNI mengharapkan itu terjadi. Demi terbangunnya negara Indonesia baru yang modern, demokratis, dan kuat di masa datang, TNI mendorong agar terbentuk elite politik sipil, elite sipil, birokrasi sipil yang kuat, efektif, kompeten, dan taat hukum.
Ada plus-minus antara sistem wajib militer dan militer sukarela. Dengan wajib militer, peluang untuk menyebarluaskan nilai-nilai keprajuritan dan rasa cinta tanah air pada masyarakat tersedia wadahnya. Dalam militer sukarela, akan terjadi batas tajam yang membedakan militer-sipil. Dan dalam sistem cadangan, efektivitas organisasi militer secara keseluruhan akan sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh militer bisa melatih wajib militer dalam waktu singkat.
Bila sistem wajib militer yang dianut, sistem tersebut merupakan sistem nasional yang dijalankan oleh pemerintah, bukan oleh TNI saja. Perlu ada wujud lain yang bisa membentuk suasana yang kondusif untuk bisa mencapai daya guna maksimal dari sistem tersebut. Misalnya, orang yang kembali dari wajib militer akan memiliki nilai tambah, yang bisa ditemukan setidaknya oleh lingkungan terkecilnya (perusahaan) atau ditemukan secara nasional.
Sebetulnya dimensi dan aspek militer hanyalah satu sisi dari pengabdian kepada negara. Bisa dikatakan, untuk mengabdi bisa lewat dimensi lain, misalnya mengatasi bencana alam, kerja sosial. Cinta tanah air tidak hanya diwujudkan dengan tugas-tugas militer.
Bagaimana persepsi TNI tentang ancaman?
Kita melihat secara realistis, spill over dari berbagai konflik regional besar dan kecil. Kemudian mungkin masalah perbatasan yang belum bisa kita perkirakan. Sedangkan yang memiliki aspek internasional dan harus direspons dengan operasi-operasi militer di luar perang antara lain adalah piracy, eksplorasi ilegal terhadap sumber daya nasional, pengamanan sumber daya nasional.
Sementara itu, ancaman yang besar dalam waktu dekat ini tampaknya belum ada. Sedangkan separatisme adalah ancaman dari dalam, dan itu urusan polisi. Kalau polisi tidak mampu, minta bantuan tentara, barulah tentara masuk. Di sini mungkin terjadi alih komando pengendalian: wewenangnya ada pada Polri, tapi pelaksanaannya oleh TNI.
Darurat sipil masih dalam kewenangan Polri untuk keamanan. Sebab, pada hakikatnya itu memperbesar wewenang gubernur, bukan memberikan kewenangan kepada TNI. Kalau sudah masuk darurat militer, barulah menjadi kewenangan TNI. TNI masuk. Artinya, untuk sementara KUHAP disimpan dulu, untuk sementara secara selektif hak asasi manusia dikesampingkan dulu. Apalagi kalau sudah dalam keadaan perang.
Perkecualian ketika TNI bisa masuk ke wilayah keamanan adalah penegakan kedaulatan di laut dan udara, karena urusan luar negeri dan dalam negeri di sini bercampur. Dan karena luasnya wilayah laut dan perlunya efisiensi dalam penggunaan aset, tidak mungkin polisi kita lengkapi untuk menegakkan hukum di udarapesawatnya perlu banyak. Laut kita juga luas. Di luar itu, wilayah TNI adalah (hanya) pertahanan.
Bukan berarti TNI tidak boleh masuk ke urusan keamanan. Dia boleh masuk sejak keadaan darurat militer, sejak dimintai bantuan oleh Polri. Darurat militer bisa terjadi karena ada ancaman dari dalam, ketika terjadi subversi kemudian pemberontakan. Di sini ancaman dari dalam ini bergabung dengan ancaman dari luar.
Jadi, kalau bicara tentang ancaman, postur kekuatan dan rule of engagement kita disesuaikan dengan porsi ancaman tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo