Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bingkisan Tentara untuk Pemda

Urusan wilayah, penduduk, dan segenap sumber daya akan dikelola pemerintah daerah. Pelatihan militer bagi sipil tetap ditangani tentara.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DWIFUNGSI TNI dicabut. TNI kembali ke peran utamanya sebagai alat pertahanan negara terhadap ancaman dari luar. Tapi doktrin perang TNI masih menganut prinsip teritorial, masih berhubungan langsung dengan rakyat dalam operasionalnya. Masalahnya, TNI (Angkatan Darat) telah salah jalan dengan doktrin itu. Seharusnya TNI bersama rakyat menciptakan "ruang, alat, dan kondisi juang" untuk ketahanan wilayah.

Komando teritorial (kodam, korem, koramil, sampai babinsa) dan aparatnya selama ini—setidaknya semasa 32 tahun Orde Baru—telah menjadi pelaksana lapangan dari dwifungsi TNI untuk ketahanan kekuasaan politik suatu rezim. Pendekatan geografi, demografi, dan kondisi sosial operasi teritorial TNI lebih berat pada security approach—lebih "mewaspadai" (bukannya bekerja sama dengan) rakyat di semua sektor kehidupan.

Doktrin teritorial mulanya dicetuskan oleh Divisi Siliwangi setelah terpukul oleh agresi pertama Belanda (1947). Segera doktrin itu dikembangkan oleh Markas Besar Komando Jawa (MBKD). Konsep tertulisnya yang diterbitkan belakangan menyebutkan bahwa doktrin ini bertujuan mempersiapkan dan memelihara wilayah sebagai "ruang, alat, dan kondisi juang." Itu dilakukan agar wilayah tersebut kuat dan mandiri bagi penyelenggaraan pertahanan dan perlawanan dalam arti yang luas dan berlanjut.

Lalu, TNI-AD selaku penegak kedaulatan negara di darat ditugasi (UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara) mengembangkan potensi wilayah menjadi kekuatan aktual pertahanan di daratan. Konsepnya dinamai geodemokonsos—ini khas akronim gaya tentara. Maksudnya, kegiatan teritorial itu meliputi pengembangan potensi "geografis, demografis, dan kondisi sosial" serta pengembangan sarana dan prasarana yang ada di suatu wilayah.

Terlalu luaskah cakupan kegiatan tentara itu? Memang, setidaknya menurut Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Agus Widjojo. "Memang menjadi hal yang aneh," katanya, "bahwa militer melaksanakan tatanan sistem yang merupakan perpanjangan dari suatu keadaan darurat di masa lalu hingga masa Orde Baru."

Menurut dia, tidaklah tepat kalau semua hal yang berbau pertahanan, keamanan, dan ancaman ditangani hanya oleh TNI. Komando teritorial TNI tidak seharusnya menangani ancaman budaya, ancaman ekonomi, dan ancaman sosial, karena TNI (memang) tidak mampu. "Itu harus dikembalikan kepada yang seharusnya menanganinya," katanya.

Namun, kata Agus Widjojo, soalnya bukan masih valid atau tidaknya doktrin tersebut. Pendekatan teritorial merupakan subsistem dari sistem pertempuran TNI untuk memenangi perang (sebagaimana dua pendekatan lainnya: tempur dan intelijen). Doktrin atau pembinaan teritorial adalah manajemen dan pendayagunaan sumber daya nasional yang ada di daerah untuk mendukung kepentingan pertahanan dan keamanan. Hakikatnya, doktrin tersebut merupakan penyiapan negara untuk menghadapi perang di masa damai.

"Bagi TNI, masalahnya adalah menyangkut tataran kewenangan dan pada keadaan bagaimana pembinaan tersebut dijalankan oleh tentara," ucap Agus, "Kalau pemberlakuan itu untuk internal kesatuan militer, tidak ada masalah karena itu sudah menjadi tugasnya. Tapi, sejauh mana itu menjangkau ke masyarakat, di situlah letak paradigma baru TNI. Doktrin itu berlaku manakala militer mempunyai kewenangan karena keadaan darurat militer atau darurat perang."

Diatur Undang-Undang

Dalam percakapan dengan Aksara, Kepala Staf Teritorial TNI mengungkapkan, sejalan dengan paradigma baru TNI dan Ketetapan VII/MPR Tahun 2000 (yang menegaskan TNI hanya alat pertahanan), sambil menunggu pengesahan undang-undang pertahanan yang baru, TNI tengah merumuskan kembali konsep teritorialnya serta memproses refungsionalisasi dan restrukturisasi komando teritorial. Dalam tatanan baru itu, geodemokonsos akan ditangani oleh pemerintah daerah, kepolisian, dan jawatan-jawatan terkait.

Dengan kata lain, penerapan doktrin teritorial—ketika militer memiliki kewenangan menjangkau ke masyarakat—hanya terjadi pada saat suatu daerah dinyatakan dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang.

Persyaratan dan batas kewenangan pembinaan teritorial TNI ini akan diatur melalui undang-undang. Mungkin undang-undang induknya adalah UU Pokok Pertahanan Negara, atau hal itu secara substansial diatur dalam UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Bisa juga soal pembinaan teritorial ini diatur oleh undang-undang khusus di luar undang-undang pertahanan dan PKB. TNI, menurut Agus Widjojo, akan menyesuaikan doktrin dan pedoman-pedoman dasar pembinaan teritorialnya dengan undang-undang tersebut.

Yang penting, katanya, harus ada kepastian hukum di lapangan, sehingga seorang prajurit tidak lagi ragu bertindak karena ia tahu batas di mana ia sudah atau belum melanggar hukum dan/atau hak-hak asasi manusia. Penyusunan rancangan undang-undang (RUU) itu tentunya mengikuti prosedur konstitusional tentang perumusan perundang-undangan. Substansinya akan banyak diisi oleh kalangan profesional di bidang terkait dan para ahli serta akan disosialisasikan melalui dialog interaktif, debat publik, atau public hearing.

Refungsionalisasi dan restrukturisasi doktrin serta pembinaan teritorial ini akan lebih menunjukkan keserasian fungsi sipil dan militer dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Di situ institusi pemerintahan—termasuk TNI—dan rakyat menempatkan diri sesuai dengan fungsi masing-masing.

Menurut Agus Widjojo, TNI ingin menghapus mitos bahwa teritorial itu melekat dan identik dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Dengan dilakukannya refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial, TNI meninggalkan sistem tersebut. Maka, dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta, TNI hanya bertindak sebagai inti dan pembina teknis. Soal mobilisasi sumber daya menjadi urusan pemerintahan sipil, dan keamanan urusan polisi.

Perlu dicatat, dalam UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara, disebutkan (pasal 1 ayat 5) bahwa sistem pertahanan keamanan rakyat semesta adalah tatanan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara. Berbagai komponen itu adalah komponen dasar rakyat terlatih, komponen utama Angkatan Bersenjata, Cadangan TNI, perlindungan masyarakat, serta komponen pendukung. Yang disebut terakhir itu terdiri atas sumber daya alam, sumber daya buatan, dan prasarana nasional.

Dalam draf RUU Pertahanan Nasional yang baru, sistem pertahanan keamanan rakyat semesta melibatkan semua komponen kekuatan pertahanan nasional. Komponen itu terdiri atas TNI sebagai komponen inti, yang digandakan dengan mobilisasi kekuatan rakyat, sumber daya alam dan buatan, sarana dan prasarana nasional, serta didukung komponen perlawanan tak bersenjata, perlindungan masyarakat, sumber daya alam dan buatan, sarana dan prasarana untuk kelangsungan hidup bangsa, dan logistik perang.

Jadi, kalau nanti dilaksanakan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial, sistem pertahanan keamanan rakyat semesta akan diselenggarakan oleh institusi fungsional pemerintahan, dan TNI hanya pembina teknis. Dalam keadaan perang, tentara jadi pemerintah, dan sistem itu dipegang tentara. Tapi, jika perang usai, sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dikembalikan ke sipil. "Dan memang harus begitu karena menyangkut kewenangan," kata Agus Widjojo, "Kalau tidak demikian, tidak akan terjadi demokrasi, pemerintahan dipegang oleh militer."

Ratih, Cadangan, Mobilisasi

Ambil contoh soal pengaturan fungsi dan wewenang sistem pertahanan ke—amanan rakyat semesta dalam hubungannya dengan rakyat terlatih (ratih), bala cadangan, dan mobilisasi umum. Karena sistem itu berlaku secara nasional, dan wilayah nasional terbagi menjadi provinsi dan kabupaten, fungsi dan wewenang ini dijalankan oleh pemerintah daerah (pemda) masing-masing.

Dalam hal rakyat terlatih dan bala cadangan, misalnya, dulu pelatihnya adalah komando rayon militer (koramil) atau bintara pembina desa (babinsa). Mereka mengumpulkan rakyat untuk berlatih baris-berbaris di alun-alun desa. Nantinya, yang mengelola dan menginventarisasi siapa saja yang masuk cadangan lini satu dan seterusnya adalah pemda. Data tentang warga yang ikut latihan bela negara itu ada pada pemda.

Jadwal dan pemberitahuan latihan juga melalui pemda. Setelah dikumpulkan oleh pemda, barulah mereka disalurkan ke depo pendidikan atau latihan militer. Yang melatih adalah tentara, tapi pengelola penduduk—selama mereka berstatus sipil—adalah pemda.

Jadi, misalnya Jakarta menentukan bahwa kita memerlukan bala siap, standing army, sebanyak 150 ribu dan bala cadangan 750 ribu, pengadaan bala cadangan itu dibagi-bagi pada sekian provinsi.

Jawa Barat mungkin mendapat jatah menyediakan 50 ribu, Jawa Tengah 60 ribu, dan Jawa Timur 45 ribu. Pengadaan itu tidak diserahkan ke komando daerah militer (kodam), tapi diurus oleh pemda. Setelah terkumpul, barulah pemda menyerahkan mereka ke kodam untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.

Begitu pula tentang sarana dan prasarana pertahanan. Kalau misalnya musuh diperkirakan datang dari utara, ke mana kita akan mundur? Daerah mana yang akan dijadikan basis perlawanan? Jika kabupaten A dijadikan basis, di tempat itu harus dibangun sarana dan prasarana pertahanan. Siapa yang membangun? Pemda. Kalau menunggu perang baru mengadakan persiapan, sudah terlambat.

Semua sumber daya itu milik pemda, dan baru dipegang tentara kalau keadaan perang. Juga sumber daya manusianya. Sebelum dinyatakan on active duty, semua sumber daya itu masih milik pemda. Setelah active duty, barulah semuanya menjadi milik tentara.

Transisi 10 Tahun

Tapi pengalihan fungsi tadi tak bisa seketika. Ada sejumlah tantangan yang harus ditanggulangi agar pengalihannya efisien, efektif, dan mencapai tujuan maksimal. Tantangan itu berupa penyiapan institusi fungsional pengganti untuk mengisi ruang vakum yang ditinggalkan TNI. Pihak TNI juga harus berbicara dengan institusi pengganti tentang berapa lama waktu yang diperlukan guna persiapan. Lalu, dibutuhkan juga waktu untuk sosialisasi agar masyarakat tahu bahwa tatanan sudah berubah.

TNI juga melihat bahwa tidak mudah mengubah kultur yang sudah terbentuk—kultur internal TNI, kultur institusi pengganti, kultur masyarakat. Sebab, masyarakat sudah terbiasa melihat yang menangani keamanan adalah TNI. Padahal, keamanan merupakan tanggung jawab polisi.

Dari segi personel, TNI sendiri juga perlu penyesuaian. Faktor yang harus dipertimbangkan, selain kejiwaan, adalah penyusunan struktur organisasi komando teritorial TNI dan bagaimana organisasi-organisasi ini bisa menyerap tugas dan personalia setelah mengalami penyesuaian. Mau tak mau akan terjadi penyusutan personel, dan TNI akan menghadapi masalah yang tidak mudah ketika melakukan penahapan secara seragam dan serentak, karena perbedaan kondisi tiap daerah.

Jadi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pengalihan fungsi ini? Setelah mengidentifikasi masalah yang bakal dihadapi, TNI memilih mengubah itu melalui transisi bertahap. Kepala Staf Teritorial Agus Widjojo mengatakan waktu yang diperlukan antara 7 dan 10 tahun. Tahap sekarang ini, katanya, menghimpun masukan dari daerah. Daerah (kodam) diberi kesempatan meninjau apa yang bisa dilakukan serta rencana yang bisa disarankan bagi daerahnya.

Saran ini akan dijadikan bahan masukan untuk konsep yang komprehensif pada lingkup nasional. Masukan itu sudah mulai berjalan dari bawah ke atas, ke Angkatan Darat. Nanti, hasilnya akan dipaparkan oleh AD di tingkat TNI. Di tingkat TNI, masukan itu akan ditindaklanjuti, kemudian dibawa ke lintas sektoral dan antardepartemen.

"Setelah itu, baru kita menyusun rencana program yang sifatnya komprehensif pada lingkup nasional," ujar Agus Widjojo, tanpa keraguan akan kelancaran prosesnya. Benar lancar atau tidak, tak lama lagi publik akan tahu sendiri kebenarannya.

Daud Sinjal, Ines Handayani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus