Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Rakyat, Komponen yang Dilupakan

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daud Sinjal

UNDANG-undang yang mengatur pertahanan dan keamanan yang terakhir kita miliki adalah UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. Sesuai dengan judulnya, undang-undang ini baru memuat ketentuan pokok. Di situ dituangkan perihal adanya Angkatan Bersenjata RI (di dalamnya masih dicantumkan Kepolisian Negara RI) sebagai inti dan pembina pertahanan dan keamanan; lalu adanya Rakyat Terlatih (Ratih), Cadangan Nasional, Wajib Militer, Mobilisasi/Demobilisasi Umum, Perlindungan Masyarakat. Semua unsur yang disebut Sistem Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) itu oleh UU 20/1982 dipesankan untuk diatur lebih lanjut melalui undang-undang.

Namun, sejauh ini baru undang-undang tentang ABRI yang dilahirkan, yakni UU No. 2/1988 tentang Prajurit ABRI (pelaksanaan operasionalnya diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/1990 tentang Administrasi Prajurit ABRI, serta UU No. 28/1997 tentang Kepolisian RI (yang kemudian melalui Inpres No. 2/1999 dipisahkan dari ABRI). Komponen penting Sishankamrata lainnya seperti yang dipesankan oleh UU 20/1982 tidak pernah dilegitimasi.

Pengabaian yang berlarut ini tak pelak menggambarkan terjadinya pengingkaran terhadap Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam pembelaan negara. Dan seolah-olah pertahanan dan bela negara adalah urusan TNI semata. Kesan selanjutnya, hanya tentara yang merupakan barisan kesatria.

Sishankamrata sesungguhnya menegaskan adanya kedalaman pertahanan, yang tecermin dengan keseimbangan antara lapisan-lapisan tentara reguler yang profesional dan citizen army, yaitu wajib militer, rakyat terlatih, bala cadangan yang langsung menjadi bala siap melalui mobilisasi umum, serta didukung oleh sarana dan prasarana. Keseimbangan ini tidak hanya lekat dengan kejiwaan, yaitu patriotisme dan cinta tanah air yang luas dan merata, tapi juga dengan ekonomi, karena negara tidak bisa memelihara suatu bala siap (standing army) yang besar, yang dibayar terus-menerus dari gaji sampai pada tunjangan pensiunnya. Namun, Sishankamrata yang mencerminkan perwujudan dari demokratisasi dalam penyelenggaraan pertahanan ini baru retorika, belum menjadi realita.

UU No. 20/1982 segera akan diganti karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Draft RUU penggantinya telah dirampungkan oleh Departemen Pertahanan untuk disosialkan agar segera bisa dibahas oleh DPR. Dalam draf RUU itu, di samping TNI yang berperan sebagai kekuatan inti, juga disebutkan perihal perlawanan rakyat, bala cadangan, wajib militer, perlindungan masyarakat, dan mobilisasi. Sedangkan ABRI kembali menjadi TNI yang melulu untuk pertahanan negara terhadap musuh dari luar. Ini dikukuhkan melalui Tap VII MPR 2000. Peran sospolnya yang mengganggu penampilan TNI ditanggalkan.

Peran DPR

Kita tentunya tidak ingin kealpaan-kealpaan atas "kerakyatan dan kesemestaan" penyelenggaraan pertahanan negara kembali terulang. Ini supaya kesadaran rakyat banyak atas keterlibatan dan nasib mereka dalam peperangan ikut menentukan penetapan strategi pertahanan negara. Maka, DPR dan MPR yang membawa kedaulatan rakyat, dan pemerintah yang menjalankan mandat, harus punya pandangan strategis bersama tentang ancaman (dalam versi TNI disebut AGHT: ancaman, gangguan, hambatan, tantangan), juga tentang pertahanan dan perlawanan terhadap ancaman itu.

DPR dan MPR selaku pembuat perundang-undangan harus segera mengambil peran aktif. Maka, wacana dan tatapan strategis itu sudah harus mengalir dari lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian ke ruang kerja para lawmaker itu.

Acuan yang umum adalah tentang persepsi, wujud, ukuran, sumber, dan kawasan potensial munculnya ancaman tersebut dengan melihat kondisi geografis kita yang terdiri dari perairan, pulau kecil dan besar, garis pantai, banyaknya selat ke laut terbuka. Untuk menghadapi ancaman, dibangunlah kekuatan pertahanan/perlawanan. Kekuatan itu dikelola dari sumber daya manusia (semangat dan keterampilannya), sumber daya alam, sumber daya buatan berupa prasarana dan peralatan. Juga dengan mengusahakan kerja sama dan saling pengertian dengan negara lain (confident building measures, pembinaan saling percaya). Semua ini sangat bergantung pada daya dukung ekonomi nasional.

Untuk mengisi sifat kerakyatan, dan juga secara materiil demi penghematan anggaran negara, penyelenggaraan pertahanan harus dibentuk dengan pembinaan tentara reguler yang profesional (TNI, sebagai inti dan bala siap), bala cadangan, wajib militer, rakyat terlatih. DPR harus ikut mengukur kekuatan minimal TNI di masa damai dan perbandingannya dengan penyiapan lapisan kekuatan yang lebih tebal dari bala cadangan dan rakyat terlatih. Juga harus terukur penggelaran kekuatan itu secara maksimal pada saat menghadapi ancaman aktual.

Undang-undang pertahanan yang baru diharapkan bisa membentuk Tentara Nasional Indonesia menjadi angkatan perang yang lebih kecil tapi profesional. Dan angkatan yang lebih besar, dengan lapis demi lapis kekuatan rakyat. Alhasil, dalam menghadapi perang, seluruh rakyat Indonesia menjadi TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus