Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

'Jamaah Corbyah'

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terorisme adalah perbuatan terkutuk. Semua negara menentangnya. Bahkan perang terhadap teroris sudah diteriakkan oleh negara-negara maju, yang kebetulan lebih sering menerima ancaman teror dibanding negara berkembang dan negara miskin.

Namun, bagaimana kita menyikapi masalah ketika perwakilan kita di Canberra diteror dengan kiriman paket yang berisi serbuk putih, yang semula diduga antraks yang sangat membahayakan itu? Kita kaget karena teror semacam ini terjadi di Aus-tralia, negeri yang sangat "antiteror". Siapa pelakunya memang belum diketahui, tetapi yang pasti dilakukan oleh orang yang ingin merusak hubungan baik kedua negara. Kita menyesalkan peristiwa ini.

Syukurlah pemerintah Australia juga mengecam. Meskipun pada akhirnya serbuk putih itu dinyatakan sebagai zat yang tergolong tidak berbahaya, Perdana Menteri Australia John Howard menyampaikan penyesalannya dan meminta maaf atas insiden ini. Sementara di Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat yakin aksi teror ini hanyalah pelampiasan emosi sesaat dan sama sekali tak akan mengganggu hubungan baik kedua negara. Jusuf Kalla memberikan bukti dengan tidak adanya reaksi balik dari masyarakat Indonesia atas insiden ini.

Sesungguhnya belum jelas benar, apa motif dari paket serbuk putih itu. Surat yang ditulis dalam bahasa Indonesia di paket itu belum diumumkan ke publik. Agaknya, kepolisian Australia masih menunggu polisi Indonesia yang dikirim khusus ke Canberra. Nantinya, tim gabungan polisi kedua negara akan bekerja bersama-sama mengorek kasus ini, sehingga jelas diketahui apa motif di balik teror ini.

Dugaan kuat yang berkembang adalah terkait kasus divonisnya Schapelle Corby, yang dihukum 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Corby tertangkap tangan membawa 4,2 kilogram mariyuana ke Bali pada Oktober silam. Selama persidangan, kasus ini sangat menarik perhatian warga Australia, termasuk jaringan media massanya. Bahkan ada stasiun televisi Australia yang menyiarkan secara langsung dari Bali ketika Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis. Begitu Corby dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 20 tahun, reaksi demikian marak di Australia. Kecaman muncul di media massa bahkan sampai ada seruan boikot ke Bali. Di tengah-tengah reaksi inilah muncul teror serbuk putih di Kedutaan Besar Indonesia di Canberra. Karena awalnya diduga serbuk antraks, pemeriksaan dilakukan ekstraketat kepada setiap pegawai kedutaan, sampai kantor kedutaan ditutup.

Benarkah teror itu ada kaitannya dengan kasus Corby? Pelaku belum tertangkap dan dugaan ke arah itu besar karena sebelumnya intimidasi sudah sering diterima perwakilan kita di Australia. Jika benar demikian, betapa reaksi masyarakat Australia sangat berlebihan dan cenderung kekanak-kanakan. Corby terbukti membawa 4,2 kilogram mariyuana dan tertangkap di Bandara Ngurah Rai, Bali. Dia berdalih dijadikan korban oleh sindikat narkotik internasional yang memanfaatkan lemahnya pengawasan di bandara-bandara Australia. Corby memperkirakan ada yang menyelundupkan mariyuana itu ke selancarnya, yang penutupnya tidak dikunci. Namun, semua dalih itu tak diterima hakim. Justru Corby dianggap seharusnya tahu, membawa narkoba ke Bali bisa kena hukuman mati. Peringatan seperti itu ada di Bandara Ngurah Rai. Dalam hal ini jaksa penuntut umum masih berbaik hati dengan mengajukan tuntutan hukuman penjara seumur hidup. Hakim Pengadilan Negeri Denpasar lebih berbaik hati lagi dengan menurunkan hukuman itu menjadi 20 tahun penjara, dengan pertimbangan Corby masih muda.

Baik Corby maupun jaksa penuntut umum sama-sama naik banding. Ini berarti bahwa jaksa masih bisa "berjuang" agar hukuman yang lebih tinggi diberikan kepada Corby dalam pengadilan banding. Begitu pula Corby, ia masih bisa "berjuang" untuk meringankan hukuman, misalnya memperkuat bukti bahwa mariyuana itu benar-benar bukan miliknya. Jadi, masih ada proses hukum lanjutan yang akan berjalan. Karena itu apa yang disampaikan Perdana Menteri John Howard sungguh tepat, reaksi berlebihan warga Australia menyikapi kasus Corby justru tidak menguntungkan dalam mencari upaya hukum yang lebih adil.

Ada atau tidak ada hubungan antara teror serbuk putih dan kasus Corby, tampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia dan Australia memandang bahwa reaksi atas kasus Corby dan teror di kedutaan besar itu tidak mencerminkan "suara rakyat" secara keseluruhan. Turis Australia yang masih menjemur diri di Kuta juga bersikap cuek dengan imbauan aksi boikot ke Bali yang dilakukan di negerinya. Begitu pula orang Indonesia yang akan ke Australia, tetap saja berjubel meminta visa di Kedutaan Besar Australia. Mereka tak begitu peduli pada imbauan pemerintah Indonesia supaya berhati-hati di Negeri Kanguru.

Jusuf Kalla mungkin benar, reaksi berlebihan terhadap kasus Corby dan reaksi terhadap teror di Kedutaan Besar RI akan menguap dalam hitungan hari. Ini sekadar ulah segelintir warga saja, yang mungkin dapat dipelesetkan sebagai anggota kelompok "Jama'ah Corbyah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus