Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru satu pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung berjalan, memilih bupati dan wakilnya di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 1 Juni lalu. Situasi tenang dan terkendali, begitulah boleh dinilai dengan meniru cara melapor petugas keamanan. Kekurangan ada, tapi masih dalam batas wajar. Kalau penyelenggaraan di sana bisa jadi ukuran, rasa khawatir akan banyaknya kekacauan dalam pilkada di daerah lain bisa dikurangi. Beri kesempatan bagi pilkada selanjutnya untuk membuktikan.
Apakah keberhasilan di Kutai Kartanegara ini menjadi bukti bahwa sebenarnya kepatuhan dan kesukarelaan rakyat pada umumnya cukup tinggi dalam menunaikan kewajiban warga? Seakan-akan sukar bagi kita percaya bahwa pada dasarnya telah ada semacam sikap politik matang yang mendorong partisipasi kewargaan di kalangan rakyat. Terlalu pagi memang untuk menilai hanya dari hasil pilkada pertama di Kutai Kartanegara, kabupaten yang terkenal jauh lebih makmur dari daerah lainnya itu.
Kekhawatiran bahwa berbagai ekses akan ditimbulkan pilkada di tempat lain masih belum terhapus sama sekali. Gejala tidak beres sudah banyak timbul dari sejak proses awal pilkada. Protes dan demonstrasi, kadang-kadang bentrokan fisik, terjadi di banyak daerah dengan alasan serius maupun sepele. Ada yang mengenai calon yang tak memenuhi syarat, kampanye yang mendahului waktunya, daftar pemilih digelembungkan, pelanggaran cara kampanye dari membagi uang sampai kitab Al-Quran bersampul foto sang calon. Kalau hasilnya hanya kekisruhan, buat apa memaksakan pilkada dilanjutkan?
Selain itu, ada keberatan yang lebih mendasar. Pilkada hanya digunakan sebagai sasaran antara dari politik kekuasaan partai politik. Dengan mengatur calon-calon kepala daerah dari pusat, partai politik mengharap bisa mempersiapkan basis kekuatan untuk menggalang pemilih dalam pemilu DPR dan presiden periode nanti. Kepentingan mencari pemimpin yang cocok untuk tiap daerah jadi cuma nomor dua. Kenyataan ini sukar dihindari, karena aturan pilkada yang sekarang mengharuskan pencalonan dilakukan melalui partai politik. Sistem seperti ini perlu diperbaiki.
Sebagaimana setiap sarana dari prosedur demokrasi, pilkada tak bisa diharapkan sempurna. Tidak mungkin rapi segalanya dan bebas noda sama sekali. Yang penting, bagi setiap masalah yang timbul telah tersedia cara untuk mengatasinya, atau segera bisa diatur mekanisme penyelesaian yang memadai. Diatasi segera, atau diperbaiki di putaran pilkada mendatang. Pertanyaan utama untuk menimbang manfaat pilkada barangkali ialah: apakah pemilihan langsung ini merupakan maksimalisasi dari persamaan hak politik setiap orang, perwujudan kedaulatan rakyat dan hak menentukan nasib sendiri bagi tiap daerah? Jika jawabannya positif, pilkada patut diteruskan, kurang lebihnya ditanggung bersama.
Tidak semua sadar bahwa pilkada, yang sebelumnya tidak pernah sama sekali dialami, adalah sebuah langkah raksasa dalam politik Indonesia. Setahun ini akan ada 226 kali pemilihan, dan bulan Juni ini saja pemilihan langsung 7 gubernur, 159 bupati dan wali kota, akan dilaksanakan. Seluruhnya, wali kota, bupati, dan gubernur yang harus dipilih ada sekitar 450 orang, dalam jangka 2 tahun. Itu jika ditinjau dari pusat. Namun orang di daerah tak terpengaruh dengan jumlah sebesar itu, karena hanya berurusan dengan satu atau dua pilkada masing-masing, sekali dalam lima tahun.
Dengan pilkada, orang mulai berpikir dan bertindak secara lokal. Jika kita setuju bahwa ini adalah kemajuan, dan perlu, maka yang ingin kita katakan hanyalah, mengikuti tembang John Lennon, give 'pilkada' a chance.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo